Himmpas yang tak Dirindukan

Tuntas sudah kiprah di sebuah "sawah" bertajuk HIMMPAS UI dua pekan lalu. Sebuah sawah yang berisikan banyak petani-petani tangguh yang telah lebih dari semusim menyemai benih-benih kebaikan. Seperti halnya musim tanam yang berganti rupa, maka akan ada petani-petani baru yang lebih muda, lebih piawai, dan punya sebuah kelebihan yang tidak dimiliki petani-petani sebelumnya. Kelebihan itu adalah kesempatan untuk berkreasi di masa depan. 

Prestasi yang telah direguk tahun lalu tak pernah lebih dari sekedar histori, rekam jejak yang mungkin hanya menjadi pemanis di company profile. Namun prestasi di masa lalu itu tidak pernah bisa diedit karena masa lalu terkunci rapat dalam etalase yang "cukup dikenang" saja. Sebaliknya, kepengurusan saat ini punya keleluasaan untuk berimajinasi setahun ke depan. Hak yang memungkinkan untuk saling beradu gagasan kreatif dan rasional. Hak yang tidak akan pernah dimiliki kepengurusan sebelumnya. Hak yang perlu diimbangi banyak kewajiban, setidaknya dua: khusnudzon dan ber-ikhtiar. Saya jadi ingat quote-nya (bukan) Steve Jobs, "Sebaik-baiknya rencana adalah yang terlaksana".

Himmpas UI bukan Lem Tikus
Seseorang yang membeli mie ayam berhak protes jika di mienya tidak ada ayamnya. Tapi belum ada sejarahnya orang membeli lem tikus lalu mengeluh karena tidak ada tikusnya. Kira-kira bagaimana dengan Kawan-Kawan terhadap HIMMPAS UI ini? Termasuk yang mie ayam atau yang lem tikus? Ini bukan sekedar lelucon karena kadang ide ntitas kerap menipu penampilan. Banyak web dengan domainnya nama berbau Islami tapi isinya #AhSudahlah, belum lagi penggunaan gelar 'ustadz'oleh akun di socmed yang isinya membuat kita ingin meng-kamehame-nya. Bagaimana dengan HIMMPAS UI? Dalam hal ini, saya masih optimis mengamati bagaimana  nanti output pengurus dan anggota HIMMPAS serta dampaknya bagi UI, bangsa, dan agama.

Menyadur Karakter CxO
Perbedaan besar organisasi (baik negara maupun korporasi) antara besar vs kecil ada pada visinya. Visi di sini bukan sekedar tagline kalimat, melainkan jangkauan mereka meneropong. Negara Korea Selatan maju IT-nya bukan karena satu dua malam, tapi perencanaan strategis SI/TI dari era 1980-an. Bahkan mereka sudah berani mengobrolkan roadmap e-government di akhir era 1980-an. Kesuksesan FC Barcelona di era 2010-an adalah buah sekolah sepak bola yang dirintis sejak 1990-an, itulah mengapa hingga kini mereka masih kokoh di blantika sepak bola Eropa. Negara kita pun sebetulnya punya tradisi merencanakan jangka panjang, tidak percaya? Silakan tengok Repelita di era Orde Baru ataupun MP3EI di era Reformasi. Keberlanjutan pertumbuhan itulah yang menjadikan organisasi bisa tumbuh dengan pesat, tidak sekedar berpikir "hari ini makan apa?" Maka belajarlah dari tokoh-tokoh terkemuka yang mampu menggunakan perannya sebagai CxO untuk berpikir jauh ke depan. Maka, coba luangkan waktu untuk merumuskan renstra HIMMPAS UI. Dari sini kita belajar untuk menyiapkan laju pesat sebuah organisasi yang tidak sekedar setahun dua tahun. Bukankah HIMMPAS tidak dirancang di tahun ini dan setahun ke depan saja.

Oh iya kita punya banyak kendala, mulai dari lokasi Depok dengan Salemba, jam kuliah, udah ada yang menikah, lagi kerja, lagi PDKT#eh. Well, sampai kapanpun kendala tetap kendala kecuali ada yang mau berpikir mengelolanya sebagai peluang. Dengan kapabilitas yang dipunyai para pengurus tahun ini, saya masih menaruh bibit-bibit optimis. Optimis mereka bisa menghentikan tradisi-tradisi tertentu dan mengorbitkan adat-adat yang lebih perlu. You know what..hehee

Reason for Exist
Akhir paragraf di artikel ini adalah persuasi untuk introspeksi. Sebetulnya untuk apa ada Himmpas? Jika mantan Menkominfo pernah nge-tweet "internet cepat 'buat apa'?" dan responnya ramai, maka bayangkan ketua Himmpas UI nge-tweet "Ada @HimmpasUI ada 'buat apa'?" (Jangan lupa follow @HimmpasUI ya gaess), kira ramai tidak ya responnya? Jika ramai, apakah ramai pro, ataukah kontra, ataukah nanya "himmpas itu apa"? Semoga adanya HIMMPAS UI memiliki sebab yang masuk akal, bukan sekedar "karena UGM punya HIMMPAS dan ITB punya KAMIL". Apalagi M kedua adalah Muslim dan PAS-nya adalah Pascasarjana, jelas orang akan banyak bertanya mengapa harus ada organisasi khusus bagi mahasiswa muslim di jenjang pascasarjana.

HIMMPAS UI mungkin dirindukan bagi sebagian manusia, tapi saya lebih berharap untuk tidak merindukan HIMMPAS UI jika itu tidak bisa membuat HIMMPAS menjadi lebih baik
Depok-Bandung-Jakarta Selatan
#AkhirnyaDipublishJuga

4th PKI Awareness

Kesempatan mendengarkan pemaparan yang menarik seputar tanda tangan digital, sertifikat elektronik, dan tentunya IKP (versi Indonesia dari PKI). Kali ini relatif lebih meriah, lebih teknis pembahasannya, dan juga lebih luas jangkauan pesertanya. Semoga menjadi tonggak yang stabil dan progresif untuk menuju implementasinya (yang rencananya) dimulai tahun 2016 ini.

Rangkiman Islam 5 Dimensi

Rangkuman petuah berharga dari Dr. K.H. Asep Zaenal Ausop, M.Ag. tentang Islam Lima Dimensi dalam di Masjid Salman ITB (27/2).

5 potensi buruk yang dimiliki oleh manusia:
1. Dhaluman, yaitu sikap mendzalimi diri sendiri walaupun sudah tahu bahwa hal tersebut buruk, misalnya merokok. Hal ini diingatkan dalam Al-'Aĥzāb ayat 72, "Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh".
2. Jahula, tidak bodoh tapi suka bertindak bodoh ataupun sudah tahu tercela namun masih melakukan perbuatan tersebut. Contoh nyata adalah meminum miras walaupun sidah tahu bahayanya, tahu larangannya, bahkan ada minuman lain lebih murah dan bermanfaat seperti jus :)
, thu trcela tpi dijalankan
3. Halu'ma dan jazu'a, taitu sikap suka mengeluh serta berkeluh kesah. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan manusja bersyukur atas apa yang diterima atau dimiliki dan memandang hanya dari sisi negatif tanpa menyadari kebaikan manfaat yang ada. Kita bisa melihat fenomena ini dari Surat Al-Ma`ārij ayat 19-20, "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah".
4. Manu'a, yaitu sikap kikir, baik kepada diri sendiri mauoun orang lain.

5. 'Ajula, yaitu bertindak dengan suasana tergesa-gesa. Ada sebuah ayat yang emnyinggug kebiasaan ini, yaitu Al-'Isrā' ayat 11, "Dan manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa."

Kita harus bisa mengganti perbuatan-perbuatan di atas dengan sikap adil, yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya; bertindak cerdas dan sabar atas apa yang terjadi pada kita; serta bersyukur atas apa yang ada pada kita.

5 hal yang berhubungan dengan manusia, yaitu:
1. Abid, hamba Allah karena memang hanya Allah yang patut disembah. Diterangkan dalam Adh-Dhāriyāt ayat 56, "Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku".
2. Khalifah, wakil Allah sehingga kita wajib menegakan keadilan hukum-hukum Allah di muka bumi. "Penunjukan" manusia sebagai khalifah dipaparkan dalam Al-Baqarah ayat 30, "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi'. Mereka berkata: 'Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?' Tuhan berfirman: 'Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui'".
3. Ro'in, yaitu pemimpin sebagaimana dipesankan dalam hadis Rasulullah bahwa "Kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan ditanyai atas kepemimpinan kalian".
4. Da'i, misi berdakwah dalam rangka mengingatkan kebaikan. Salah satunya termaktub dalam At-Taĥrīm ayat 6 "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan".
5. Visi, misi, strategi, yaitu tentang apa target yang kita harapkan dari kehidupan ini serta bagaimana mewujudkannya. Visi ini adalah terwujudnya kehdupan yang baik di dunia dan akhirat, sedangkan misinya adalah beribadah pribadi dan kolektif, yaitu memakmurkan kseejahteraan hidup seluruh manusia. Kemudian yang menjadi strategi adalah menjadikan semua aktivitas sebagai ibadah.

Wallahualam.

Apresiasi bagi Mereka, Pemimpin yang Peduli Kebudayaan

Pemimpin daerah tidak melulu harus identik dengan kasus korupsi ataupun birokrasi berbelit. Masih ada kok pemimpin daerah yang bisa berprestasi dengan baik. Salah delapan dari seluruh pemimpin daerah di berbagai penjuru tanah air adalah 8 sosok berikut (1 orang berhalangan, cmiiw). Mereka mendapat apresiasi "formal" berupa Anugerah Kebudayaan 2015 dari PWI Pusat pada awal Februari 2016 lalu. Memang secara publikasi penghargaan ini jauh dari hingar bingar keramaian, mungkin karena di negeri ini berita kontroversi seperti LGBT dan sianida lebih heboh daripada berita tentang prestasi. Menarik dari bagi melihat daftar nama serta wajah peraihnya karena 2 diantara 8 bupati/wali kota tersebut memiliki ikatan kedaerahan dengan saya, yaitu Tegal dan Kota Bandung.

Sumber: http://www.kemenkopmk.go.id 
Siapapun fotografernya, saya acungi jempol karena begronnya bagusss banget dan cocok dengan sosok-sosok wali kota dan bupati yang ada di situ.

Kedelapan bupati/wali kota berprestasi tersebut adalah:
  1. Abdullah Azwa Anas, Bupati Banyuwangi (Jawa Timur), menerima Anugerah Kebudayaan  berbasis  revitalisasi tradisi lokal dan mobilisasi kesadaran masyarakat lewat berbagai festival.
  2. Ali Yusuf, Walikota Sawahlunto (Sumatera Barat) menerima Anugerah kebudayaan berbasis warisan cagar budaya, tenun, dan pariwisata.
  3. Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta (Jawa Barat), menerima Anugerah Kebudayaan berbasis revitalisasi tradisi Sunda, dengan keteladan partisipatoris.
  4. Enthus Susmono, Bupati Tegal (Jawa Tengah) menerima Anugerah Kebudayaan berbasis religiusitas dan pewayangan sebagai medium komunikasi pembangunan.
  5. Hugua, Bupati Wakatobi (Sulawesi Tenggara) menerima Anugerah Kebudayaan berbasis  kearifan maritim,  tradisi dan jaringan global.
  6. Jimmy F.Eman, Walikota Manado (Sulawesi Utara) menerima Anugerah Kebudayaan berbasis keindahan alam, tradisi  yang diaktualkan, dan festival internasional.
  7. Mochamad Ridwan Kamil, Walikota Bandung (Jawa Barat) menerima Anugerah Kebudayaan berbasis modernitas dan aktualisasi tradisi dengan dukungan teknologi dan media sosial yg mengglobal.
  8. Wilhelmus Foni, Penjabat Bupati Belu (NTT) menerima Anugerah Kebudayaan berbasis penegasan jati diri Indonesia di wilayah perbatasan Timor Leste dan Australia.
Keberhasilan mereka tentu juga disokong faktor masyarakat yang mampu memberikan kontribusi positif terhadap gagasan-gagasan cerdas mereka. Namun pengaruh kepemimpinan jelas tidak bisa disepelekan. Saya teringat kata-kata seorang gubernur muda asal Jambi (cmiiw), "Pemimpin daerah itu tidak hanya mengepalai jajaran birokrasi, tapi juga memimpin masyarakat". Maka, akan sangat pesat perkembangan kebudayaan suatu daerah, jika memang pemimpinnya adalah orang yang "melek" budaya dan mau me-"melek"-kan masyarakatnya.

