Salam olahraga ...
Semoga raga kita selalu dalam kesalamatan dari-Nya dan semoga hati anda juga sesehat raga kita.
Kali ini aku akan berceloteh tentang nonton sepak bola ... Hayo fans sepakbola mana yang ngakunya “lelaki” tapi cemen ga ebrani datang ke stadion? Ga kok, just kidding, fans sepakbola itu akan tampak ga “macho” kalo hanya tahu perkembangan dunia sepakbola dari koran maupun artikel di internet. Paling tidak dia pernah nonton seminimal-minimalnya di televisi tim apapun, tidak mesti yang digandrunginya. Ataupun juga pernah menyepakkan kakinya pada kulit bundar. Buat saya ga pernah datang langsung ke stadion bukan berarti ga cinta. Bener ga coy??
Sejarah mencatat pada 4 Februari 2010 2009 (kalau tidak salah) menjadi tanggal dimana pertama kalinya aku bisa nonton bola langsung di stadion. Dan memang Liga Indonesia itu memang ada, bukan sekedar dongeng di koran ataupun rekayasa animasi televisi. Di hari yang kebetulan bertepatan dengan HUT ke-19, yang beradu lihai adalah PSMS vs Pelita Jaya Jawa Barat di Stadion Siliwangi. Sesuai dengan adat yang disebut pertama adalah tuan rumah, maka mungkin agak heran juga kenapa PSMS mainnya di Siliwangi, Kota Bandung. Rincianny aku agak lupa, yang pasti Stadion Teladan belum layak kala itu (catatan : waktu itu standarisasi infrastruktur masih ketat karena belum ada liga tandingan). Skor 2-2 kalau tidak salah dengan Markus Haris Maulana waktu itu baru saja pindah dari Persik Kediri.
Selang sebulan dua bulanan ada pertandingan lagi, kali ini PSMS (lagi) versus Persik Kediri. Dan layaknya pembelot yang terlupakan jasa-jasanya, saat pembacaan starting line-up pemain Persik yang notabene mantan pemain PSMS ditimpali oleh suporter cacian dan serempak melantunkan koor “salak”... Sebenarnya mereka tidak mengucapkan “salak”, ini hanya variabel yang menggantikan sebuah fauna yang sering dijadikan caci maki. Kepada salak alias Salacca zalacca aku tidak bermaksud menyakiti hati kalian, jangan jadi masam ya kalo aku makan. Skor aku lupa.
Dan seiring waktu berjalan akhirnya, kesampaian juga impianku nonton tim favoritku Sriwijaya FC di stadion yang sama dan yang menjadi tuan rumah adalah Persita Tangerang yang hasilnya membuat aku sedih karena SFC yang sempat unggul harus takluk 1-2. Di saat menjelang pulang sempat pula aku berfoto dengna Anoure Obiora (yang sekian bulan kemudian menjadi Man of the Match di final Copa Dji Sam Soe 2009 versus Persipura Jayapura). Sebuah kenangan yang takkan terlupakan. Sampai sekarang masih ada hasrat (ceileh bahasanyo) pengen nonton SFC langsung di Stadion Jakabaring.
Pengalaman keempat adalah play off antara PSMS Medan (peringkat 15 ISL) versus Persebaya (juara 4 Divisi Utama) di stadion yang sama. Dan baru kali ini aku melihat sungguh suasana yang ramainya bukan main. Dan kawasan militer sore hingga malam itu benar-benar sempura hijaunya, karena dua tim tersebut punya warna kebesaran hijau. Laga yang sengit namun di sela-sela hijaunya tribun pasti ada beberapa orang berkaus biru yang tak lain adalah Viking yang menjadi kawan karib Bonek. Dan sebuah lantunan pun didendangkan malam ibu “Sawo Blimbing sama saja...asal jangan Nanas... Nanas itu Salak” (buah-buahan ini menjadi variabel penyamar pihak-pihak tertentu), well saya sendiri sangat menikmati laga itu yang mempertaruhkan keringat satu musim sebelumnya, satu kemenangan saja maka dipastikan menjadi kontestan ISL musim depan. Hasil imbang pun dilanjutkan ke adu penalti. Kali ini nama besar Markus Haris Maulana tidak cukup menjadi jaminan menyelamatkan PSMS. Dan seperti laga Persita vs PSMS yang dimulai bada Maghrib sehingga selesai sekitar pukul 9 malam yang artinya satu saja angkot lewat maka beruntunglah nasib ini bisa pulang dengan nyaman.
Pertandingan kelima adalah Persib Bandung versus PSPS Pekanbaru di Stadion Jalak Harupat. That was first time I watch Persib... tanpa layar kaca, hanya melalui kacamata saya saja. Dan sungguh birunya luar biasa. Padahal itu kandangnya Persikab Kabupaten Bandung namun harus diakui fanatisme tanah Pasundan terhadap Persib tidak dibatasi wilayah administrasi Bandung Kota. Sangat waowww sekali. Dan kembali lagu cinta segitiga Sawo-Blimbing-Nanas berkumandang ... dan sekian bulan kemudian saya baru tahu ternyata ada kawan saya Andri Mardi yang juga di stadion itu untuk mendukung jagoannya PSPS. Katanya sungguh kelam ketika PSPS mencetak gol namun Cuma bisa bergugam pelan “yess” sedangkan begitu Persiba mencetak gol satu stadion ibarat orang puasa mendengar adzan Maghrib.
