Gagal, hakikatnya tidak diharapkan orang lain. Siapa yang ingin gagal rasanya perlu memeriksakan kesehatan rohaninya, kecuali memang ada skenario tertentu yang lebih menguntungkan jika rencana semula gagal. Tapi secara umum, kegagalan merupakan masalah. Kita tentu punya memori yang mengendap tentang upaya apa saja yang sudah dilakukan untuk menjalankan sebuah rencana. Boleh jadi banyak yang dikorbankan, mulai dari tenaga, finansial, hingga waktu.
Kegagalan kali pun bukan hasil yang diharapkan. Agak memberantakankan rencana ekspedisi yang sudah terlalu disiapkan hampir 6 bulan lalu. Apa daya, kita harus menghormati pihak yang berwenang dalam memberikan kuantifikasi. Apa daya, kita harus mengakui banyak kekurangan yang tercecer di sana sini. Dan yang paling utama, kita harus ikhlas.
Ya, hasil yang sukses ataupun gagal hakikatnya ujian. Ujian yang akan memasangkan hasilnya di kehidupan nanti. Bagaimana respon kita dalam menyikapi hasil, apakah dilimpahi syukur ataukah takabur saat hasilnya menyenangkan hati saat ini. Apakah pula gerutu kesal ataukah berlapang dada, itu pula pilihan yang disodorkan. Coba sikapi dengan jernih. InsyaAllah ada rencana hebat dari-Nya yang jauh lebih cocok bagi kita. Maka, berprasangka baik dan tentunya ikhlas lah.
Gagal yang Coba Sikapi dengan Jernih
Ya Begitulah Risikonya Nekat
Tidak banyak orang yang bisa memahami, bahkan mau terlibat dalam sebuah 'perjalanan' yang bisa disebut sebagai bermodalkan nekat. Hakikatnya manusia memang lebih nyaman dengan sesuatu yang terencana matang, termasuk modal berwujud yang sudah jelas wujudnya di depan pelupuk mata. Hal tersebut sangat manusiawi dan tidak perlu diperdebatkan layaknya siapa yang lebih hebat Barca ataukah Madrid karena jawabannya sudah jelas Barca hehee.
Hanya saja, ada banyak modal tidak berwujud di balik bungkus 'nekat'. Modal-modal yang tidak pernah bisa diukur maupun ditampilkan dengan gamblang. Pada akhirnya tidak ada yang perlu disesali. Inilah yang orang sebut dengan Crossing the Rubicon. Hmmm, dalam hitungan pekan akan ada di titik situlah saya. Titik dimana tidak ada jalan kembali kecuali dengan isak sesal.
Selagi masih bisa berupaya, kenapa tidak berjalan walau harus merangkak
Selagi masih ada nafas, kenapa harus mendepak nyali
Selagi masih dalam radar jalur yang tepat, kenapa harus terlunta menyerah
Kecuali memang sudah bukan rezeki, selagi belum ada vonis, marilah berikhtiar
Evaluasi Dosen, Sebuah Review untuk Preview
Tiap akhir semester, dosen akan memperoleh 'surat cinta' yang menceritakan bagaimana sosok dirinya di mata mahasiswa. Di Universitas Indonesia, kami menyebutkan EDOM, jika di Universitas Telkom, hmmm apa ya namanya. Ya... yang ada di menu Survey lah hehee.. Ini ketiga kalinya saya memperoleh surat cinta tersebut. Rasanya bersyukur dengna adanya mekanisme demikian walau saya merasa skemanya perlu diperbaiki. Mengapa demikian, nanti saya jelaskan.
Ada dua bagian dalam survei tersebut di Universitas Telkom, yaitu kuantitatif serta kualitatif. Bagian kuantitatif memaparkan tingkat kepuasan mahasiswa berdasarkan kriteria tertentu yang diukur memakai 4 skala Likert. Semester lalu saya mengalami penurunan skor walau masih dalam tahap memuaskan. Saya kurang mengerti apakah perubahan skala Likert 4 item dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang 5 item merupakan penyebabnya atau bukan. Naif jika menyebut penurunan ini hanya sekedar statistik. Skor tersebut mencerminkan kualitas saya di hadapan pihak-pihak yang menerima langsung layanan dari saya. Saya tentu tidak boleh seenaknya mengklaim kesuksesan jika ternyata performa saya belum memenuhi kebutuhan mahasiswa selaku konsumen saya.
Di bagian kualitatif, saya kadang mengalami kesulitan dengan jawaban singkat yang 'baik-baik saja', misalnya 'lanjutkan', 'sudah bagus', 'mantap', 'like this gan', dan semacamnya. Sederhana saja, saya kurang bisa menerka apakah memang jawaban singkat tersebut mencerminkan keseluruhan persepsinya ataukah jawaban yang sengaja dibuat ringkas karena malas menjabarkan, saya harap tidak demikian tentunya. Saya beberapa kali menemukan pula kritik yang sangat konkret, misalnya ritme mengajar yang terlalu cepat, dan [yang baru kali ini muncul di semester ini] tugas yang terlalu banyak. Khusus mengenai tugas yang terlalu banyak, ini akan saya ulas di artikel lain, tapi kalau sempat, ini sedang mengejar beberapa ketikan lain yang mendesak. Saya bersyukur dengan adanya kritik tersebut. Saya tipe orang yang belajar dari kritik walau saya akui tidak semua saran bisa saya penuhi lantaran keterbatasan diri.
Saya sendiri berharap mekanisme survei demikian tidak hanya satu kali di akhir semester, tapi dua kali. Alasannya simpel, yaitu agar mahasiswa di tengah semester bisa menyampaikan unek-uneknya sehingga dosen bisa memperbaiki lebih dini. Semoga di kampus yang saya ajar juga demikian.