Pelajaran dari Siti Hajar

Ada sebuah kisah penuh pelajaran dari sosok Siti Hajar. Teladan yang merupakan ibu dari Nabi Ismail as sekaligus istri dari Nabi Ibrahim as. Kisah petualangan beliau beserta keluarganya bertahan hidup di sebuah padang pasir direpresentasikan dalam beberapa rukun dalam haji dan umroh. Padang pasir tersebut kelak menjadi salah satu pusat peradaban dunia, yaitu Mekkah ataupun Makiyah.

Khusnudzon terhadap perintah Allah
Saat ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim, Siti Hajar menanyakan alasan kepergian beliau. Jawaban demi jawaban tidak juga dilontarkan Nabi Ibrahim, kecuali sebuah anggukan yang merespon pertanyaan terakhir, "Apakah ini perintah Allah?". Anggukan tersebut ternyata sudah cukup bagi Siti Hajar untuk membentengi diri dari segala macam prasangka buruk. Dengan bekal prasangka baik itulah dia "merestui" kepergian Nabi Ibrahim walau artinya dirinya hanya berdua dengan Nabi Ismail yang kala itu masih belia. Sebuah pelajaran bahwa dalam membina rumah tangga, berprasangka baik merupakan modal yang penting untuk membangun kepercayaan.

Mau Berikhtiar serta Fokus pada Solusi
Walau sadar bahwa keberadan dirinya dan Nabi Ismail adalah perintah Allah, Siti Hajar tidak lantas berleha-leha mengharap adanya hidangan yang diturunkan dari langit. Beliau tetap berupaya mencari makanan dan minuman untuk memastikan keberlangsungan hidup mereka, terutama Nabi Ismail. Status istri seorang rasul tersebut tidak mendorong dirinya manja. Tatkala pencarian belum membuahkan hasil, dirinya tidak putus asa, apalagi menyalahkan Allah. Meskipun dalam tekanan, Siti Hajar mampu tetap fokus pada apa yang seharusnya dilakukan. Sebuah pelajaran berharga bagi kita agar bisa lebih bertindak nyata daripada berkomentar cela. Bahkan di akhir pencarian air yang dilakukannya hingga berkali-kali melewati bukit Shofa dan Marwa, justru sumber air terletak pada tanah di ujung kaki bayi Nabi Ismail. Rezeki tersebut datang justru dari tempat yang dekat dan tidak diduga. Namun Siti Hajar tidak lantas mengeluh lantaran kesal dikerjai. Beliau memanjatkan syukur dengan khusnudzon atas ujian tersebut.

Wallahualam.

Rio Sudah Mau Melaju... Bagaimana dengan yang lain?

Selamat berjuang Rio Haryanto yang menjadi WNI pertama di kursi mobil F1. Prestasi yang membanggakan, namun juga mengundang cibiran. Semua tentu kembali ke subjektif atau objektifnya kita memandang ekosistem yang terjadi.

Konon, ini adalah kendaraan (sumber: Liputan6.com) yang memerlukan mahar bermiliar rupiah, investasi yang sangat wah untuk industri yang sangat jangka panjang bagi Indonesia
 
Sudah banyak yang mengulas sikap pro dan kontra terkait tebusan bermiliar-miliar yang musti dikeluarkan Rio Haryanto untuk berlaga di kejuaraan F1. Bombastis dan mengundang pertanyaan mengingat dana tersebut sifatnya "crowdfunding" hasil dari APBN (cmmiw), dana marketing sebuah BUMN, hingga talangan pribadi, bahkan uluran tangan negara lain. Dari berbagai keributan di dunia maya, sebetulnya permasalahannya memang terletak pada pendanaan. Soal kiprah Rio sebagai pembalap (sebetulnya dan sepertinya) tidak ada masalah. Nasi sudah jadi bubur ayam. Sayang jika Rio harus mendepakkan dirinya hanya karena tidak enak hati. Rio sudah waktunya untuk mengucap "bismillah" memasuki musim 2016 ini. Sekarang pertanyaannya, "Bagaimana dengan 'yang lain'"?
Siapa yang dimaksud 'yang lain'?

Pertama pemerintah Indonesia
Harus ada upaya keras dari pemerintah (terlepas dari suka tidak suka, bahkan apapun afiliasi koalisinya) untuk memanfaatkan identitas Rio sebagai WNI agar bisa betul-betul memberi dampak bagi negara Indonesia. Apalagi Rio (dari hasil pengamatan saya) pun adalah orang yang sangat bangga dengan ke-Indonesia-annya. Beberapa langkah yang bisa dan patut diupayakan oleh pemerintah Indonesia antara lain:
  • Memperjuangkan branding Indonesia, khususnya kepariwisataan Indonesia sebagai atribut resmi Rio dan juga tim Manor
  • Menjembatani pembukaan lapangan kerja di tim Manor yang berasal dari WNI
  • Menyatakan dukungan langsung dan terbuka atas partisipasi Rio di F1

Kedua dari industri
Industri juga perlu tanggap dalam menyikapi partisipasi Rio di F1. Beberapa upaya positif yang patut dijalankan oleh pihak industri antara lain:
  • Kerja sama dalam konteks positif
  • Ikut andil "menggerakan" branding Indonesia sebagai negara yang memiliki kekuatan ekonomi potensial
Ketiga ya kita-kita
Kita juga memiliki peran lho. Perannya sederhana karena terkait sebuah pilihan, menjadi "suporter" ataukah "kritikus".

Serampai Langkah di Teras Cikapundung

Masih (Banyak) PR terkait IKP

Implementasi IKP di Indonesia masih jauh kawan. Perjalanan untuk mengantarkan teknologi ini ke masyarakat dan industri belum layak dilalui dengan santai. PR masih menumpuk, apalagi Indonesia memikiki tantangan yang spesial dalam urusan layanan TI untuk publik.

Siapa saja PSrE nanti?
Industri masih bertanya-tanya "Bisnis apa sih PSrE itu? Bisa 'balik modal' kapan? Memang pasarnya sudah ada?" Jelas pertanyaan yang sulit dijawab, baik oleh regulator maupun akademisi. Untuk layanan publik non-komersil kepada masyarakat, barangkali pemerintah (dengan kekuatan hukumnya) bisa menugaskan satu atau beberapa lembaga pemerintah sebagai PSrE, tapi bagaimana bisnis kodel yang layak untuk menghidupi lembaga tersebut, apakah subsidi menjadi "ASI" tanpa ada batas waktu untuk mandiri? Swasta? Hmmm, sulit membayangkan kekuatan lokal menjadi bidak catur mayor saat ini, kecuali ada sokongan asing. Tapi sekali lagi, bisnis sertifikat elektronik di Indonesia belum menjanjikan secara bisnis jangka pendek. Yang paling logis saat ini adalah "menekan" instansi pemerintah menggunakan sertifikat elektronik untuk e-government. Sektor swasta, barangkali hanya industri perbankan yang cukup realistis untuk didorong menjadi PSrE swasta.

Siapa saja RA-nya?
Ujung tombak yang menjadi jembatan antara pemilik sertifikat elektronik dengan PSrE adalah RA. Namun siapa yang sudah siap menjadi RA? Secara teoretis, lembaga yang sudah tersebar di berbagai lokasi di Indonesia dengan kemapanan di sektor TIK hanya ada dua: pertama bank dan kedua kantor pemerintahan. RA inilah yang menurut saya bisa dipersiapkan dari sekarang melalui program kemitraan yang berpikir jangka panjang. Namun belum ada tanda-tanda adanya bank yang mencium semangat positif keberadaan PSrE ini, termasuk Bank Indonesia dan OJK di pusat. Menarik untuk disimak bagaimana potensi komersialisasi layanan RA oleh bank nantinya.

Bagaimana sokongan hukumnya?
Ini juga tak kalah pentingnya mengingat sertifikat elektronik merupakan sasaran Kemkominfo yang statusnya adalah institusi pemerintah. Payung hukum jelas diperlukan untuk menggerakkan seluruh entitas yang berperan maupun yang berpotensi terjun ke layanan TI ini. Faktor birokrasi yang berlibet plus tekanan internal-eksternalmjelas menjadi cerita yang membuat perjuangan implementasi sertifikat elektronik ini masih jauh dari kata sukswssa.

Bagaimana branding-nya?
Rasa-rasa sudah sepatutnya kerangka kerja implementasi program pemerintah, termasuk di bidang TIK, menyertakan branding sebagai bagian dari rencana kerja. Teknologi canggih, andal, aman, plus dilindungi oleh payung hukum masih sulit "laku" jika branding-nya dikerjakan asal-asalan. Lebih jauh lagi, persepsi masyarakat terkait sertifikat ekektronik, adalah barang mewah, bukan kebutuhan tentang keamanan informasi.

Dunia utuk Akhirat

Rangkuman Kajian Sabtu Dhuha di masjid Salman ITB oleh Prof. Dr. H. Dedi Mulyasana tentang Dunia untuk Akhirat

Manusia di dunia ini seperti orang asing, orang yang sedang menyeberang. Karena kenyataannya dunia ini hanya persinggahan semata dan secara waktu terlalu singkat usia kita dibandingkan waktu di akhirat kelak. Maka, perlu dipertanyakan dua hal ke diri kita. Pertama, sedang apa dan punya bekal apa ketika Allah memanggil? Kedua, darimana berasal dan hendak kemana? Tentu menuju ke akhirat, sehingga kita perlu "mengenal" apa saja "kendaraan" akhirat, yaitu: niat, iman, ilmu, amal saleh, dan ikhlas. Kelima kendaraan ini bermuara pada mencari ridho Allah, bukan membahagiakan orang lain, misalnya istri membahagiakan suami ataupun sebaliknya. Namun berhati-hatilah terhadap niat, karena ada pula konsep reward-punishment yang bjsa dengan mudah menghabiskan niat kita.

"Sebaik-baiknya kenikmatan, tidak ada kenikmatan yang abadi.
Sejelek-jeleknya keburukan, tidak ada keburukan yang abadi.
Dinia adalah tempat menanam dan akhirat adalah tempat menuai hasil."

Terdapat beberapa jenis ketakutan salah
1. Takut kehilangan harta daripada takut kehilangan surga
2. Takut sakit daripada takut dosa
3. Takut dosa (bisa menghindari dosa), tapi tidakntakut pada kesombongan, padahal ancamannya neraka
4. Takut dosam takut adzab kesombongan, tapi tidak takut riya, padahal dapat menghapuskan amalan soleh.