Pertandingan keenam, ini jadi momentum terburuk saya karena pada laga Persib Bandung vs Persipura Jayapura di Stadion Siliwangi tanggal lupa bulan klalen tahun 2010 jadi momentum pertama kali saya kena musibah (baca:diingetin Allah) berupa HP ada yg ngambil saya tapi tidak permisi dan tidak dikembalikan. Sungguh titik kelam dalam hidup ini...lebay.,com
Entah trauma atau jadwal yang kurang menguntungkan, semenjak saat itu saya tidak lagi menonton langsung, apalagi kawasan kampus saya (Dayeuhkolot) aksesnya agak susah untuk ke Soreang ataupun Kota Bandung. Termasuk ketika Kerja Praktik di Semarang pun saya tidak bisa menonton laga apa-apa karena sedang libur kompetisi. Artinya sudah hampir dua tahun lebih dikit aku tidak nonton bola langsung. Tapi tidak melunturkan rasa sayang ke persepakbolaan Indonesia.
Dan hari ini (30 Januari 2012) alhamdulillah kembali nonton PSIM Jogja versus Persebaya di Mandala Krida. Jujur saja, emang sejak menginjakan tanah di bumi Nyayogkarta, memang sudah ditargetkan untuk nonton bola di sini (tapi bukan itu tujuan utamanya lho). Dan bisa saya sebut bahwa 80% tribun terisi dengan dominasi warna biru khas Brajamusti, warna hijau khas Bonek bisa lestari karena mereka memang berteman dan TLBK (Tembang Lama Bersemi Kembali) yel-yel-nya kali ini “Nanas Dondong saudara ... Pisang Raja dibunuh raja” ourghhh...agak risih juga telinga ini...
Entah laga mana lagi yang akan mewarnai hari-hari berikutnya ...
Yang pasti berrikut ini stereotip (opoooo kuwiii????) yang udah ditempelkan oleh masyarakat terhadap supporter bola yang nonton langsung ke stadion
- Kagak sholat
Menurut pembaca mana yang lebih tepat dan solutif buat hal ini? Sediain mushola di deket stadion (kalo di deket Siliwangi ada, di Jalak Harupat nggak ada, waktu itu numpang sholat di sekretariat pengelola, kalo di Mandala Krida deket situ ada) ataukah dengan microphone yang daya jangkaunya ke seluruh stadion si panpel ngumumuin reminder kepada suppoter agar sholat? Yang pasti kalo dilaksanakan sore hari biasanya yang diterjang adalah Ashar, kalo malem yg diterjang Maghrib. Yang pasti ada juga kok supporter stadion yang sholat, buktinya waktu turun minum di Jalak Harupat saya ke sekretariat panpel banyak yang lagi sholat (katanya mushola terdekat sekitar 1 km).
- Brutal dalam memakai motor, truk, kalo naik kendaraan umum kagak bayar
Waowww... emang betul ada yang beginian, tapi berhubung saya ga punya motor, apalagi truk jadi saya tidak berpartisipasi dalam pawai tanpa harmoni itu. Saya lebih milih angkot :D
- Kata-katanya kasar dan penuh misuh
Hahaha... ini yang jadi kesulitan untuk ditindak karena misal ada suporter teriak “kemana...kemana..kemana” eh eh salah, maksudnya teriak “blueberry” bagi kaumnya “blueberry” dianggap biasa saja malah seperti tanda baca koma, tapi di daerah lain itu adalah ucapan mempersilahkan untuk berantem. Maka jika pembaca agak risih dengna hal ini, sebaiknya pesan tiket VIP karena intensitasnya relatif tidak ada dibanding area ekonomi dan bisnis.
- Pengangguran yang miskin
Ga juga ... kawan saya yang tajir sering banget keliling Indonesia untuk dukung timnya, dan jaringan orang serupa seperti dia pun ada. Bahkan dari kasta PNS banyak
Intinya secara parsial pendapat-pendapat seperti itu memang ada yang terbukti, namun masih ada yang tidak
Hal yang menjadi renungan saya adalah apakah tidak ada cara lain yang lebih manjur untuk mengompakkan barisan selain memusuhi pihak-pihak yang warna kaosnya lain (karena belum saya jumpai musuh bebuyutan yang warnanya sama), misalnya (oke kali ini saya sebut merk, namun tidak semua oknum demikian) Bonek (fans Persebaya) vs Aremania (fans Arema Indonesia), The Jack (fans Persija Jakarta) vs Viking (fans Persib Bandung), SNEX (fans PSIS Semarang) vs Banaspati (fans Persijap), Brajamusti (fans PSIM Jogja) vs Pasoepati (fans Persis Solo), Singamania (fans Sriwijaya Fc) dengan Asykar Theking (fans PSPS), Pusamania (suporter Persisam Samarinda) vs Bontangmania (suporter Bontang FC). memang tidak semua karena si Andri Mardi kawan saya fans PSPS pun rekan diskusi yang menyenang buat saya yang fans SFC, namun overall sungguh ngenes proses kaderisasi yang demikian... apa mereka tidak bisa mencontoh suporter Persipura Jayapura, Persiwa Wamena, Persidafon Dafonsoro, dan Persiram Raja Ampat (dan tampaknya Perseman Manokwari juga) dimana mereka bisa damai, bahkan bila ada tim dari luar Pulau Irian bertamu maka dukungan suporter tim-tim tersebut bersatu. Memang saat derby Papu kondisi katanya panas, tapi bila laga sudah selesai maka Satu Papua yang bersenandung.
Jadi lagu di stadion ada dua jenis, yang pernah menyemangati timnya sendiri, yang kedua mengumpat suatu tim lain (meskipun bukan tim yang menjadi lawan di saat itu di lapangan)
Pertemanan memang dijalin antar supoter namun itu hanya koalisi (menurut saya) gak lucu. Viking rangkulan dengan Bonek, Bonek menggaet Brajamusti, LA Mania menggandeng Aremania... waduh waduh...bingung..bingung kumemikirnya (lagu Perdamaian MODE ON)