Well, kali ini mau cerita tentang inspirasi hangat dari Pak Daniel Tumiwa, ketua atau CEO Indonesian e-Commerce Association atau IdEA. Beliau mengisi di kuliah e-business pada Senin (23/3) lalu. Belkiau kebetulan merupakan sosok yang berpengaruh terkait TI di Garuda Indonesia. Maka yang di-share oleh beliau meliputi dua hal, yaitu e-commerce secara umum serta penerapan TI di GIA.
Pada awal sesi, beliau mengulas tentnag kondisi penetrasi internet di Indonesia. Yups, internet ibaratnya "panca idnera" untuk melakukan e-commerce. Mau barang bagus, yang punya itu seorang yang terkenal, tapi kalau internet ble'e ya gimana ya? #ahsudahlah. Dari sisi pelaku yang terlibat, harus diakui bahwa segmen urban menjadi dominator untuk e-commerce, baik penjual maupun pembeli. Kondisi inilah yang menjadi kota-kota besar di Indonesia menjadi titik "panas" dalam e-commerce, khususnya Jabodetabek, Bandung, Surabaya. Di luar Pulau Jawa, ada Medan, Palembang, dan Makassar yang menjadi kuda hitam di dalam e-commerce. Medan dan Palembang memang menjadi simpul massa ekonomi sosial di Indonesia Barat, sedangkan Makassar sudah lama menjadi "ibu kota" Indonesia Timur. Bagaimana dengan pulau dan kepulauan lain? Akses internet lagi-lagi berperan penting terhadap keberlangsungan e-commerce. Maka tak heran, pergerakan e-commerce di Kalimantan, Papua, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku-Maluku Utara belum masif geliatnya. Tapi, keseluruhan, Indonesia merupakan "surga" bagi e-commerce, jauh melampaui Singapura, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Malaysia.
Pak Daniel juga menyinggung kebiasaan berinternet di Indonesia yang dari McKinsey Consumer Insight Indonesia 2013 ternyata 70 dari 100 responden menyatakan bahwa memakai internet untuk jejaring sosial. Selain itu, 44 dari 100 memakai untuk mencari informasi (mungkin para mahasiswa mendominasi segmen ini, entah informasi kuliah ataupun mantan #eh #wkwkwk). Online shop? Hanya 7 dari 100. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi untuk mendongkrak kebiasaan e-commerce di Indonesia adalah dengan memanfaatkan jejaring sosial. Potensi yang secara pribadi saya sepakati.
Dari sisi produk yang ditransaksikan, dominasi ada pada fashion (78% responden), mobile (46%), elektronika (tentunya selain mobile, 43%), buku dan majalah (39%), dan groser (24%). Saya sendiri dalam kurun waktu dua tahun terakhir melakukan transaksi sebagai pembeli berupa elektronik 2 kali, fashion 2 kali, buku 1 kali, dan groser belum pernah. Itu dari sisi produk yang sukses diperjualbelikan. Bagaimana jika menyinggung perilaku yang elum mau ikut di e-commerce? 42% menyatakan kurang PD dengan kualitas produk, 40% khawatir dengan keamanan informasi saat pembayaran, dan 38% enggan jika tidak "menyentuh" produk itu secara langsung.
Sesi tanya jawab berlangsung asyik dimana saya sempat menanyakan tentang konsep crowdfunding di dalam e-commerce. Beliau memberikan tanggapan berupa anjuran untuk memastikan kejelasan hak dan kewajiban antara pemain utama dengan penyandang dana. Kondisi di Indonesia menurutnya adalah ketidakjelasan hak dan kewajiban sehingga penyandang dana bertindak sebagai bos sedangkan nasib masa depan pemain dalam mengembangkan produk tidak terarah baik, memang tidak semuanya namun fenomena ini yang kerap terjadi.
Di sesi kedua, beliau mengupas bagaimana dia sangat memperhatikan UX terkait pengembangan e-commerce GIA. Mulai dari web yang "digebrak" tampilannya agar fokus pada penginformasian penerbangan, hingga pembuatan mobile apps. Konsep yang menjadi gagasannya dan akan dikembangkan lebih lanjut adalah jejaring sosial bernama Garuda Miles. Di Garuda Miles ini, nantinya segala pengalaman menarik pengguna GIA akan dipublikasikan, khususnya foto, sebagai strategi dari CRM dan positive branding. Salut ini perjuangan beliau di tengah keterbatasan SDM dan persaingan global. Di tahun lalu GIA meraih beberapa penghargaan yang skalanya sudah internasional, maka jangan tanya apakah TI berperan atau tidak di situ.
No Response to "Inspirasi Hangat tentang e-Dagang"
Posting Komentar