Berikut ini merupakan beberapa situasi dimana dunia merebut kesuksesan:
1. Sukses di dunia hilang makna jika mendatangkan kecemasan dan rasa takut
2. Sukses tanpa iman dan sukur akan menempatkan manusia pada derajat terendah di sisi Allah
3. Sukses itu adalah bila mampu mengubah kenikmatan menjadi amal saleh
4. Sukses itu ditempatkan di bawah iman, jangan sampai ditempatkan atas logika dan kepentingan

Apakah harta dan jabatan itu kebahagaiaan?
- Jika harta jaminan kebahagaiaan, maka tidak ada orang kaya stres dan bunuh diri
- Jika jabatan jamina  kebahagiaan, maka  tidak ada pejabat depresi

Al-Ĥadīd:23 - "(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri."

3,12 Juta dari Angkatan SD saya tidak Punya Ijazah SMA/SMK/MA

"Laporan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2012 mencatat bahwa mereka yang lulus SMA/sederajat pada tahun 2011 hanya 43,4% dari total angkatan mereka ketika pertama kali masuk SD, yaitu 4,9 juta. Hal ini berarti dalam tahun itu terdapat 2,1 juta anak-anak Indonesia yang tidak memiliki ijasah SMA. Jika hal ini dibiarkan 10 tahun saja. Maka kita akan 'memproduksi' 21 juta anak Indonesia yang tak berijazah SMA. Dalam kondisi seperti ini, bonus demografi bukan lagi sebagai anugerah tetapi kutukan bagi sejarah."

Pernyataan di atas dilansir dari artikel kawan saya, Detha Alfrian Fajri, M.M., yang berjudul "The Scholar’s Responsibilities" di Buku The Next Indonesia. Pernyataan dari Kemendikbud yang dikalkulasikan dalam visi beliau menjadi sebuah kengerian yang luar biasa. Saya mencoba menelusuri data yang berkaitan dengan pernyataan tersebut. Hasil cukup mencengangkan memang. Berikut ini link yang bisa Kawan telusuri untuk memastikan validitas artikel tersebut.
kemdikbud.go.id/kemdikbud/dokumen/BukuRingkasanDataPendidikan/Final-In-Brief-1112.pdf
kemdikbud.go.id/kemdikbud/dokumen/BukuRingkasanDataPendidikan/6-Final-Statistik-PT-2011-2012.pdf

Sedikit "bocoran" mengenai publikais resmi tersebut pada halaman 25 di buku Final in Brief (itu halaman yang di pojok buku lho ya, bukan halaman pas buka file pdf-nya :v). Di situ memang ada upaya kreatif untuk menjelaskan arus masuk dalam persentase tiap angkatan dari awal SD s.d. lulus Sekolah Menengah (tingkat) Atas (termasuk MA dan SMK). Cara penayangannya sudah bagus, namun sayangnya antarangkatan tidak dibedakan warnanya sehingga perlu jeli untuk memeriksa arus tiap angkatan. Sebagai gambaran, untuk angkatan saya masuk SD di musim 1996/1997, hanya ada tersisa 35,7% yang mampu menggapai ijazah SMA. 35,7% tersebut berasal dari angka 100% di titik start masuk SD yang berjumlah 4.849.131 orang. Artinya dari (sekitar) 4,8 juta tersebut hanya 1.731.139,767 orang (dibulatkan 1,73 juta orang) saja yang meraih ijazah SMA. alias sekitar 3,12 juta kawan-kawan yang masuk SD-nya bareng saya tidak mampu meraihnya. Ngeri memang perjalan tersebut. Faktor ekonomi dan sosial tentu (sangat mungkin) menjadi kambing hitamnya, walau ada faktor lain berupa sebagian dari 3,12 juta orang mengalami duka meninggal dunia.

Bagi masyarakat dengan status ekonomi sosial, tentu ber-SMA menjadi hal yang lumrah, bahkan kerap pusing memilih SMA mana tujuannya. Lain halnya bagi mereka yang ekonominya kurang mampu ataupun kondisi sosialnya yang tidak didukung infrastruktur pendidikan yang layak, pilihannya justru mau ber-SMA atau tidak. Ijazah SMA yang dibayar dengan uang dan waktu selama 3 tahun jelas investasi yang terlalu memberatkan bagi mereka. Selain itu, pertanyaan mereka, jika lulus SMA apa keuntungannya? Pekerjaan di daerah-daerah tertinggal tidak banyak yang mensyaratkan ijazah SMA untuk bertahan. Jika tanpa ijazah SMA sudah bisa kerja, untuk apa masuk SMA? Menurut saya, hal tersebut sangat wajar, namun ada dinamit yang terus membelenggu atas pola pikir demikian. Dinamit tersebut adalah bagaimana keberlangsungan nasib anak keturunan mereka jika pola pikir seperti itu terus dilestarikan?

Sinau Bertahap tentang SITAP

Di tengah pembekuan PSSI sehingga ISL terhenti (nyaris) setahun, alhamdulillah ada kesempatan belajar tentang PSSI dalam konteks lain, yaitu Perencanaan Strategis Sistem Informasi. Ini kesempatan yang bermanfaat, baik dari sisi akademik maupun profesi. Dua kali mengambil kuliah PSSI di bangku kuliah, walau memang faktor "aneh" menyebabkan huruf P saat S1 bukan "Perencanaan", melainkan "Perancangan". Jika pada S1 menyeruput TOGAF ADM plus bumbu COBIT dan Zachman, kemudian di S2 sempat mencicipi Tozer, lalu Ward and Peppard, maka di dunia "nyata" kali ini saya berkenalan dengan SITAP. Kerangka kerja ini merupakan akronim dari Strategic Information Technology Architecture Planning. Sudah sekitar 2 pekan saya ber-PDKT dengannya sembari membayangkan bagaimana konsep-konsepnya dijalankan nanti.



Sebagaimana kerangka kerja untuk membuat perencaan pada lazimnya, SITAP ini memuat tiga bagian: situasi saat ini (as-is), situasi yang diharapkan (to-be), dan analisis kesenjangan (gap analysis). Hanya saja terdapat penjabaran dari sisi bisnis dan TI plus pendetailan dalam proses analisis kesenjangan. Yang menarik dari buku ini adalah 70 kotak yang menjadi panduan dalam menganalisis ketiga situasi tersebut. Beberapa kotak bersumber dari konsep-konsep bisnis dan juga TI yang telah berkembang seperti value chain, canvas business model, COBIT, TOGAF, hingga SKKNI. Semoga khusnul khotimah dalam menerapkannya ^^

Injury Times Come Closer

Alhamdulillah proyek di Kemkominfo memasuki fase penyelesaian teknis. Revisi menjadi santapan sebulan terakhir. Menarik sekali bagi saya menyimak dinamisnya diskusi mengenai implementasi keseluruhan rencana Kemkominfo terkait Infrastruktur Kunci Publik, khususnya pasca-serahterima produk "knowledge" dari tim proyek kami.

Di proyek Kemkominfo ini saya bersama tim proyek menyusun sejumlah modul pengetahuan yang berisi rancangan ketentuan/regulasi, penjelasan konseptual, hingga spesifikasi teknis terkait IKP, khususnya sertifikat elektronik. Sebagai klarifikasi, ini bukan piagam yang di-scan lho ya gaesss. Teknologi sertifikat elektronik di Indonesia agaknya sekian tahun tertinggal implementasinya dibandingkan negara-negara lain, termasuk Myanmar dan Thailand. Alhamdulillah di dalam proyek ini, saya juga berkesempatan belajar langsung mengenai penyusunan CP/CPS sebagai bagian dari dokumen yang menjadi persyaratan PSrE di Indonesia.

Di sini saya banyak belajar tentang bagaimana memahami konsep teknologi yang sangat baru (di lingkup Indonesia) yang kebetulan terkait dengan Telematika, KK yang matkulnya paling membuat saya teler hehee.

Di sini saya belajar berkomunikasi dalam Bahasa Inggris secara langsung dengan WNA yang menuntut saya berpikir dan berkata cepat agar tidak terjadi lack of communication (etdaaah apaa ini?wkwkwk).

Di sini saya belajar berpikir ilmiah dalam menyajikan kalimat dengan mempertimbangkan sisi teknis, bahasa, serta sosial-humaniora. Tentu bukan hal mudah menjembatani kebutuhan yang bersifat regulasi s.d. teknis. Namun itu semua saya nikmati sebagai bagian dari pembelajaran.

Di sini saya belajar manajemen proyek, baik dalam arti tanggung jawab kolektif maupun tanggung jawab individu. Saya menikmati ini semua, bagaimana itu mengendalikan target serta menjalani proses.

Di sini saya belajar kultur di pemerintahan yang berbeda dengan sektor swasta. Aspek hukum sebagai birokrat perlu diperhatikan selain mengerahkan gagasan yang bersifat teknis. Belajar pula tentang kepemimpinan organisasi yang sangat melihat hierarki dalam melandasi kebijakan.

Di sini saya belajar banyak dan semoga itu bermanfaat, baik kepada Kemkominfo maupun ke tiap personel di tim proyek ini.

Nuhun kepada Kemkominfo, Pak Yudho, Dita, Nisa, dan juga Bang Tomi atas kesempatannya berkarya kali ini.

Inspirasi 3 Peneliti "muda" Indonesia

Sebuah talkshow penuh inspirasi kembali dihelat oleh HIMMPAS UI pada Sabtu lalu (14/2) dengan topik Sumbangsih Ilmuwan Muda untuk Indonesia. Topik yang sepintas berat, padahal sebetulnya ya memang lebih berat. Hanya saja Allah mengirimkan bantuan-Nya berupa pembicara-pembicara yang berkompeten sehingga banyak petuah positif yang kami dapatkah melalui mereka. Sosok M. Ali Berawi, Ph.D (Direktur PRDM UI 2015, dosen Fak. Teknik UI), Radyum Ikono, M.Eng (COO Nano Center Indonesia), dan Rully Prassetya, MPP, M.Sc. (ekonom di IMF Indonesia) menyuguhkan sisi pandang yang berbeda namun mengarah kepada persuasi yang sama, yaitu menjadi diri ini berarti bagi Indonesia sesuai kapasitas masing-masing.

Sosok Pak Ali Berawi, sepintas mirip walkot BDG, memang tampak gahar khas orang Teknik, hanya saja beliau mampu memberikan pemahaman tentang dunia riset, khususnya bagaimana mengelola motivasi. Tentu hal ini sangat bermanfaat mengingat riset bukanlah bidang kerja favorit dan juga tidak menjanji popularitas maupun material. Diingatkan pula kita mengenai keharusan untuk mengubah pola pikir kita yang gemar mencari akar masalah tapi hanya berujung pada mencari siapa yang salah, padahal yang diperlukan adalah solusi dan itu adalah "pekerjaan" yang harus berani kita ambil jika ingin memberikan manfaat bagi sekitar. Beliau sempat menyinggung bahwa peneliti itu boleh saja (mengalami) salah, namun harus jujur. Jelas pernyataan yang tegas bahwa seberapapun pencapaian riset kita, akan sangat mungkin akan ada unsur kecacatan, baik itu teknis maupun konseptual, namun jangan pernah mengingkari kejujuran dalam menjalankan penelitian tersebut. Sebuah petuah klasik juga beliau singgung mengenai kesungguhan membaca, yang ironisnya menjadi alasan "sejuta umat" untuk kurang berkembang. Beliau menyodorkan kisah beliau yang tidak serta merta melahap sekian banyak jurnal dalam waktu singkat, semua itu ada tahapan yang meningkat dijalaninya. Lebih jauh lagi, beliau menyodorkan pula beberapa hal-hal manis yang menjadi "hilir" dari kesungguhan kita dalam menjalankan riset. Sebuah kesempatan berbagai pengalaman yang menggugah dari sosok yang sangat pakar di dunia riset.

