Ulasan menarik tentang perihal mawaris di masjid Kemkominfo tempo hari memberi saya sebuah pemahaman baru tentang menyambut kematian. Pemahaman ini berakar dari pesan pembicara pada ulasan tersebut, yaitu Ust. Ahmad Sarwat, tentang menyiapkan kematian. Menyiapkan kematian tidak melulu identik dengan berhitung pembagian warisan. Ada pula hal yang patut dipersiakan dalam menuju kematian. Persiapan pertama tentunya dari sisi bekal amalan. Persiapan kedua adalah menabung untuk biaya operasional pemakaman
Lho bukannya meninggal ya meninggal, mengapa harus berpikir pusing bagaimana pembiayaan pemakaman kita nantinya? Alasannya sederhana. Biaya mengelola proses pemakaman di era saat ini tidaklah mudah. Kaitannya dengan kain kafan beserta atributnya itu dari Pak Ust. A. Sarwat jika di Jakarta bisa mencapai setengah juta. Belum lagi keperluan penggalian makam dll (apalagi jika ingin dimakamkan di tempat yang eksklusif), ternyata bisa mencapai 3-4 juta. Biaya itu tidak mutlak karena di daerah lain sangat mungkin berbeda-beda. Namun, sebagai gambaran saja, biaya 3-4 juta itu sudah setara gaji satu bulan versi UMP DKI Jakarta. Biaya ini memang relatif murah atau malah relatif mahal tergantung yang meninggal. Saya menilai bahwa bukan perkara mahal atau murahnya, melainkan bagaimana kita menabung agar biaya tersebut tidak memberatkan keluarga kita tatkala kita meninggal dunia.
Menabung ini juga mendorong kita ingat selalu akan kematian. Seperti halnya, kita terbayang suasana haji saat menabung untuk haji, maka kita pun akan terbayang akan kematian tatkala tiap bulannya kita menyisihkan uang untuk tabungan "spesial" satu ini. Bisa jadi tatkala tabungan itu sudah cukup untuk membeli kafan, langsung belikanlah kafan tersebut lalu secara rutin kita tatap renungi kafan itu tiap hari. Strategi yang menjadi peringat rutin bagi kita dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Strategi yang mendorong kita waspada dalam memanfaatkan waktu tersisa yang tidak kita tahu seberapa lama :)
Menabung Kafan
Review Civil War
Kece, singkat kata itu saya gugamkan pasca-menyaksikan film Captain America: Civil War. Film yang dibesut sebagai pola konflik antar-hero ini mampu menyuguhkan duel yang "halus". Halus di sini bukan dari sisi fisik, melainkan gradasi terjadinya perpecahan. Tidak serta merta satu isu yang kemudian menjadi ajang perdebatan, namun rentetan cara berpikir yang rumit. Dan hebatnya lagi akan ada isu hebat yang menyebabkan "baper" (iya "bawa perasaan") pada salah seorang karakter sebagai puncak dari pertarungan di film ini.
Ada beberapa pelajaran yang menarik dari film. Kenapa saya sebut menarik? Karena tidak semua skenario film mau mengubar hal-hal demikian:
- Perhatikan baik-baik kalimat yang diucapkan seseorang. Kelak di salah satu bagian, kita akan mendapati sosok yang membelot dari koalisinya namun alasannya sangat sederhana, yaitu dirinya hanya bersedia membantu untuk "menemukan", bukan "menangkap"
- Kaderisasi itu perlu. Entah karena kurang pede dengan koalisi yang dimilikinya atau bagaimana, namun Tony Stark secara langsung "melamar" Peter Parker alias Spiderman (yang masih muda) untuk bergabung di barisannya. Berbagai kisah banyol di film ini pun mulai ramai sejak proses rekrutmen hingga pertarungan yang melibatkan si Spiderman
- Jangan ragu minta maaf. Ada sebuah adegan di film ini yang mempertemukan sosok Falcon sebagai pihak yang tidak bersalah, namun berkontribusi pada kecelakaan Rhodes di pihak Iron Man. Falcon segera mendatangi Iron Man yang sedang mengevakuasi si Rhodes dan segera menyampaikan permintaan maafnya. Ya walaupun balasan dari Tony sangat dingin (dan juga panas)
- Berpikirlah dengan matang dalam mengambil keputusan. Awal dari perpecahan diantara kubu Iron Man vs Captain America sebetulnya adalah sebuah kebijakan yang mendorong para superhero untuk mengambil sikap, setuju ataukah tidak (walau sebetulnya cenderung formalitas). Sebagian superhero segera tanda tangan, sebagian berpikir lama lalu tanda tangan, hingga ada pula yang tidak tanda tangan sama sekali. Kekompakan mereka diuji karena sikap yang mereka ambil ini nantinya akan dinilai secara kolektif organisasi, yaitu Avenger, bukan per individu ataupun fraksi. Di sini pelajaran berharga mengenai cara lobi, berargumen, sampai dengan berkompromi terhadap berbagai risiko yang mungkin terjadi. Ketiadaan sosok pemimpin tunggal, yang sebelumnya dipegang oleh Fury, dapat disebut sebagai pemulus terjadinya konflik. Pelajaran bahwa sosok pemimpin tunggal perlu dimiliki di dalam sebuah organisasi.
