Menjelang pulang ke Tegal beberapa hari lalu, agak gusar dan jemu juga dengan suasana kantor. Alhasil info penayangan perdana film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck menjadi "pelampiasan" yang menantang, kenapa menantang? Alasannya simpel, budget "have fun session saya bulan Desember sudah dialokasikan untuk nonton Grand KLakustik, alhasil, saya harus ikhlas mengurangi jatah makan keesokan harinya.
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck merupakan novel yang pertama kalinya saya baca hingga tuntas, tepatnya di tahun 2003 kala masih di bangku SMP kelas 2. Gara-gara Bu Sri, guru B. Indonesia mengajak beberes perpus, dan dari situlah saya penasaran dengan novel itu, tentunya tanpa feeling bakal diangkat ke layar lebar.
Sebelumnya, saya sudah membaca sebuah komentar seorang dosen tentang poster film ini yang agak "keterlaluan". Saya sepakat dan pada kenyataan, ada beberapa bagian di film itu yang rasa-rasanya kurang sreg. Hehee, mungkin saya terlalu idealis :) Durasi filmnya pun cadas nian, nyaris 2 jam 45 menit, artinya hampir menyaingi durasi dua pertandingan sepak bola. Itu saja ada beberap bagian yang "terpaksa" dipersingkat adegannya. Yaps, novel aslinya memang banyak mengulas hal yang sifatnya teknis nan detail, maka tantangan yang sulit ketika harus mengonversi tulisan ke dalam gerak audio-visual.
Pembukaan film ini lumayan menggelegar dimana logat Bugis yang dilontarkan Zainuddin sangat kental. Dengan penuh keberanian ditambah ketidakpastian, Zainuddin meminta izin ke neneknya agar direstui untuk mencari ilmu agama sekaligus menyambung silaturahim dengan keluarga ayahnya di tanah Minang. Sang nenek sampai menangis karena memang tempat yang dituju Zainuddin belum ada kepastian keramahannya bagi orang baru macam dia. Zainuddin sendiri tidak banyak macam dimana hanya mengambil uang bekal secukupnya walau jumlah 1000 gulden itu haknya, sisa dari bekal (yang sangat sedikit itu) diserahkan sepenuhnya kepada si nenek. Sungguh nilai moral yang menyentuh. Di ranah Minang, dari awal saya sudah terbius keelokan alamnya (btw itu setting-nya beneran di Sumbar ga sih?). Budaya Islam yang kental di ranah Minang tergambar di sini. Belajar mengaji di surau-surau, diskusi tentang akidah ramai diterapkan, pokoknya membuat nyamanlah bagi mereka yang haus tentang kebutuhan rohani.
Pergolakan batin sebagai penonton mulai muncul ketika konflik mulai menyeruak di film itu. Pertama ketika Hayati melepas kerudungnya dan menyerahkannya untuk Zainuddin, agak terkesan melepas aurat, well bagi saya kenapa nggak Hayati mengenakan dua lapis kerudung, itu lebih fair *opini pribadi*. Penggambaran budaya Minang di situ pas bagian si pemangku adat menyudutkan latar belakang Zainuddin pun agaknya terlalu keras, bagi yang mencerna setengah-setengah, bisa jadi malah berpikir budaya yang kolot dari Minang, padahal pada kasus tersebut, pilihan yang diambil lebih ke arah keputusan individu. Ketika Zainuddin telah menjadi orang sukses, gambaran kehidupan yang disajikan pun agaknya kurang sreg *bagi saya*, dia lebih menikmati berbusana glamor, begitu pula pesta anak rantau yang digelarnya cenderung kebarat-baratan.
Namun, banyak poin positif yang dipetik dari film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, antara lain :
- Persahabatan si Muluk dengan Zainuddin. Muluk (saat membaca novelnya pas sudah SMA, saya terbayang sosok Rio D. Finanda) walau background-nya parewa/preman, tapi ketika Zainuddin terpuruk, justru yang diberikan adalah nasihat-nasihat positif yang sangat membangun, bukan malah ajakan untuk berbuat gegabah. Solidaritas Muluk ini berbuah manis ketika di kemudian hari, Muluk mampu menanggalkan baju parewanya dan mendalami agama. Ucapan "in sya Allah" yang dilontarkannya saat melepas Hayati di pelabuhan jadi bukti bahwa Muluk telah move on dari dunia berandal
- Keberanian merantau ala Zainunddin patut diacungi jempol. Walau tidak ada kepastian bagaimana kerabatnya yang di Minang akan menyambut, dia tetap memberanikan diri untuk pergi ke sana sekaligus mendalami agama. Begitu pula saat bertolak ke Jakarta dimana hendak bekerja sebagai apa pun dia belum bisa memastikannya. Tantangan mengembangkan surat kabar di Surabaya pun disanggupinya walau dia minim (atau bahkan tidak punya) pengalaman memimpin
- Ketika ada undangan dari perkumpulan anak rantau Andalas, Zainuddin menyanggupinya, dia tidak lupa pada asalnya walau di tanah Sumatera dia terlunta-lunta. Bahkan dia mempersilahkan rumahnya sebagai lokasi pertemuan tersebut.
Konflik batin di film tersebut berpuncak pada "pengusiran" Hayati oleh Zainuddin yang tidak dapat dipungkiri berlatar belakang sakit hati atas insiden penolakan pinangan terdahulu. Pemilihan kata di adegan terus terang sangat tajam dan keras (tapi tidak kasar).
Akhir kata, film ini sangat direkomendasikan bagi pecinta sastra dan juga penikmat film Indonesia.