Sharing Pak Radyum Ikono juga tak kalah menarik, bahkan dari kemunculan beliau yang mengenakan kaos oblong pun sudah cukup memancing ketertarikan, "cerita dan gaya bercerita apa yang akan disampaikan?". Berbekal gelar sarjana dan magister dari luar negeri ternyata tidak membuat beliau congkak dalam memandang permasalahan Indonesia. Dia berani mengambil peran dalam dunia riset di Indonesia dengan menempatkan dirinya sebagai "research-entrepreneur". Heh? Apaan tuh? Beliau menyebutnya istilah itu sebagai gambaran atas apa yang saat ini dia geluti, yaitu mengindustrikan hasil penelitian di perusahaannya. Saya menangkap bahwa beliau jeli membaca ekosistem riset di Indonesia yang kurang terjembatani di dunia industri, yang pada kenyataannya membuat banyak ilmuwan lokal hijrah ke negara lain agar bisa mempertahankan otaknya bisa bermanfaat. Riset dan industri seolah-olah kurang terjembatani. Jataban sebagai COO menuntut dirinya tidak hanya piawai mengelola intisari riset, namun juga "mengirimkan" produk risetnya ke pasar yang sesuai. Di sinilah dirinya menemui tantangan yang beragam, terutama dari apresiasi terhadap hasil penelitian yang masih kurang. Tertarik melihat kegigihannya yang masih berkobar khas anak muda.

Setelah menyimak moderasinya di Talkshow MEA November lalu, kali ini Pak Rully Prassetya (yang ternyata kelahiran 1990 hahhh??) menghadirkan cakrawala berbeda tentang menggapai cita-cita. Sebelumnya, Pak Banu saat sambutan memberikan bocoran gradasi prestasi Pak Rully sebelum masuk dengan setelah masuk UI. Anak rantau dari daratan Minang yang menyadari bahwa potensinya ada di dunia ekonomi, namun harus berhadapan dengan keterbatasan kapabilitas berbahasa Inggris saat diterima di UI. Tapi di tahun ketiga dia justru dikirim ke Amerika untuk sebuah misi akademik. Artinya, ada proses yang "spesial" pada beliau, dan itu adalah kerja saat alias keuletan. Berawal dari kelemahan, dirinya justru mampu menjadi Bahasa Inggris sebagai keunggulannya dan kemudian mampu menggapai double degree di perguruan tinggi luar negeri, salah satunya adalah magister kebijakan publik dan kini menjadi tim riset di IMF Indonesia (setelah sebelumnya di ERIA). Dibandingkan sosok Pak Ali Berawi dan Pak Radyum Ikono yang jebolan kampus S1 luar negeri, sosok Pak Rully jelas lebih "lokal" sebagai alumnus UI, hehee. Maka tidak heran banyak audien (yang mayoritas mahasiswa UI) mengajaknya berdiskusi pascaacara, untuk menggali bagaimana beliau ber-"revolusi".Inspirasi yang "menggugah", nah kalau udah "bangun" artinya waktunya untuk bergerak, bukan sekedar mendiami mimpi hehee

Mengeja Diskusi Destruktif [2] Bagaimana Mengonstruksikannya

Masih berbincang tentang LGBT namun kali ini saya mulai menemukan beberapa pemikiran yang agak berbeda. Selama ini diskusi LGBT kerap dibenturkan dengan kesimpulan jangka pendek, yaitu pro ataukah kontra, titik (ya walau ada yang masa bodoh hehee). Dikotomi yang sepintas bagus, namun bagi saya diskusi yang sebatas itu hanya bersifat membina rasa dendam lantaran adu argumen yang "terpaksa" dituntaskan. Sekarang sudah sepatutnya kita "menghabiskan" ide dan argumentasi kita untuk menggagas pencegahan LGBT dan perbaikan para pelakunya, mulai dari saat ini juga. Ingat ini revolusi mental hehee, jadi jangan terlalu ribut pro ataukah kontra jika tidak punya bekal penanganan berikutnya.

Pertama tentang pencegahan
Adakah di sini yang bercita-cita anaknya menjadi LGBT?
Adakah di sini yang bercita-cita punya sahabat, saudara, orang tua, atau bahkan suami/istri yang LGBT?
Adakah di sini yang sejatinya bercita-cita menjadi LGBT?
Alaminya manusia tidak akan menjawab "saya" pada 3 pertanyaan di atas. Namun sekali lagi tidak punya niat untuk mengiyakan 3 pertanyaan itu tidaklah cukup. Perlu tindakan nyata sebagai bukti kesungguhan kita. Jika upaya/tindakan sudah optimal, Allah SWT pasti memberikan bantuan-Nya. LGBT ini merupakan tetangga dekat berbagai perilaku seksual menyimpang. Artinya harus ada pembenahan dalam mendidik anak kita, pasangan kita, dan juga keluarga kita terkait pendidikan seksual. Tidak cukup mendidik anak dengan menitipkannya ke sekolah, apalagi (setahu saya) kurikulum nasional tidak menyelipkan pendidikan seksual sama sekali. Kita perlu "bersuara" agar kurikulum nasional menyelipkan pendidikan seksual yang benar, sesuai agama, dan norma sosial. Kita juga harus kepo terhadap "santapan" internet dan televisi orang sekitar kita. Godaan pornografi, pornoaksi, dan porno-porno lainnya sudah terlalu jamak di dunia maya. Di jalur inilah, kepenasaran akan LGBT justru bisa memancing anak/saudara/pasangan kita menjadi penganut paham tersebut.

Kedua tentang perbaikan
Kita perlu belajar dari insiden "genoside" yang menimpa kader dan simpatisan komunis di akhir Orde Lama. Mereka dicap hina dan lantas dihakimi massal tanpa pernah ada kejelasan. Saya berharap tidak ada "genoside" terhadap pelaku LGBT. Alasannya sederhana, mereka manusia dan punya hak asasi berupa hidup (ya, hak hidup adalah salah satu HAM bagi mereka, namun perilaku LGBT-nya tentu bukan HAM). Yang kita tentang adalah ke-LGBT-annya, bukan orangnya. Saat ini boleh jadi kita normal dan mereka tidak, tapi bagaimana dengan sekian tahun kemudian. Boleh jadi mereka punya potensi yang dapat lebih berkembang dan bermanfaat jika mereka sembuh. Boleh jadi mereka setelah sembuh akan menjadi pemuka agama, ilmuwan, entrepreneur, ataupun aparat negara yang memberi manfaat dan juga ikut memberikan solusi atas masalah LGBT.

Maka saran kepada media, tampilkan pula sosok yang sembuh dari LGBT, bagaimana mereka sembuh, bagaimana hidup mereka setelah sembuh, dan berbagai cerita bermanfaat lainnya.

Sekali lagi, jangan mau kehilangan waktu untuk debat pro ataukah kontra, apalagi sampai mengumbar argumentasi berbusana akademisi. Gunakan kecerdasan anda untuk memberi solusi.

Sepak Bola Indonesia Pingsan Terlalu Lama

Statistik dari juara.net ini ngeri sekali memang. Ada 90% jumlah pemain bola di "tata surya" sepak bola Indonesia yang menganggur. Jumlah yang sangat dahsyat mengingat ini menjadi PHK masif di era reformasi. Dan itu dimulai dari pembekuan induk organisasi yang sayangnya seperti itu saja dibiarkan berlarut-larut oleh menteri yang membekukannya, bahkan ketika pembekuan tersebut dianulir oleh pengadilan.


Sejak pembekuan tersebut berbagai tarkam, baik tingkat provinsi, antar-provinsi, hingga nasional dihelat oleh berbagai pihak. Ada yang inisiatif pihak swasta, hingga pemerintah daerah dan instansi negara. Piala Sudirman, Piala Presiden, Piala Kemerdekaan, Piala Surya Citra, (final) Inter-Island Cup, dan ah saya lupa saking terlalu banyak dan bercecerannya, belum lagi Piala Gubernur Kaltim, Piala Wali Kota Padang, Piala Marah Halim yang bahkan belum ada kejelasan jadwal dan siapa yang diundang.

Namun, semua itu hanya hiburan sepintas mengingat perlahan industri sepak bola Indonesia kolaps. Satu per satu pemain asing, misalnya Makan Konate, dan juga beberapa nama beken pemain nasional, misalnya Pattrich Wanggai, Sergio van Dijk, enggan memperkuat klub-klub domestik karena faktor masa depan. Sepak bola Indonesia pernah "asma" ketika dualisme ISL vs LPI, namun pingsan kali ini sangat memprihatinkan. Sulit membayangkan siapapun pelatih timnas saat ini bisa meramu tim nasional menjelang AFF Cup akhir tahun nanti jika situasinya seperti ini. Ekosistem Indonesia sudah terlalu runyam. Sempat terpikir bagi saya solusi terakhir adalah menjalin kerja sama dengan federasi negeri tetangga, misalnya Singapura atau Brunei, lalu daftarkan sebuah klub yang berisi pemain-pemain nasional Indonesia. Bisa dibilang ini semacam Lions XII di Liga Malaysia. Namun ide itu tidak menjadi solusi yang masif dan menjawab permasalahan persepakbolaan nasional. Lebih jauh lagi, apakah status pembekuan memungkinkan hal tersebut.

Akhir kata, ada yang berani terteori mengenai akhir dari telenovela ini?

Mengeja Diskusi Destruktif

Belakangan ini berbagai diskusi, seminar, hingga propaganda terkait LGBT semakin gencar dan ramai. Bahkan sejujurnya isu Gafatar dan bom Sarinah di tahun ini, bahkan skandal "papa minta saham" tahun lalu pun kalah pamor dibandingkan isu LGBT ini. Tiada hari tanpa berita, info kegiatan, hingga opini yang sifatnya pro maupun kontra atas isu tersebut. Berbagai pola pandang dan perspektif dipaparkan, mulai dari yang senatas sugesti ringan hingan yang frontal menghujat. Ada yang mengutip aspek agama, ada yang menyongkel sisi psikolpgis, ada yang menggali aspek ekonomi, dll. Dan pada akhirnya di era keterbukaan seperti ini, norma menjadi pemegang kendali isu di tataran duniawi ini. Di tatanan akhirat, saya meyakini bahwa itu hak prerogatif Allah, makaesan saya bagi pelaku dan pendukung LGBT, "insyaflah".

Mengapa saya menyebut norma sebagai pemegang kendali isu?
Norma di sini meliputi norma agama, norma hukum, dan norma sosial (termasuk susila).

Norma agama jelas menjadi acuan bagi insan beragama. Dalam Islam ketentuan boleh tidaknya perilaku LGBT sudah jelas termuat di Al Qur'an. Perlu silogisme apa lagi untuk membantahnya. Maaf saya kurang tahu detail dalam agama lain, namun setahu saya belum ada statement dari pemuka agama non-Islam yang memperbolehkannya, artinya? Status LGBT ilegal. Bagaimana dengan ateis? Di dunia ini mungkin mereka masih bisa menyangkal, tapi bagaimana nanti setelah meninggal? Toh ateis pun terikat dengan norma hukum dan norma sosial.

