Kecewa? Jelas kecewa dan itu wajar karena saya WNI yang menggemari persepakbolaan nasional. Sulit membantah realitas bahwa partisipasi di AFF Cup kali ini adalah sangat buruk, paling tidak bukan yang terburuk. Bercokol di peringkat empat memang getir, tapi hasil di lapangan membuktikan bahwa tiga negara yang berperingkat 1 s.d. 3 tidak mampu kita kalahkan. Naasnya, si peringkat 2 adalah Filipina, negara yang stadionnya pun susah penuh saat timnas mereka bertanding (maklum olahraga terfavorit adalah basket) plus pernah dilumat 13-1 oleh Indonesia. Tapi laga berselisih 12 gol itu sekian belas tahun lalu. Sejak 2014, timnas senior tidak pernah menang atas negara ini. Jika Singapura punya satu dua alibi penyebab tidak lolos, maka Indonesia punya segudang persoalan.
Kita mulai dari hasil undian yang menempatkan Indonesia satu grup dengan Thailand dan Singapura. Jelas grup ini lebih berat dibandingkan Vietnam yang hanya diancam Malaysia. Tapi faktor "undian" memaksa kita memaklumi hal ini. Jatah kandang dan tandang pun kurang memihak Indonesia lantaran harus bertamu ke Singapura dan Thailand, jelas beban berlipat lantaran partai kandang meladeni Timor Leste dan Filipuna. Tapi faktor ini juga harus dimaklumi karena hasil "undian". Mari beralih ke faktor-faktor yang sulit/tidak bisa dimaklumi.
Tatkala berbagai kompetisi domestik macam Liga Super Malaysia (dan Piala Malaysia), Liga Premiere Thailand (dan Piala Thailand) serta S. League sudah rampung, Indonesia justru masih menggelar Liga 1. Ini sudah menjadi blunder konyol yang (mohon maaf) mengarah pada kebodohan lantaran kasus serupa pernah terjadi di AFF 2016. Dampaknya jelas, sejumlah pemain tinnas terlihat tidak fokus. Bahkan beberapa pemain sempat hadir menonton langsung klubnya. Memang di hari itu tidak ada laga atau bahkan jadwal latihan. Namun kunjungan itu menandakan bahwa pemain terpecah konsentrasinya, tentu ada etika yang tercederai pula. Tidak bisa dipungkiri pula bahwa pemain yang dipanggil tidak punya kesempatan membangun kekompakan dengan tim. Bukti nyata ada pada laga melawan Filipina dimana banyak umpan yang sukses diserobot lawan.
Materi pemain yang dibawa pun sebetulnya tidak mencerminkan kekuatan terbaik seharusnya. Pucuk pimpinan klasmen (PSM) tidak diwakili siapa pun. Begitu pula dengan pemain-pemain asal Papua yang memiliki kualitas aduhai macam Osvaldo Haay. Sepintas materi yang disuguhkan pelatih Bima Sakti terkesan solid lantaran >80% alumni SEA Games 2017 dan Asian Games 2018. Masalahnya, kanal semacam YouTube membuat pola permainan timnas sangat mudah dibaca. Bima Sakti kurang memiliki kesempatan menjajal taktik baru dengan alasan sederhana, baru ditunjuk beberapa minggu menjelang hari H. Entah budaya "satu malam" ala Sangkuriang mana yang ingin diandalkan federasi yang ironisnya masih "cuci tangan".
No Response to "Naas Teranyar Timnas"
Posting Komentar