- Loyalitas vs kepercayaan. Bayangkan kita menjadi Falcon yang loyal pada Steve Rodger (Captain America) namun harus mendapati kenyataan bahwa sosok Steve sendiri tidak punya bukti bahwa Bucky (Winter Soldier) tidak bersalah atas insiden bom di Vienna. Bayangkan pula ketika dua sosok tersebut berhasil lolos dari kejaran Iron Man ke sebuah lokasi di Eropa Timur, namun Iron Man membujuk Falcon untuk "membocorkan" lokasi mereka dengan tawaran si Iron Man akan membantu menyelesaikan kesalahpahaman yang terjadi.
Yang paling menarik sejak saya melihat poster film ini adalah tagline "United We Stand, Divided We Fall". Kenapa? JIka terjemahkan ke Bahasa Indonesia, kurang lebih artinya "Bersatu Kita Tegak, Bercerai Kita Runtuh". Lhaaa? Mirip banget dengan semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia, "Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh". Jrengg...
Icon Baru ala Google
Welldone Lab Sessions Done
Berkompromi tentang Penantian
Menanti, sebuah kata kerja kerja yang bersinonim dengan menunggu
Menanti berkata dasar "nanti" yang kebetulan menandakan sebuah masa depan. Namun tidak berarti saat "nanti" itu tiba maka apa yang menjadi objek untuk ditunggu itu terealisasi. Bahkan "nanti" adalah periode waktu yang tidak jelas durasinya. Anggap saja sebagai cara menghibur diri terhadap ketidakpastian
Menanti, sebuah aktivitas yang sulit didefinisikan tingkat produktivitasnya. Bisa saja dalam masa penantian itu kita mengisinya dengan berbagai rintik keringat atau malah tetes air liur kuas kantuk. Tatkala dalam mas penantian itu, berbagai torehan produktif bisa ditelurkan melalui aktivitas pengalih perhatian tentu timbul pertanyaan retoris, "ternyata yang ditunggu tidak lebih berkualitas dengan aktivitas pengalih perhatian". Tapi jika diisi dengan aktivitas pengalih yang kurang produktif tentu tidak baik pula. Anggap saja menanti sebagai aktivitas menguji ketahanan diri dalam memahami tujuan, bukan memahamin keinginan.
Menanti, ya menanti bukan berarti tak punya harga diri
Menanti, tak bermakna hanya terdiam diri
Menanti, tak bernyali untuk memaksakan diri
Menanti, takkan tersinonim dengan memamen prestasi
Menanti
Bunga dari gersangnya daya pandang tapi hebat dalam berprasangka
Investasi dalam mereklamasi cara mendekati mimpi
Menanti
Bentuk kompromi terhadap diri sendiri
Berupa negosiasi atas komitmen pribadi ataukah ambisi
Sudden Death La Liga
^^ Airaqiqah
Selamat Datang PS TNI dan BSU
Selamat datang "muka baru" di kancah strata tertinggi sepak bola Indonesia
Selamat datang PS TNI dan Bhayangkara Surabaya United
Wilujeng Tepang Tahun Kabupaten Bandung
ISC yang (tidak) di Pinggir Gerbang
Rima-Rima Sederhana: Penghuni Baru
Satu yang baru
Tak sekedar dafang kunjung atau bertamu
Namun juga menaungi esokku semangatku
Rona meruah senyummu damai syahdu
Satu yang memacu
Gempitaku awali hari hingga berganti rupa
Dimana damai sekedar menghampiri
Namun juga meliputi
Isak beliau damai tanpa daya selain renjana
Selalu termaktub dalam sajakku tentangmu
Hingga kusebut dalam tengadahan doa
Treble? Mungkin München dan Shaktar
Sjmber: Getty Images
BPJS Perlu Perbaikan Model Bisnis
- Integrasi data kependudukan antara Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kepolisian RI, Kementerian Sosial, hingga kementerian lain yang terkait data kependudukan untuk mengefektifkan e-government sesuai kebutuhan BPJS
- Penjaminan mutu melalui SI customer service macam perusahaan berorientasi kepuasan pelanggan
- Koordinasi antarfasilitas kesehatan yang berpikir jauh ke depan ( mengacu pada arahan pembanguna Indonesia di bidang kesehatan dan masterplan kesehatan nasional)
- Monitoring performa entitas yang terlibat
Dark Knight as Blaugrana
Tumbang 2-0 oleh Atletico menandai pupus harapannya FC Barcelona mengejar rekor doubleXtreble musim ini. Ini juga menandai masa suram Barca di sejak penghujung Maret 2016 lalu. Betapa tidak, pasca kemenangan 6-0 dari getafe, hanya mengais 1 kemenangan berbanding 1 seri dan 3 kekalahan.