Norma hukum erat kaitannya dengan tekanan sebuah komunitas bernama negara (dan struktur di bawahnya) untuk mengatur perilaku masyarakat di dalamnya secara formal. Kata formal ini akan kental jika melihat situasi ramainya LGBT ini justru pasca-dilegalkannya pernikahan sesama jenis oleh pemerintah USA. Payung hukum tersebut sukses melindungi pelaku dan pendukung LGBT untuk mengekspresikan kebebasan versi mereka. Beberapa fitur di social media yang mengarah ke dukungan atas LGBT pun tak lepas eksistensinya dari payung hukum tersebut. Beruntung di Indonesia, syarat pernikahan (setahu saya) mengacu ke agama dan keyakinan masing-masing.

Norma masyarakat sifatnya hampir mirip dengan hukum, namun ada suasana norma agama mempengaruhinya, plus sifatnya yang nonformal. Sifatnya yang nonformal menjadikannya penuh pertentangan bagi yang kontra. Kecenderungannya adalah memihak "petahana" di masyarakat tersebut. Dan lagi-lagi beruntung Indonesia masih punya norma masyarakat yang terlindungi dari LGBT.

Karena itulah saya memberi judul "diskusi destruktif", salah satunya karena tidak banyak perubahan cara pikir kita tatkala perbpdebatan pro vs kontra memisahkan kita. Di tulisan ini, saya bermaksud mengajak diskusi tersebut "diperpanjang" dengan bahasan yang lebih solutif, yaitu bagaimana tindakan pencegahan dan perbaikan. Mengenai kebijakan publik haruskah pro ataukah kontra, saya yakin norma agama dan sosial di Indonesia sudah cukup untuk mendorong sikap yang harus diambil pemerintah melalui norma hukum. Terkait sentilan "HAM", maka bisa dicek apa saja hak pribadi yang diakui sebagai "asasi" di Indonesia.

// bersambung

Memanjat Level Kapalitas dalam COBIT 5

Akhirnya artikel ini sempat juga dibuat tulisannya *sujud syukur
Kali in tentang mengeksplorasi COBIT 5 dalam rangka penilaian kapabilitas melalui ISO/EC 15504. Secara umum terdapat 5 level di dalam penilaian kapabilitas di COBIT 5 yaitu Performed, Managed, Established, Predictable, dan Optimising. Kelimanya bersifat tingkatan/jenjang. Sebetulnya masih ada 1 level lagi, yait Incomplete, namun sifatnya ini otomatis jia Performed gagal dicapai.

Berdasarkan terbitan ISACA, yaitu A Business Framework for the Governance and Management of Enterprise IT, berikut ini paparan ciri khas tiap level tersebut:

  • 0 (Incomplete) Process tersebut belum dijalankan ataupun gagal mencapai tujuan dari process tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan bukti-bukti pencapaian process yang sedikit atau malah tidak ada.
  • 1 (Performed) Process tersebut mampu dijalankan untuk mencapai tujuan dari process tersebut.
  • 2 (Managed) Process yang "performed" kini dijalankan di dalam mode/situasi yang terkelola/managed (terencana, terpantau, dan adjusted) serta produk kerjanya mampu dibangun,
  • dikendalikan, dan dikelola secara tepat.
  • 3 (Established) Process yang "managed" kini dijalankan menggunakan process yang mampu mencapai keluaran-keluaran process tersebut.
  • 4 (Predictable) Process yang "established" kini dijalankan melalui batasan-batasan yang ditentukan untuk mencapai keluaran-keluaran process tersebut.
  • 5 (Optimizing) Process yang "predictable" secara kontinu ditingkatkan untuk memperoleh tujuan bisnis saat ini serta yang diharapkan.

Kalimat-kalimat di atas tentu masih kental dengan ke-ngawang-an. OK, tidak masalah, akan lebih baik bila kita menimbangi upaya mencerna kalimat-kalimat di atas dengan menengok ciri-ciri tiap level dari Process Attributes (PA) yang menggambarkan detail pencapaian masing-masing. PA ini menjadi kriteria yang menjadi ajang untuk menilai apakah process tersebut sudah "layak" berada di level tertentu. Level 0 tidak memiliki PA, level 1 mempunyai 1 PA, sedangkan keempat level lainnya masing-masing memegang 2 level.

PA 1.1 Process Performance— Process yang dijalankan mencapai tujuannya. Dalam hal ini, process tersebut mampu menjalankan activities yang menjadi ruang lingkup process tersebut.

PA 2.1 Performance Management— Pengukuran lanjut pada performa process yang dikelola. Terdapat 6 indikator dari PA ini, yaitu:
a. Sasaran dari performa process ditetapkan.
b. Performa process direncanakan dan dipantau.
c. Performa process diatur untuk memenuhi rencana.
d. Tanggung jawab dan otoritas untuk menjalan process ditetapkan, ditugaskan, serta dikomunikasikan.
e. Penggunaan sumber daya dan informasi dalam menjalankan process ditetapkan, disediakan, dialokasikan, serta dipergunakan.
f. Interface antara pihak-pihak yang terlibat dikelola untuk menjamin komunikasi yang efektif serta tanggung jawab penugasan yang jelas.

PA 2.2 Work Product Management—Pengukuran lanjut pada produk kerja yang dihasilkan (oleh process) mampu dikelola secara tepat, ditentukan, dan dikendalikan. Terdapat 4 indikator dari PA ini, yaitu:
a. Kebutuhan terhadap produk kerja dari process dibatasi.
b. Kebutuhan terhadap dokumentasi dan pengendalian produk kerja dibatasi.
c. Produk kerja ditetapkan, didokumentasikan, dan dikendalikan.
d. Produk kerja ditinjau kesesuaiannya dengan sususan rencana serta diatur agar memenuhi kebutuhan.

PA 3.1 Process Definition—Pengukuran lanjut pada pengelolaan standar process untuk mendukung pengembangan process. Terdapat 5 indikator dari PA ini, yaitu:
a. Penetapan process standar, termasuk petunjuk kustomisasi yang tepat, yang menggambarkan elemen fundamental yang perlu dipenuhi.
b. Penentuan urutan dan interaksi antara process standar yang satu dengan lainnya telah ditentukan.
c. Standar process mendefinisikan kompetensi dan peran yang dibutuhkan dalam menjalankan process.
d. Penetapan infrastruktur dan lingkungan kerja yang dibutuhkan dalam menjalankan process standar.
e. Metode yang cocok untuk memonitor efektivitas dan kesesuaian dari process telah ditentukan.

PA 3.2 Process Deployment—Pengukuran lanjut pada standar process yang dikembangkan secara efektif untuk mencapai keluaran process tersebut. Terdapat 6 indikator dari PA ini, yaitu:
a. Pemakaian process terdefinisi berdasarkan pemilihan process standar dan/atau kustomisasi process standar yang tepat
b. Penentuan dan pengomunikasian peran, tanggung jawab, dan otoritas yang dibutuhkan dalam menjalankan process terdefinisi.
c. Personel yang menjalankan process terdefinisi berkompetensi sesuai tingkat pendidikan, pelatihan, dan pengalaman yang tepat.
d. Penyediaan,pengalokasian, dan penggunaan sumber daya dan informasi yang dibutuhkan untuk melaksanakan process terdefinisi.
e. Penyediaan, pengaturan, dan pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan kerja untuk melaksanakan process terdefinisi.
f. Pengumpulan data yang tepat sebagai analisis pemahaman perilaku serta melihat kesesuaian dan keefektivan process, dan untuk evaluasi dimana peningkatan kontuinuitas dari process dapat dilakukan.


PA 4.1 Process Measurement—Pengukuran lanjut pada pengukuran hasil untuk menjamin bahwa process mendukung pencapaian tujuan performa dalam rangka mendukung sasaran bisnis. Terdapat 6 indikator dari PA ini, yaitu:
a. Menentukan kebutuhan informasi process dalam mendukung tujuan bisnis terkait.
b. Menentukan sasaran dari pengukuran process berdasarkan kebutuhan informasi process yang ada.
c. Menentukan sasaran kuantitatif dari kinerja process dalam mendukung tujuan bisnis terkait.
d. Ukuran dan frekuensi pengukuran diidentifikasikan dan didefinisikan sesuai dengan sasaran pengukuran dan kuantitatif dari kinerja process.
e. Hasil pengukuran dikumpulkan, dianalisis, dan dilaporkan untuk memonitor pemenuhan sasaran kuantitatif kinerja process.
f. Hasil pengukuran digunakan untuk mengelompokkan kinerja process.

PA 4.2 Process Control—Pengukuran lanjut pada pengelolaan process secara kuantitatif untuk menghasilkan process yang stabil, memilik kemampuan, dan dapat diprediksi sesuai batasan yang ditentukan. Terdapat 5 indikator dari PA ini, yaitu:
a. Teknik analisis dan pengendalian ditentukan dan diterapkan dimana hal itu berlaku.
b. Batas pengendalian variasi ditetapkan untuk mengukur kinerja process yang normal.
c. Data pengukuran dianalisis untuk sebab khusus dari variasi yang terjadi.
d. Tindakan korektif diambil untuk mengatasi sebab khusus dari variasi yang terjadi.
e. Batas pengendalian ditentukan kembali (sesuai kebutuhan) setelah tindakan korektif yang telah diambil.

PA 5.1 Process Innovatio—Pengukuran lanjut pada pengubahan process berdasarkan pendekatan-pendekatan yang bersifat inovatif. Terdapat 5 indikator dari PA ini, yaitu:
a. Tujuan peningkatan process mendukung sasaran bisnis yang relevan.
b. Data yang tepat dianalis untuk mengenali penyebab yang lazim pada kejadian-kejadian variatif terkait performa.
c. Data yang tepat dianalisis untuk mengenali peluang untuk best practice serta inovasi.
d. Peningkatan peluang melalui teknologi dan konsep baru.
e. Implementasi strategi untuk mencapai tujuan peningkatan process.

PA 5.2 Process Optimization—Pengukuran lanjut pada pengubahan definisi, pengelolaan, dan performansi hasil process dengan dampak yang efektif untuk mencapai tujuan peningkatan process.
Terdapat 3 indikator dari process ini, yaitu:
a. Dampak seluruh perubahan (yang diusulkan) dinilai terhadap tujuan dan standar process.
b. Implementasi seluruh perubahan (yang disetujui) dikelola untuk menjamin bahwa gangguan yang terjadi bisa dipahami dan ditindaklanjuti.
c. Evaluasi performansi berdasarkan perubahan process terhadap kebutuhan produk dan tujuan process untuk menentukan apakah hasil tersebut dipengaruhi penyebab yang umum ataukah khusus.

Setelah mengenal apa itu PA, yuk kita ulas teknik penggunaannya. Kita mulai dari menilai terpenuhi tidaknya process tersebut di Level 1 (Kenapa tidak dari 0? Nanti akan ada jawabannya). Lakukan penilaian sesuai PA di level 1 ini yang sifatnya sangat khas tiap process-nya. Lalu hitung secara kuantitatif berapa persen terpenuhinya si Level 1 ini. Jika sangat sedikit (Partially <=50%) maka status di Level 1 ini menjadi FALSE dan Level 0 ditandai dengan TRUE, dengan demikian process ini dinyatakan berada di Level 0. Jika jumlahnya memadai (Largely >50% atau Fully >85%) maka status di Level 1 ini menjadi TRUE dan Level 0 ditandai FALSE, dengan demikian process dapat dinyatakan lolos Level 1.

Langkah berikutnya untuk menentukan apakah process tersebut mampu mencapai Level 2 s.d. 5 memiliki keseragaman pola sebagai berikut (sebut saja kita menilai di Level X):
  • Pastikan bahwa di level sebelumnya, yaitu Level (X-1), indikator process yang dipenuhi bersifat Fully atau >85%. Jika tidak mencapai Fully maka proses penilaian sudah bisa dihentikan dengan pencapaian process tersebut hanya di Level (X-1)
  • Lihat daftar indikator pada Level X, apabila daftar tersebut mampu dipenuhi dalam jumlah memadai (Largely>50% atau Fully >85%) maka process tersebut dinyatakan lolos Level X. Apabila indikator hanya terpenuhi sedikit (Partially <=50%) maka proses penilaian sudah bisa dihentikan dengan pencapaian process tersebut hanya di Level (X-1).
Selamat berjuang hingga khatam di Level 5.

