Hari ini genap (eh ganjil dink) satu pekan pascainsiden Bom Sarinah. Insiden bom kali memang harus diakui sangat berbeda dibandingkan insiden terorisme maupun sabotase terhadap masyarakat sipil pada umumnya. Terlalu banyak "misteri" dan kejadian di luar pakem yang membuatnya mampu menelurkan berbagai imajinasi "di balik layar". Sebetulnya bukan pertama kali sebuah serangan terorisme terjadi di kawasan "jantung" ibu kota Indonesia Jakarta. Namun bagi saya pribadi, saya belum menemukan alasan "Mengapa Sarinah?". Rasa-rasanya Grand Indonesia, Monas, hingga kawasan kedubes negara-negara NATO sangat jauh lebih menggiurkan. Terlebih jika melihat barang bukti berupa granat yang (tanpa bermaksud meremehkan) efeknya kalah dahsyat dibanding bom TNT. Melihat agenda politik yang ada pun sebetulnya tidak ada momen yang betul-betul sakral, terutama menyangkut Indonesia dengan dunia internasional.
Bisa saja sudah terendus
Sejak mengambil mata kuliah SPPK di S1 plus mengamati peta kenegaraan Indonesia, saya merasa ada dua fakta yang berlangsung di Indonesia. Fakta yang pertama adalah fakta semi-opini,yaitu kejadian yang kita ketahui dan "dianggap" sebagai fakta berdasarkan pemberitaan media, termasuk press release dari lembaga negara, termasuk di dalamnya pernyataan Kepolisian RI. Fakta yang kedua adalah kejadian sebenarnya yang disembunyikan dari masyarakat dan juga media. Sebagai contoh, kita hanya tahu ada resuffle kabinet karena kinerja menteri yang tidak sesuai harapan, urusan alasan detail terkait lobi politik tentu itu disimpan jauh-jauh dari endusan masyarakat, ya seperti kenangan mantan gitu #eh . Terkait bom Sarinah, tentu yang kita tahu hanya seutas liputan media dan juga social media. Namun sudah barang pasti ada banyak behind of the scene-nya. Apakah kejadian kemarin benar-benar lolos dari perkiraan polisi dan juga intel Indonesia? Benarkah insiden yang terjadi sesuai rencana awal tim teroris? Ataukah yang terjadi kemarin adalah sintesis dari skenario tim teroris yang mampu diacak-acak oleh intel dan polisi, baik sebelum kejadian maupun setelah kejadian? Terus terang saya tidak percaya 100% bahwa beberapa aparat yang berafiliasi dengan Polri itu betul-betul kebetulan ada di TKP, walau memang ada yang beralasan sedang jaga sambil "ngopi"
Antara pragmatis dan sulit dimengertiSatu kejadian yang membuat saya sulit memahami cara berpikir pelaku adalah saat terjadinya penembakan brutal pascapeledakan bom di awal. Sulit membayangkan skenario peledakan bom yang memancing masyarakat Indonesia berkerumun lalu melancarkan penembakan membabi buta. Artinya penembakan yang terjadi bukanlah skenario awal, setidaknya lokasi penembakan dan momennya. Jika mengincar jumlah korban tembak, tentu lebih "efektif" dengan menembaki masyarakat tidak di sekitar TKP, tapi justru di tempat-tempat "pengungsian" seperti hotel dan perkantoran di dekat situ. Malah keberadaan polisi di TKP akan menjadi penghalang atas keleluasaan penembak. Jika fokus pada menyelamatkan diri, maka harusnya dia memanfaatkan keramaian untuk kabur dan membuang senjata entah kemana. Namun kenapa si pelaku tampak tidak berorientasi pada jumlah korban ataupun penyelamatan diri sendiri? Apakah memang sedari awal dia berencana untuk menamatkan riwayatnya di situ? Ataukah ada perintah mendadak dari "bos"-nya untuk "menuntaskan tugas" di situ?
Masyarakat kepo tingkat akutInsiden bom di Legian, Kuningan, Marriot, dll menghasilkan pergerakan massa yang hebat, tapi arahnya adalah menjauhi TKP. Terus terang kalau insiden kemarin itu sebuah scene film, maka saya akan sangat tidak percaya melihatnya. Kerumunan baru bubar setelah "unjuk senjata" oleh salah seorang pelaku. Jika tidak ada aksi tersebut, mungkin kerumunan ini tidak membubarkan diri. Malah ketika penembakan belum reda, masyarakat di sekitar kejadian masih kepo terhadap kelangsung baku tembak
"dia" dan "dia" bisa di sekitar kitaKebayang nggak sih berkerumun di sebuah lokasi peledakan dan ternyata diantara kita ada teman sekomplotan pemboman tersebut. Penampilan si pelaku penembakan memang sangat anak muda kasual Jakarta. Bahkan beberapa polisi yang ikut terlibat dalam baku tembak pun berpakaian sipil layaknya karyawan kantoran. Sempat saya bertanya ke rekan satu proyek saya saat menonton kejadian, "kalau jadi satpam kantor deket situ, terus ada orang nggak dikenal minta tolong masuk untuk mengaman diri, kira-kira dikasih masuk nggak?" bisa saja dia itu pelaku yang membawa senjata di dalam tasnya.
Antara Berani, Angkuh, dan Humoris
Era sosial media sangat mempengaruhi pemikiran manusia. Jika di Timur Tengah social media menjadi alat kampanye untuk menggalang dukungan menumbangkan rezim petahana, maka di sini social media mampu menyulap insiden 14 Januari menjadi "meme" di 15 Januarinya. Yang fenomenal tentu si tukang sate. Walau jujur, saya menyimpan secuil kecurigaan, apakah dia benar-benar tukang sate? Siapa tahu dia adalah intel, polisi, atau bahkan... supervisor para pelaku
Mungkin karena korban sedikit
Korban yang non-pelaku hanya dua orang membuat insiden Bom Sarinah mampu disikapi dengna "garang" plus sedikit "humor" oleh masyarakat. Tentu lain cerita jika korban yang berjatuhan banyak. Sulit tagar spesial #KamiTidakTakut menjadi populer, apalagi cerita si tukang sate.
Sudah Sepekan
Kamis, Januari 21, 2016 by
ve
Posted in
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Sudah Sepekan"
Posting Komentar