Hasil imbang 2-2 melawan Villareal mengawali rentetan hasil buruk di La Liga berupa sepasang kekalahan dari Real Madrid dan Real Sociedad. Kisah jarak 10 poin dari Atletico selaku peringkat 2 di klasmen La Liga pun kini terpangkas 4 poin, jarak yang artinya lampu kuning di 6 pekan sisa. Di Liga Champion nasib naas musti direguk setelah tumbang marjin dua gol dari Atletico menempatkan agregat 2-3 dimana Barca sebagai yang tersingkir. Manisnya 34 kemenangan di semua laga sejak Oktober lalu seolah menguap tak berbekas padahal segala torehan kedahsyatan Barcelona kerap menghiasi media. Betulkan Barcelona kehilangan sentuhannya tak berbekas? Barangkali tidak juga
Masih Berbekas Kisah El Classico
Keok dari rival dimkandang sendiri padahal sempat unggul di laga yang diapresiasikan bagi legendanya. Ah ironi yang menyesakkan dan itu yang memukul telak mental Barcelona. Boleh jadi kisah berbeda bisa tersaji jika malam itu hasilnya imbang atau bahkan Barca yang menang. Namun, apa iya menyalahkan masa lalu?
Masih Terlalu Membekas Skuad Inti
B/tS + (A-P-M-A) + (I+B+R) +(M+S+N)
Pakem yang terlalu kaku untuk dibongkar pasang pelatih. Pola permainan Barcelona tampak susah move on dari kombinasi mereka. Alhasil situasi genting yang terjadi menjadi kualitas anak muda macam Munir el Haddadi, Sergi Roberto, Rafinha, Douglas Costa, hingga Marc Bartra canggung dan malah kurang dipercaya sebagai super-sup. Nama tenar seperti Arda Turan, Aleix Vidal, hingga Jeremy Matthieu pun sulit merangsek ke starting line up untuk mengacauka "learning knowledge" lawan.
Well, rekor tidak ada juara bertahan yang menjadi juara di musim berikutnya kembali berputar. Praktis fokus Barca saat ini tinggal mengamankan 6 laga sisa di La Liga dan 1 laga final Coppa del Rey. 7 laga seharusnya menjadi ajang evaluasi dan pembuktian Barcelona bisa berkembang dengan 25 pemain, bukan 11 pemain, apalagi 3 pemain saja.
Rima-Rima Sederhana: Bulan Sabit di Pondok Cina
Meruah rekah secercah asa merah jambu
Derap mendekap sinari penantianku
Menjelang gempita meriahnya degapku
Biar begitu tertahankan pelita kalbuku
Rembulan kibaskan elok nyala di malamku
Berjarak ruang aku menyapa saujana
Senyum yang beranjak dari mimpi
Kilau migrasiku jajaki dunia nyata
Susuri sekilas lalu dimana kepak merayap
Terdepakku di galangan berbanjar
Kini sebingkis ukuran Tuhan menggapit relungku
Kemarilah alasan baruku tetap hidup berlari
Benahilah rumah batin kami di suatu alam nanti
Kenapa harus Nulis Paper
Paper bukan terminologi asing di dunia akademik. Paper bagi profesi dosen dan periset merupakan kwajiban formal yang rutin dipenuhi (idealnya) dengan peogresif sesuai keilmuannya. Pun dengan mahasiswa yang juga (mulai) didorong wajib memenuhi publikasi ilmiah berupa paper sesuai strata yang dilaluinya. Walau secara formal, paper merupakan kewajiban, namun ada beberapa hal yang (bisa) menjadi alasan agar akademisi mau dan mampu memublikasikan paper-nya, baik di ranah seminasi ataupun jurnal periodik.