Untuk memudahkan proses pelaporan, berikut salah satu contoh tabel yang bisa digunakan untuk menyajikan hasil penilaian pada COBIT 5.

Barca dan Upaya Back-to-Back

Misi berat diemban FC Barcelona musim ini, yaitu (minimal) menyamai rekor treble-winner di tiga kompetisi yang dijalani. Bukan rekor yang mudah karena secara tidak langsung mereka berhadapan dengan jalan terjal plus aroma konflik internal lantaran terlalu banyak bintang di dalam roster tim mereka. Namun ada satu faktor yang sangat menantang bagi Barcelona dalam mengarungi tiga kompetisi, yaitu La Liga, Copa del Rey, dan Liga Champion. Tantangan tersebut adalah rekor sekian musim belum pernah ada tim yang mampu mempertahankan gelar juara.

La Liga 2010/2011 menjadi musim terakhir sebuah klub mampu meraih back-to-back trofi La Liga yang kebetulan direngkuh oleh Barcelona melanjutkan hegemoni 2009/2010. Namun musim berikutnya (2011/2012) Real Madrid sukses mencaplok gelar tersebut. Musim selanjutnya (2012/2013) Barcelona sempat mendulang kembali trofi ini, namun sayangnya Atletico Madrid secara mengejutkan mampu mencukil niat Barca mempertahankan trofi di musim 2013/2014. Musim  ini Barcelona tampil sebagai juara bertahan. Hingga pekan ini, Barcelona masih mantap di pucuk klasmen mengangkangi Atletico Madrid dan Real Madrid plus tabungan 1 laga. Gelar juara belum aman, namun setidaknya masih dalam jangkauan.

Copa del Rey juga terhitung ngeri untuk urusan dipertahankan. Mengapa? Sejak Barcelona menjuarainya musim 1996/1997 dan 1997/1998 alias sekitar 1,5 dekade yang lalu, belum ada satupun klub yang mampu mempertahankannya. Secara berturut-turut klub-klub menikmati giliran untuk menyimpan trofi Copa del Rey hanya untuk satu musim saja, yaitu: Valencia, Espanyol, Zaragoza, Deportivo La Coruña, Mallorca, Zaragoza, Real Betis, Espanyol, Sevilla, Valencia, Barcelona, Sevilla, Real Madrid, Barcelona, Atlético Madrid, Real Madrid, dan kemudian Barcelona. Jika diperhatikan pasca-terakhir kali back-to-back Barca tersebut, gelar juara sempat dihirup klub-klub di luar big-3, namun belakangan kompetisi ini kembali larut dalam dekapan big-3: Barcelona, Real Madrid, dan Atletico Madrid. Di musim 2015/2016 ini, Barcelona berpeluang mematahkan tradisi ini dengan syarat satu: menumbangkan Sevilla. Barcelona patut waspada karena Sevilla bukan klub sembarangan dalam satu dekade belakangan ini. Di musim ini bahkan Barcelona kerap tersandung oleh laga-laga tak terduga, termasuk oleh Atletico Bilbao di final Piala Super Spanyol, artinya Sevilla belum layak disebut sebagai kerikil sampai dengan sesi penyerahan trofi nanti, itu pun jika Barcelona yang juara.

Sumber: espncdn.com


Liga Champion? Ah ini lebih ganas. Sejak bertransformasi nama dari Piala Champion (era 1992/1993), belum pernah ada klub yang mampu mempertahankan gelar juara. Jangankan juara, menggapai final secara beruntun hanya mampu dilakukan oleh Ajax dan Juventus, itu pun hanya membuahkan 1 trofi saja. Jika menilik torehan Piala Champions, maka AC Milan edisi 1988/1989 dan 1989/1990 menjadi tim terakhir yang mampu mencaplok gelar beruntun. Bagaimana Barcelona di musim ini? Mereka akan bersua Arsenal di babak 16-besar. Perjalan menuju Stadion San Siro, Milano, masih jauh...


Gaji untuk Parpol :p

Beberapa pekan lalu, salah seorang politisi tertangkap tangan menjalankan ritual korupsi. Kiprahnya di blantika legislatif negeri ini masih seumur jagung, artinya ada indikasi bahwa korupsi di jajaran birokrasi pemerintahan tidak perlu menunggu "jam terbang". Apakah ini indikasi pula bahwa kaderisasi di jajaran birokrat pemerintah bukan sekedar mempertahankan budaya idealisme, melainkan "kursus" bermain anggaran? #ahsudahlah

Hanya saja, menarik menyimak pernyataan si politisi tersebut ketika ditanyai alasan dirinya berkorupsi. Konon (menurut pengakuannya) dia stress karena gajinya sebagai anggota legislatif defisit lantaran tergerus aturan untuk menyetor sekian juta ke kantung parpol. Padahal gajinya mencapai 15 juta per bulan (artinya jika dia tidak korupsi, dia berkesempatan besar menabung untuk kuliah di MTI UI ataupun MM UI sehingga lebih tercerahkan urusan e-government, tapi #ahsudahlah). Dari berbagai sumber yang masih gamang, santer diisukan bahwa bukan rahasia lagi bahwa banyak partai politik telah memasang "tarif" sebagai "balik modal" yang wajib disetorkan oleh para kader di DPR/DPRD. Besarnya pun fantastis, baik yang flat maupun progresif. Sudah bisa ditebak bagaimana nasib "dapur" para anggota legislatif yang terkeruk uangnya ini. Dan jika sumber tersebut benar, agaknya korupsi menjadi godaan yang sulit dihindarkan oleh para anggota legislatif, tentunya selain faktor budaya dan mafia.

Hal ini mengingatkan saya sebuah isu yang sempat mengemuka tahun lalu yaitu pengalokasian dana APBN untuk para parpol. Agar sedikit terhormat, label dana tersebut adalah "edukasi politik", bahkan dibanding-bandingkan ketersediaan dana tersebut dengan negara-negara lain (dalam hati saya bergugam, kemana saja ide komparasi ini saat APBN pendidikan di-"kompres"??). Mayoritas parpol menyetujui tanpa memandang lagi apa itu KIH maupun KMP. Semakin terbaca alasan mengapa para legislatif setuju. I'm sure that u know what i mean :v

Review 5th Wave

Kepenasaran saya dengan film ini hanya diawali faktor angka 5 yang menjadi bagian dari judul. Selain itu, dari preview di internet tampak kemisteriusan maksud "kelima". Di preview film ini, diceritakan serangan alien yang dilakukan secara bertahap. 4 tahap pertama dilakukan secara gamblang dan mampu memusnahkan populasi manusia dalam jumlah banyak. Gelombang pertama adalah gelombang elektro yang memadamkan seluruh peralatan manusia, gelombang kedua adalah tsunami dan banjir, diikuti gelombang ketiga berupa wadah massal yang menular, sedangkan gelombang keempat adalah "pembungkaman". Lantas bagaimana suguhan utamanya, yaitu serangan tahap kelima?

Cerita film 5th Wave ini diawali dari monolog si pemeran utama, yaitu Cassie Sullivan, mengenang situasi menjelang invasi para alien. Bencana alam dan wabah penyakit menjadi wujud dari serangan-serangan yang berhasil memorak-porandakan peradaban manusia. Bahkan keluarga si tokoh utama pun harus bercerai-berai dimana ibunya wafat karena penyakit sedangkan ayahnya gugur dalam konflik bersenjata. Adik si tokoh utama, yaitu Sam, pun terpisah lantaran dibawa tentara ke kamp pengungsian. Di sinilah suasana "gelap" memayungi film ini.

Si adik ternyata dilatih untuk menjadi prajurit pilihan oleh para tentara. Si adik ternyata satu satuan dengan Ben Parrish, seorang kawan kakaknya. Prajurit ini rencananya akan dikerahkan oleh Vosch, komandan para tentara untuk bertempur melawan alien-alien yang telah merasuki tubuh para manusia yang tersisa di luar. Para manusia yang telah dirasuki tersebut dilabeli sebagai "gelombang invasi kelima" alias "5h wave" oleh para tentara. Di luar dugaan, di tengah pertempuran tersebut, Ben menemukan fakta tak terduga bahwa sebenarnya manusia yang diduga telah dirasuki tersebut justru manusia normal. Para prajurit pilihan ini akhirnya menyadari bahwa yang dimaksud 5th wave atau gelombang kelima itu sebenarnya adalah para prajurit yang dimanfaatkan para tentara untuk membasmi para manusia yang (sebetulnya) normal. Mengapa demikian? Ternyata para tentara yang menugaskan tersebut malahan para alien.

Lantas bagaimana petualangan si kakak menyelamatkan si adik yang terjebak di tengah konflik?
Bagaimana pula kisah "survival"-nya si kakak di tengah belantara hutan yang dipenuhi "ranjau" para alien?

the Edge of This Season


Sharing with ProfFiz

 alhamdulillah, hari ini saya dan kawan2 HIMMPAS UI mndapat kesempatan berharga berkunjung kepada salah satu peraih gelar profesor termuda di Indonesia. Prof. Firmanzah. Kami di Management UI akrab memanggil bliau dengan sebutan Prof. Fiz.
Pada kami panjang lebar Prof. Fiz membagi pngalamannya. bagaimana beliau dapat meraih gelar profesornya diumur 34 tahun dan menjadi dekan FE UI diumur 31 tahun.
well... this is it... check it out #SharingProfFiz
Kita ini muslim. saya sering sedih jika sharing dengan bbrapa kawan2 yg dlu aktif di organisasi keislaman ketika mahasiswa tapi orientasinya kini purely hanya sekedar gimana caranya menjadi bupati atau gubernur. #SharingProfFiz

Kenapa saya sedih? karena sekedar orientasi politik dan melupakan pmbangunan dibidang lain hanya mnjadikan ummat ini sperti buih. Terombang ambing. tak jelas. sekedar ikut arus. Mengapa? #SharingProfFiz

Karena kita mayoritas sekedar jadi penonton. Sekedar dimanfaatkan suaranya dalam pemilu2 itu. Apalagi yg mewakili kita tak bisa mnyatu. Tak terkonsolidasi. #SharingProfFiz

Harusnya qt bisa berprestasi dibidang lain. bangga bukan jika ada seorang muslim yg peraih nobel matematika atau fisika. menjadi CEO pada perusahaan yg bermarkas di Silicon Valley. Keren kan kalo gitu. #SharingProfFiz

Ketika jadi dekan FE UI saya menginisiasi hadirnya HMI FE UI. saya ingin kaum muslim ini juga berkiprah di wilayah keprofesiannya masing-masing. #SharingProfFiz

Saya ingin qt keluar dari kotak imajinasi yang selalu mengejar jabatan politik. seakan2 bidang lain itu tak penting. #SharingProfFiz

Kalo soal perjalanan karir dan akademik saya itu bisa dibilang nekat lah. saya ini org surabaya. jadi ya bondo nekat. #SharingProfFiz

saya juga gak nyangka kok bisa jadi profesor termuda (34 tahun). #SharingProfFiz

Saya punya prinsip jangan ratapi hidup. Tapi terobos semua tantangan hidup itu. hadapi. terima kenyataan. #SharingProfFiz

