Fauna, satwa, hewan, hingga binatang. Semuanya mengacu ke kingdom Animalia yang sangat ilmiah banget bahasanya dalam konteks sains. Namun saya lebih suka menyebut "fauna" karena kesannya yang halus. Cocok untuk cerita singkat yang terinspirasi (kebetulan lagi-lagi) dari Ust. Salim A. Fillah pada MJN Sabtu (23/1) lalu. Tentang beberapa fauna yang mampu menorehkan "prestasi' berupa di-mention dalam Al Qur'an, sebuah kitab suci yang sangat sucinya sampai-sampai hingga saat ini penyimpangan redaksional pun dapat diidentifikasi. Prestasi tersebut, (jika mengacu istilah Twitter, social media yang juga berlogo sebuah fauna) bukan di-mention biasa. Apa yang mereka ucapkan telah di-RT sebagai pelajaran yang berharga bagi manusia, sebuah insan yang dikatakan sebagai sebaik-baiknya makhluk ciptaan Allah.
Semut di era Nabi Sulaiman as, burung hudhud juga di era Nabi Sulaiman as, serta anjing di era Ashabul Kahfi, apa yang mereka lakukan menjadi sesuatu yang spesial sehingga tertuang di dalam Al Qur'an. Ingatkah cerita semut yang saling berlarian ketika akan ada manusia yang lewat. Lantas ada diantara mereka yang saling mengingatkan satu sama lain. Peristiwa ini menjadi isi dari Surat An-Nahl. Sebuah contoh kepedulian sesama spesies yang memberi pelajaran bagi manusia, spesies yang selama berabad-abad telah saling menghabisi. Pelajaran yang berharga dari semut yang sebetulnya kita pun tidak tahu apakah mereka nantinya akan menjalani alam kubur hingga nantinya ditempatkan diantara surga ataukah neraka. Terlepas dari ketidaktahuan tersebut, maka cobalah kita berkaca betapa kita yang sudah dijanjikan "prosedur" pasca-meninggal itu bagaimana.
Ingatkah perjalanan seekor burung hudhud yang melintasi jarak yang sangaaaaat panjang hanya untuk emnyampaikan amanat dari Nabi Sulaimana kepada Ratu Balqis, penguasa sebuah negeri yang makmur luar biasa namun menyembah matahari. Sedemikian dahsyatnya burung hudhud memegang teguh amanatnya untuk menyeru pada kebaikan walau sebetulnya negara yang menjadi sasaran dakwah Nabi Sulaiman tersebut sudah makmur, tidak ada penderitaan secara langsung. Namun sekali lagi, kita patut malu. Malu saat kita terlalu asyik menggenggam keyakinan kita tanpa mengajarkannya kepada sesama.
Terakhir seekor anjing, fauna yang konon liurnya tergolong najis berat. Tapi kok bisa-bisanya dia menjadi salah satu makhluk yang disanjung atas perjalanan hebatnya bersama para majikannya untuk mempertahankan diri dari serangan orang-orang yang berbuat kemunkaran. Di sini kita pantas untuk terlecut atas fenomena tertindasnya umat Islam, saudara seiman kita, yang nyatanya terlalu kecik niat kita untuk sekedar peduli.
Semoga bermanfaat.
Jangan Kalah dengan Fauna
Kamis, Januari 28, 2016 by
ve
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Jangan Kalah dengan Fauna"
Posting Komentar