Pertama, mengembangkan diri
Alasan ini sangat egosentris namun tidak ada salahnya karena memang ada dampak positif menulis paper bagi seorang akademisi. Pola pikir kritis, menata bahasa, efektivitas dan efisiensi dalam menyampaikan pemikiran, hingga tentunya manajemen waktu, itu semua merupakan komponen-komponen yang "keras" namun bermanfaat dalam mengembangkan diri si akademisi.
Kedua, kesempatan "ditampar" dengan sportif
Memang "nyelekit" saat hasil penelitian kita dipertanyakan, bahkan hongga urusan sepele macam tata bahasa. Namun di sini justru kesempatan kita untuk dijatuhkan dengan hormat dan bisa berintrospeksi dengan lebih matang. Ada sebuah benefit tersendiri ketika hasil karya kita dikomentari orang lain, entah tanggapan positif ataupun negatif. Namun itu menunjukkan ada potensi daya tarik dari pekerjaan kita. Dan dari pengalaman saya, separah apapun riset dan presentasi kita, para pakar yang ada tetap beramah senyum dalam berdiskusi.
Ketiga, jembatan menuju "jendela"
Dari keaktifan menulis paper, kita akan terpacu untuk mempelajari karya orang lain. Secara tidak langsung, akan muncul "direktori" di otak kita yang berperan mengompilasi relasi-relasi baru beserta kompetensi yang dimiliki masing-masing. Bila beruntung, kita akan dihadiahi "tiket" menjelajahi bumi Allah untuk menyerap nilai-nilai positif dari tanah seberang. Dan itu modal kita untuk memperbaiki bangsa Indonesia dan juga agama Islam.
Keempat, kontribusi bagi institusi
Segala rupa statistik macam webometric, peringkat scopus, dll, itu semua tidak lepas dari produktivitas sebuah institusi dalam memublikasikan risetnya melalui paper. Bahkan di berbagai "lelang dana riset", produktivitas dan portofolio riset milik institusi ikut mempengaruhi penilaian. Di sini kita berkesempatan ikut membangun institusi tempat kita bernaung.
Kelima, warisan untuk diacu
Beberapa skripsi, tesis, dan disertasi mensyaratkan rujukan berupa paper yang dipublikasikan di jurnal periodik dan seminasi, namun tidak memperkenankan penggunaan rujukan sesama skripsi, tesis, mauoun disertasi. Artinya sebagus apapun riset kita namun tidak dijadikan publikasi paper, maka tidak bisa digunakan sebagai acuan suksesor kita di tempat institusi. Mereka terancam gersang referensi.
Semoga bermanfaat dan menginspirasi^^
Count up the Beat and Count down the day
Setahun lalu dua perkara menguasai hari-hari saya yaitu karya akhir/tesis dan persiapan menikah. Menikah, ya menikah, sebuah gerbang bagi dua orang insan-Nya menapaki terjalnya kehidupan menggapai berkah-Nya. Tiada terbayang secepat ini,mbahwa saat nyaris setahun usia pernikahan kami, kami tengah mempersiapkan diri menyambut buah hati kami. Titipan Illahi yang "sakral" karena dari hasil mendidiknya inilah, kami akan tergiring kensurga ataukah neraka. Titipan Illahi yang kelak menjadi pengalir amal tatkala usia kami berakhir. Titipan Illahi yang tidak pernah menyandang status "mantan orang tua" ataupun "mantan anak". Titipan Illahi yang menjadi deskripsi hebatnya kebesaran Allah SWT.
Pekan demi pekan sejak kami mendeteksi eksistensinya, kini memasuki usia pekan ke-40. Usia kandungan yang menandakan bahwa si eks-penegak ini harus siaga. Setiap langkah menuju tempat kerja, saat di tempat kerja, menuju kosan, saat di kosan, bahkan saat "extend" di kampus Depok/Salemba, harus disertai kesiapan pulang ke Bandung. Bahkan sudah dua hari ini "diorama" istri mengalami pembukaan mewarnai bunga tidurku. Sebuah sinyal ataukah geladi kotor? Wallahualam
Allah SWT adalah sutradara yang Maha Kuasa dan Maha Adil dalam menentukan skenario hidupku, hidup istriku, dan juga hidup bayi di kandungan istri (yang sudah bernyawa). Segala kemungkinan yang bisa saja terjadi patut dinafasi dengan khusnudzon alias berprasangka baik. Dengan segala liku-liku yang ada, kami tawakal atas ridho-Nya karena dengan itulah kami akan kuat dan dekat dengan-Nya.