Terima realitas kita. kalo qt gak tau jangan bilang tau. Kalau masa lalu kita buruk akui saja. karena itu yg mmbuat qt belajar. #SharingProfFiz

Tapi Ibu saya selalu ingatkan bahwa saya harus bisa melihat realitas. karena setelah qt jujur melihat realitas. melihat kekurangan kita. kita bisa memperbaikinya. If you can't measure it, you can't improve it. trust Me!! #SharingProfFiz

Hadis Rasul itu jelas, kalo lihat kmungkaran pertama ubah dg tangan (power/kuasa) jika tak bisa. ubah dengan lisan. jika tak bisa juga pastikan hati kita mengingkari kmungkaran itu. Jadi gak diam aja. gak berpaling lihat. Dan ubah!!#SharingProfFiz

prinsip saya. hidup manusia tak ditentukan dari the initial point atau dari mana kita. tapi pada proses dan akhir khidupan kita. #SharingProfFiz

Kalau qt sudah berani hadapi realitas. Setelahnya akan bermunculan bnyak peluang2 baru. Saya contohnya. jadi dekan FE UI diumur 31 tahun. Ini itungannya anak kemarin sore. #SharingProfFiz

Tapi mumpung masih muda. Jalan saja. Kalo salah nanti dimaklumi. Maklum kan masih muda. hehe. #SharingProfFiz

Saya juga jadi staf khusus presiden bidang Ekonomi juga bkn karena pendukungnya SBY di pemilu. ya saya di panggil saja. #SharingProfFiz

Begitu juga ketika jadi Rektor Univ. Paramadina. saya gak ada hbungan apa2 sama Cak Nur. Bukan jg muridnya. Tapi ya diminta beramanah di kampus itu. itulah opportunity yang terbuka. #SharingProfFiz

jadi jangan pernah lari dari realitas. Hadapi..!! #SharingProfFiz

Sepekan setelah jadi dekan, saya di datangi para orang2 "langit" di FE UI. seperti Pak Subroto, Pak Emil Salim, Bu Miranda Gultom.. mereka datang utk mnanyakan ap yg bs mereka bntu. Saya gemetar. karena beliau2 adalah senior saya. Disinalah kecerdasan emosional berperan. Tenang. Hadapi saja. #SharingProfFiz

Soal perjalanan akademik. sebenarnya dulu saya gak ada niat jadi dosen. Lebih keren kerja di sudirman,Thamrin, Kuningan pake dasi kayak eksekutif Muda. dulu sempat kesampaian sih. Tapi stelah itu niat kuliah. akhirnya keterusan sampai S3. #SharingProfFiz

S2 dan S3 saya selesaikan 3 tahun di Perancis. itu Gila. saya sampe muntah2, stress, tipes. tapi memang itu cost yg harus dibayar utk sebuah mimpi besar. #SharingProfFiz

Setelah lulus S3. saya sempat mngajar sbagai asisten kelas di Perancis dan beberapa negara di Eropa. Dan saya juga ditawari menjadi dosen tetap di kampus itu. #SharingProfFiz

Tapi tetiba Pak Bambang P.S Brodjonegoro sbg Dekan FE UI waktu itu meminta saya utk balik dan mngajar di kampus FE UI. saya bingung #SharingProfFiz

Melihat saya bingung. Profesor saya bertanya dan akhirnya saya jelaskan persoalannya. akhirnya dia malah ajak saya jalan2 keliling kantor profesor2 dari brbagai negara di dunia yang menjadi guru besar di kampus perancis itu. #SharingProfFiz

Bliau bilang. Saya bisa pastikan dengan sngat tepat masa depanmu kalau kamu berkarir di kampus ini. kamu akan mjd professor. kmundian mngajar di bberapa negara dan kamu bs mnulis buku. #SharingProfFiz

Tapi hidup dan karir akademisi tak sekedar Soal itu. kata beliau lagi. akhirnya beliau menegaskan. "Pulanglah... Negaramu lebih membutuhkanmu..!" Pada titik itu saya yakin utk kembali ke Indonesia. #SharingProfFiz

Terakhir. Soal persaingan Global. Saya ini seringkali berhubungan dengan mereka di luar negeri. Dengan Amos Tuck Business School, Harvard Kennedy School, Yale School of Management dan masih banyak lagi. Kesimpulan saya satu, mereka itu gak pinter2 banget. sama kayak kita. cuma kita gak pede aja!! #SharingProfFiz

Maka penting buat program yg buat qt makin pede berhadapan dg mereka. Buat program2 kerja yg melibatkan mahasiswa2 dari luar negeri. undang mereka. kita diskusi, debat, tukar pikiran. Dengan bgitu Pede qt semakin Oke dalam mmyampaikan ide-ide kita. #SharingProfFiz

Kadang org luar itu jg gak pede dengan dirinya sendiri. Waktu saya duduk satu meja dengan perwakilan s'pore, malaysia, Thailand, dll.. mereka mnyampaikan dukungan pngunduran masa pmberlakuan MEA dri awal 2015 mnjadi akhir 2015. mengapa? mereka gak pede dengan Indonesia. #SharingProfFiz

Jadi yg qt butuhkan itu PeDe!! dan itu hrus ditumbuhkan. #SharingProfFiz



Nah.. Bgitulah anak Muda. masa kita masih cukup pnjang. tingkatkan kompetensi kita, kapasitas diri kita. agar kita punya gaung di mata dunia. Baiklah sekian dulu #SharingProfFiz kali ini. doakan HIMMPAS UI semakin berjaya kedepan agar bisa mmbagi inspirasi dari tokoh2 inspiratif lainnya. Wassalamwrwb.
By Detha A. Fajri

Sedikit menambahkan tentang #SharingProfFiz
Beberapa buku beliau cukup berani mencaplok domain lain keilmuannya. Ya buku tebal beliau tentang trilogi politik dari kacamata manajemen. Agak menarik melihat fenomena ini karena kerap kali kita memilih "adem" dengan domain keilmuan kita. Jadi, jangan minder membicarakan hal-hal lain di luar domain keilmuan kita. Tentunya disertai kemauan belajar. #SharingProfFiz

Ada bagian menarik ketika nama beliau menjadi bahan rapat sebuah kampus di Prancis (yang saat ini menjadi destinasi beasiswanya). Alasan beliau menjadi bahan rapat sederhana, yaitu keberanian untuk lobi mengenai rencana studi S3. Situasi saat itu cukup menjepit, tanpa bermodal uang saku dari rumah, beliau hanya "dijatah" beasiswa 3 tahun namun skema pendidikan di Prancis mensyaratkan beliau perlu ambil S2 "lagi" yg artinya bisa mencapai 4 tahun. Tapi keberanian lobi beliau membuah hasil ketika diizinkannya beliau mengambil S2 serta S3 secara paralel dan dimungkinkan 3 tahun. Pelajaran buat kita #SharingProfFiz
- jangan malas untuk bernegosiasi terhadap hal-hal yang mengancam keberlangsungan impian kita
- jangan terlalu "kaku" pada aturan (kalau jadi birokrat), bisa jadi orang yang kita longgarkan aturannya akan menjadi sosok yang mampu menabur banyak manfaat

Yuk tengok persuasi profesornya ProfFiz yg justru membandingkan kemungkinan masa depan ProfFiz jika tetap di Prancis vs jika kembali ke Indonesia. Mengapa beliau menyuguhkan prediksi ProfFiz secara individu jika tetap di Prancis, namun saat bicara konteks kembali ke Indonesia malahan menyajikan opini bahwa negara Indonesia lebih membutuhkan. Cukup aneh perbandingannya, cenderung bukan apple vs apple, tapi apple vs samsung. Agaknya profesor ini merayu kita untuk menanggalkan egoisme. Beliau tampaknya hendak menjerumuskan ProfFiz untuk melebarkan pola pikir bahwa menentukan pilihan jangan sekedar enak-nggakenaknya di individu tersebut, pertimbangkan pula bagaimana lingkungan tersebut dan mana yang lebih membutuhkan kita. #SharingProfFiz

REusable Ideas

Ide segar yang gagal itu ibarat merawat wajah selama berbulan-bulan lalu ditampar dengan bekas yang #ahsudahlah. Namun tidak ada yang patut dirundungi kesedihan berlebihan. Capek itu wajar, lelah itu standar, mengeluh itu (agak) lumrah, bahkan berandai-andai untuk mengulang tentu lazim, namun seperlunya sajalah.

Tak pula patah arang atas ide yang gagal didulang. Toh ide yang gagal tersebut sifatnya spesifik suatu kasus. Artinya Allah sedang menguji kita, sejauh kita mensyukuri kecerdasan yang dititipkan pada kita. Ya, kecerdasan yang dimaksud adalah gagasan atau konsep yang sifatnya bisa dikembangkan di kasus lain dengan kreativitas yang tidak tertutup bakal lebih bisa dieksplorasi.

Sepertinya kita patut beroptimis
Berpikir positif dengan hati jernih tentang betapa "baik hatinya" kegagalan yang menyapa
Belajar dari kegagalan itu mengasyikan, karena dari situ kita bisa belajar secara konkret, tanpa terhalangi imajinasi yang teoretis.

Selamat memperbarui ide :)

Kadang Akurat Perlu "Mengalah"

Keakuratan merupakan sebuah hal pokok dalam sebuah informasi. Bahkan, "accuracy" menjadi salah satu dari komponen kualitas informasi, tepatnya pada kerangka CC/LC dan juga Gasser-Stvilia. Sebagai contoh, lokasi sebuah bangunan yang berada di Utara Jalan Samali masih termasuk daerah Kalibata walau hanya dalam satuan meter daerah di selatan jalan tersebut sudah termasuk daerah Pasar Minggu. Betul, keakuratan informasi salah satunya ditunjukkan dengan ketepatan lokasi yang ditunjuk atau diacu.

Hanya saja dalam kenyataannya, keakuratan informasi tidak melulu harus diutamakan. Hal ini diindikasikan pada kasus pengacuan kota di dalam informasi bandar udara. Keakuratan kota menjadi hal yang "sedikit" disamarkan untuk kepentingan yang lebih penting lagi, yaitu kemudahan pengguna informasi. Contoh bandar udara yang lokasi kotanya "bergeser" ke tetangga di sebelah antara lain:
- Bandara Soekarno Hatta yang sebetulnya ada di Tangerang, bukan Jakarta
- Bandara Adi Sucipto yang sebetulnya ada di Sleman, bukan Yogyakarta
- Bandara Adi Sumarmo yang sebetulnya ada di Boyolali, bukan Surakarta/Solo
- Bandara Sultan Iskandar Muda yang sebetulnya ada Aceh Besar, bukan Banda Aceh
- Bandara Juanda yang sebetulnya ada di Sidoarjo, bukan Surabaya
- Bandara Minang yang sebetulnya di Padang Panjang, bukan Padang

Memang dalam situasi tersebut, keakuratan lokasi bisa kesampingkan mengingat kota-kota tersebut masih terhitung bertetangga, artinya tidak terlalu ngawur perbedaannya. Faktor popularitas juga punya andil di sini. Bukan berarti kota yang berstatus "lokasi asli" tidak populer, namun ada tingkat popularitas kota "lokasi kurang asli"-nya lebih unggul. Dan kebutuhan pengguna informasi memang mengarah ke kota "lokasi kurang asli" tersebut. Sebagai contoh, walau berlokasi di Boyolali, mereka yang datang ke Bandara Adi Sumarmo memiliki urgensi lebih banyak untuk datang ke Surakarta daripada Boyolali.

Menarik bukan kasus keakuratan informasi yang perlu "mengalah" :)

Allday around Bandung

Danke...

