Sebuah berita yang beredar di berbagai media (dan sudah dikonfirmasi validitasnya) di awal tahun ini, salah satunya yang disiarkan oleh Kompas
JAKARTA, KOMPAS.com — Putusan majelis hakim Pengadilan
Negeri Palembang yang menolak gugatan perdata senilai Rp 7,9 triliun
dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) terhadap PT Bumi
Mekar Hijau (BMH) terus menuai kritik.
Berita tersebut juga telah dilansir oleh Makamah Agung melalui direktori putusan pengadilan yang berbunyi, "MENGADILI: Dalam Provisi: - Menolak tuntutan provisi Penggugat; Dalam eksepsi: - Menolak eksepsi Tergugat; Dalam Pokok Perkara: - Menolak gugatan Penggugat seluruhnya; - Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang sampai hari ini ditetapkan sejumlah Rp10.251.000,00 (sepuluh juta dua ratus lima puluh satu ribu rupiah); " (Sumber: http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/0eefbd16fb31db1936f732586efd2047). Inti permasalahan yang dibahas sangat mendalam ada pada proses penanaman pohon akasia yang "dianggap" mudah ditanam kembali.
Secara objektif, saya belum menelusuri bagaimana penyederhanaan kesimpulan "bakar hutan tidak apa-apa, karena bisa ditanami lagi". Yang pasti apabila kita hanya membaca kesimpulan itu ya tentu secara alami kita akan marah, itu manusiawi. Bencana asap kemarin adalah salah satu bencana "nasional" terpanjang yang pernah melanda Indonesia (saya beri tanda kutip karena pemerintah, dalam hal ini Kabinet Kerja, tidak pernah menyematkan status resmi), korban jiwa ada, peradaban pun mengalami mati suri, termasuk pendidikan dan perekonomian, dampaknya sudah jelas jangka pendek dan jangka panjang. Tentu pernyataan hakim, yang dibuat kesimpulannya seperti itu jelas menyakiti perasaan masyarakat. Saking sakitnya, masyarakat langsung berbuat "keras" dengan meretas website Pengadilan Negeri Palembang, bahkan "penghakiman social media" menjatuhkan vonis berupa meme-meme menyakitkan hati yang terarah hanya kepada sang hakim.
Berpikir ilmiah terhadap kajian
Saya terus terang tepar membaca berita lengkap putusan tersebut. Total 116 halaman dengan berserakannya istilah hukum membuat saya agak sempoyongan. Secara garis besar, pengacara tergugat memang memberikan argumentasi berupa jenis akasia yang konon diklaim mudah ditanami kembali. Di sini memang sudah terasa aroma yang agak sadis. Masyarakat tentu tidak mau bertele-tele jenis pohonnya apa serta detail berapa tahun bisa tumbuhnya. Alhasil, fakta "akasia" sudah pasti menguap. Kemudian terdapat pula kronologis keberadaan akasia serta luas wilayah. Bicara luas wilayah tentu terjadi generalisasi terhadap kasus yang disidangkan dengan bencana nasional yang terjadi. Kita (termasuk saya) masih belum mengerti ruang lingkup geografis yang jadi persidangan itu berapa. Apakah wilayah yang disidangkan ini memang sangat kecil (dibandingkan area bencana nasional kemarin) serta apakah di wilayah ini situasinya separah wilayah lain. Barangkali dua hal ini juga menguap. Alhasil kita perlu lebih bersikap kritis tidak hanya ke sang hakim, namun juga ke berita yang ada dimana harus kita telusuri lebih mendalam kronologis pemberian vonis tersebut.
Tapi secara subjektif...
Saya tidak membela sang hakim. Kenal, apalagi dibayar pun nggak. Yang diutarakan di atas adalah fokus kepada kebiasaan kita yang membaca berita setengah-setengah (malah nggak ada setengah alias 50%). Secara subjektif saya turut prihatin dengan hasil akhir putusan hakim tersebut. Apakah bukti yang disampaikan Kementerian Lingkungan Hidup masih kurang kuat? Apakah pihak tergugat beserta pengacaranya terlalu piawai dalam berargumen? Ataukah ada kesengajaan dalam mengambil keputusan? Semua hanya bisa bertanya-tanya, atau malah menjawabnya dengan su'udzon.
Sedih karena ada ketimpangan yang akan berpengaruh ke masa depan, khususnya kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap penegakan hukum Indonesia. Semoga tidak ada main "amplop" di sini.
#AhSudahlah
Tidak lucu lelucon awal tahun ini yang #AhKeterlaluan
No Response to "Lelucon Awal tahun yang #AhKeterlaluan"
Posting Komentar