Di tengah kesibukannya sebagai calon ibu plus mahasiswi (dengan tesis yang wah pusing mengerjakannya), dia menyempatkan diri untuk mengekspresikan kepeduliannya sebagai istri.

^^

Review Buku: Faith and the City


Buku karya duo HR kali mengedepankan konflik batin yang menarik. Kenapa menarik? Karena novel ini menyuguhkan kesederhanaan berpikir atas apa yang menjadi obsesi, ambisi, dan juga jatidiri. 

Kisah dua orang perantau yang harus mengevaluasi lagi komitmen bersama mereka setelah godaan duniawi menjejali target pribadi. Godaan yang sulit dibedakan apakah ini membela agama ataukah diperalat uang semata.

ConGratduation Feb'16

:)

Semoga Allah melindungi kami sekeluarga menggapai izin-Mu menjemput tiket ke surga

Review Ketika Mas Gagah Pergi

Sebuah film yang kental dengan darah muda semakin mewarnai belantika industri film tanah air. Tidak melulu tidak cinta yang identik antara hubungan laki-laki dengan perempuan, namun lebih luas berupa kepedulian sosial. Film ini bertajuk "Ketika Mas Gagah Pergi", judul yang menggusung nama yang Indonesia banget. Sempat ada percandaan "kalau ampe pas nonton tiketnya abis, beuhh gokil juga orang pergi bisa ampe sold out filmnya, gimana kalo orangnya balik lagi".

Titik cerita film ini terletak pada konflik internal di sebuah keluarga lantaran salah seorang diantaranya kurang disukai cara berpikirnya tentang Islam. Sosok abang yang menemukan "jalan baru" ditentang oleh sang adik yang tidak nyaman dengan perubahan si kakak. Si abang sendiri menemukan "jalan" tersebut setelah melalui sebuah perjalanan ke Ternate. Seperti apa perjalanan di Ternate itu sendiri hanya diulas sepintas dan akan didetailkan di sekuelnya. Yang pasti, kalo betulan syutingnya di Ternate, kenapa nggak ketemu saya ya? Oh mungkin syutingnya pake mobil, bukan jalan kaki. Kembali ke topik, ada beberapa hal menarik yang menjadi pelajaran bagi kita semua dari film ini (bukan spoiler lho y).

Posisi ibu dalam menangani konflik kakak vs adik
Entah kenapa saya justru lebih termenung dengan sosok ibu (sekaligus ayah) yang berupaya meredam konflik antara si kakak dengan adiknya. Ketegaran sebagai single parent ternyata tidak serta merta memaksa dia tegar 100%. Dia berupaya sebisa mungkin menutupi kerapuhan yang sempat terjadi. Mungkin karena bukan sentral permainan, tidak terlalu banyak adegan yang menjelaskan secara dalam bagaimana si ibu itu menangani konflik yang terjadi. Ini akan jadi nilai moral tersendiri menurut saya.

Membantu ayah di "dalam" vs berkarya di "luar"
Ini juga konflik yang menarik walau tidak terlalu "terang" asal muasalnya bagaimana. Di sini ceritakan seorang ayah yang kecewa lantaran anaknya lebih memilih berkarya di luar daripada membantu organisasi perusahaan ayahnya. Watak keras sang ayah beradu hantam dengan pendirian keras si anak. Hanya memang, sejauh ini si anak lebih memilih mengiyakan instruksi ayahnya dalam lisan, namun masih curi-curi waktu untuk melanjutkan karyanya di luar. Sebuah cara yang sebetulnya terkesan mengulur konflik, namun ini menjadi "simpul" yang menjadi daya tarik bagi kita untuk melanjutkannya di bagian sekuel.

Sebuah fenomena dalam mengubah diri
Paradoks kerap meliputi kita yang berupaya untuk memperbaiki diri bisa saja hadir dari orang terdekat kita, entah itu suami/istri, orang tua, saudara, atau bahkan teman dekat. Akan sangat mungkin muncul ketidaksetujuan yang mempertaruhkan ikatan kekeluargaan. Tak jarang seorang yang ilmu agamanya semakin mumpuni dan kerap menyeru kebaikan justru mendapati keluarga terdekatnya menolaknya, padahal di saat bersamaan orang-orang lain (yang tidak ada hubungan keluarga) justru menerima seruan tersebut. Barangkali ini pelajaran paling inti dari film ini, yaitu kesabaran dan kesadaran untuk sombong walau telah sukses "hijrah".

Review Kajian Tauhid BI 25/1

Sedikit catatan dari Kajian Tauhid di Masjid BI akhir bulan lalu, semoga bisa menjadi pengingat untuk membenahi diri. Dalam kajian ini, tema yang diulas tidak terlalu luas, justru fokus namun mendalam, yaitu tentang menundukkan diri kepada Allah. Sebuah kalimat di awal kajian ini sangat memberi tamparan tentang cara berpikir kita dalam menghadapi masalah. Kalimat tersebut adalah "kita tidak dirancang untuk menyelesaikan masalah tanpa Allah". Ya memang tepat ungkapan tersebut. Allah SWT itu Maha Penolong, hanya saja ego kita yang terlampau sombong hingga kerap lupa (atau bahkan sengaja) tidak mengharap bantuan-Nya dalam menghadapi masalah. Kita malah lebih asyik dengan pendirian kita tanpa melibatkan doa-doa mengharapkan solusi dari Allah SWT. Prasangka baik kepada Allah pun kerap alfa dari benak kita.

Sebuah doa dari Nabi Yunus as menjadi inti pembelajaran pada kajian ini, yaitu sebuah doa yang dipanjatkannya saat mengalami ujian yang luar biasa hebatnya. Ujian tersebut berawal dari kekecewaan beliau lantaran umatnya yang sulit untuk didakwahi, lantas dia meninggalkan kaumnya hingga di tengah lautan dia "terpilih" untuk menceburkan diri ke laut agar kapal yang ditungganginya tidak karam. Di tengah laut Nabi Yunus as ditelah seekor paus. Pada momen di dalam perut ikan paus inilah Nabi Yunus memanjatkan sebuah doa yang kemudian dituangkan pada Al Qur'an pada Surat Al Anbiya 87 s.d. 88
"Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap" 'Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim'. 
Maka kami perkenankan doanya dan menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkanya orang-orang yang beriman"

Doa ini memiliki tiga bagian yang merupakan rangkaian kesadaran diri akan kebesaran Allah SWT sebagai pencipta
1. Mengakui kelemahan diri atau bisa disebut pula sebagai kepasrahan atas kehendak Allah SWT
2. Khusnudzon kepada Allah yang akan selalu ada untuk menguatkan kita
3. Pengakuan, yaitu introspeksi atas kesalahan diri

Akhir dari kajian ini, sebuah pesan menjadi bekal untuk menjalankan hidup (yang kerap kita sebut rumit karena cara pandang kita sendiri).
Apabila dirundung masalah, jadikan sholat dan sabar sebagai pelindung, sehingga dapat dibedakan antara menangisi masalah dengan menangisi penyebab masalah.

Dari Janin pun Sudah Menjadi Ujian

Ada yang banyak berubah, baik tampak maupun tidak tampak, dalam menjalani pernikahan ini sejak mengetahui istri alhamdulillah dianugerahi kehamilan. Sebuah siklus kehidupan yang patutdilaluo dalam lajur yang halal dan penuh tanggunh jawab. Aku masih banyak perlu belajar menjadi calon ayah. Ya, bahkan dalam status calon ayah pun aku wajib membuka keran atas berbagai saran dan masukan yang muaranya ada pada perbaikan diri. Salah satu yang aku pelajariadalah si janin ini sudah memegang peran sebagai ujian.

Ujian bukan bermakna negatif. Justru peran ujian yang dijalankannya mengandung makna berharga, yang jika mampu dilewati maka kami akan meeroleh kesempatan yang lebih lebar menuju surga. Sungguh, aku ingin memainkan peran sebagai "yang diuji" ini dengan penih keikhlasan dan ikhtiar.

Pertama tentu soal manajemen waktu. Aktivitas saat sebelum istri hamil tentu berbeda setelah hamil. Di situkita diuji bagaimana mengelola waktu dengan memilih dan memilah prioritas waktu. Apakah realitasnya kita masih menempatkan Allah sebagai pangkal dari semua niat?

Kedua soal memadukan rencana masa depan si anak versi ayah, versi ibu, bahkan versi keluarga besar. Semua punya gagasan yang didasari bahwa milik mereka lah yang lebih baik. Sebagai ayah, saya diuji untuk memadukan segala ragam masukan tersebut. Memadukan bukan berarti menyeragamkan, bukan pula menjalanannya berselang-seling tanpa alasan jelas.

Aku menikmati ujian ini, semoga Allah menguatkan ibadah ini

S2 Nggak Cukup Gelar

Pasca menjalani perkuliahan S2, saya menemukan banyak hal yang mendorong saya berpikir secara lugas tentang sebuah keniscayaan. Keniscayaan bahwa lulus S2, hanya ada dua warisan yang akan dapatkan. Yang pertama sudah barang tentu adalah gelar M.XYZ. alias gelar magister di bidang tertentu. Gelar ini dalam konteks lingkungan akademik dan profesi menjadi sebuah kebanggaan yang berhak dicantumkan (kecuali dokter yang dalam konteks lingkungan apapun wajib mencantumkan "dr."-nya karena itu amanat profesi mereka). Hanya kejadian luar biasa (dan dikategorikan aib) yaitu diskualifikasi dan pencabutan gelar karena plagiarism ataupun pelanggaran kode etik, yang membuat kita harus menanggalkan gelar magister kita. Warisan kedua belum tentu kita dapatkan, bahkan jika bisa didapatkan pun, tidak otomatis 100%. Warisan ini adalah cara berpikir.

Mengapa tidak saya sertakan ilmu sebagai warisan. Karena ilmu yang dipelajari di jenjang pendidikan, khususnya bidang komputer, sangat dinamis. 8 tahun lalu, saya belajar berdarah-darah tentang programming di awal S1, namun nyatanya, sekarang menjelang lulus S1 (3 tahun lalu) terlalu banyak anak SMK yang mampu memainkan codingan melejit dan melebihi saya. Begitu pula saat awal kerja justru beajar ngoding dari seorang mahasiswa FEB di sebuah perguruan tinggi. Ilmu komputer sudah banyak tersedia materinya di internet. Karena itulah, bukan tidak mungkin slide kuliah S1, bahkan S2 saya, terlalu jadul untuk beberapa tahun mendatang.

S2 adalah cerminan sebuah cara berpikir. Berpikir mengenai bagaimana memecahkan masalah dengan mengedepankan kerendahan hati dalam berintelektual.

S2 adalah cerminan sebuah sikap yang terus kelaparan. Kelaparan atas kepenasaran diri menggali ilmu lebih dan lebih dalam.

S2 adalah cerminan bersikap kritis. Kritis untuk menelusuri sebab dan akibat, bukan sekedar menyajikan grafik dan angka.

Gelar nggak cukup digunakan sebagai "fitur" untuk "menjual" diri di dunia industri. Perlu pembuktian bahwa kita memiliki cara berpikir yang semakin tinggi kritisnya, namun semakin rendah hatinya. Tidak bisa kita mengandalkan pengalaman-pengalaman sewaktu bangku kuliah S2. Pengalaman ber-S2 telah menuntut kita mengamalkan ayat-ayat dari Surat Al-Alaq "bacalah". Sebuah perintah bagi kita untuk terus dan terus menyediakan waktu secara rutin dan konsisten untuk belajar belajar dan belajar.