Stasiun Pasar Minggu Baru, 12 April 2016
Sudah dua KRL full lewat, hehee
Badai dari Karibia
Mereka yang Berjuang agar Jakarta tidak Banjir
Nggak pake efek kamera, sengaja agar lebih alami. Ini adalah potret ibu kota Indonesia. Kota Jakarta Pusat memang berkali-kali meraih adipura. Namun di balik kemegahannya, mereka inilah "guardian" ya png berperan besar mencegah Jakarta banjir
Hiruk Pikuk Jelang Pilpres FAST
Bosan juga menyimak grup alumni FAST beberapa hari ini, mungkin hampir sekian pekan hehee. Berbagai publikasi meraup dukungan menjelang Pilpres FAST semakin gencar memberondongi notif di HP. Sebetulnya sah-sah antusiasme tiap tim sukses, simpatisan, dll. Hanya saja yang cukup mengganjal adalah materi publikasi yang masih berkutat pada kepentingan pragmatis jangka pendek, yaitu citra dukungan sebanyak-banyak agar nanti saat pemilihan bisa menyedot angka semaksimalnya. Esensi pemilihan ketua (dalam hal ini "presiden") berupa adu ide, gagasan, program kerja, hingga inovasi masih miskin diobral. Entah sebetulnya ada tapi tidak terlalu dimunculkan, atau malah memang tidak ada rencana kontes yang berkualitas. Atau kah memang fenomena program kerja itu tidak sepenting total suara yang mendukung saat pemilihan? Well, sampai di sini saya masih belum bisa membedakan pemilihan presiden FAST dibandingkan pemilihan ketua himpunan.
Padahal ekspektasi sangat membumbung tinggi. Dengan total alumni sekian puluh ribu (tentu masih jauh dibandingkan IA-ITB ataupun ILUNI UI), namun masih terlalu banyak jika dibandingkan dengan total partisipan dalam tiap kegiatan FAST (dari beberapa event yang terpublikasikan di grup FB FAST). Dengan bekal SDM melimpah plus sepak terjang para alumnus di berbagai domain industri, seharusnya budaya ilmiah bisa tetap dipekikkan dalam memperbaiki FAST. Rindu juga pada pendekatan Balance Score Card yang coba diumbar salah satu kandidat pada Pilpres FAST periode sebelumnya. Mungkin pula FAST patut menerapkan Key Performance Indicator agar bisa lebih objektif menilai keberhasilan program kerjanya. Baiklah, menjelang pemilihan kali ini saya bersikap positive thinking saja, semua pragmatisme ini akan sirna pasca-pemilihan dan berganti dengan torehan ide-ide gemilang yang bertujuan jelas, berjangka panjang, dan tentunya bisa memberikan manfaat.
Yuk Lapor Pajak (dan Bayar bagi yang Lolos Kuota)
Well, hiruk pikuk perpajakan memasuki injury time selama 1 bulan. Batas tanggal 31 Maret 2016 untuk lapor pajak tahun 2015 diganjar bonus "30 hari" menjadi 30 April 2016. Faktor masih banyak administrasi yang belum beres plus faktor teknis berupa server yang "berasap" menjadi muara penambahan waktu ini. Terlepas dari membludaknya akses, harus diakui bahwa Kemenerian Keuangan, termasuk Ditjen Pajak, adalah pemegang ranking 1 egov dalam sekian tahun terakhir, saya tidak meragukan hal tersebut. Dan terobosan pembuatan e;-filling untuk lapor pajak secara online merupakan gagasan yang sangat memperbaiki sistem perpajakan di Indonesia plus mereduksi peluang "uang panas birokrasi". Memang implementasinya belum memuaskan ekspektasi masyarakat 100%, tapi saya yakin ke depannya akan jauh lebih baik.
Judi di dalam Lomba
Sebuah topik yang "unik" dipaparkan Ustadz Ahmad Sarwat pada khotbah Sholat Jumat (1/4) di Kemkominfo, Jakpus. Saya sebut unik karena ulasan Judi adalah hal yang langka dibahas di berbagai khotbah sholat Jumat. Dan apa yang diulas beliau kemarin memang mengundang kepenasaranan tersendiri, kenapa?
Beliau mengawali pembahasan tentang judi ini dari sisi kriteria judi yang terdiri dari 4 hal:
- Ada lebih dari satu peserta yang bertanding (baik sesama kompetitor maupun kompetitor dengan bandar)
- Ada harta yang dipertaruhkan
- Ada pemenang diantara peserta tadi
- Ada perpindahan harta dari yang kalah kepada yang menang
Sampai pada penjelasan tersebut, semua masih terasa mudah untuk menganggukkan kepala. Namun ketika dua kasus dikemukakan beliau, mulailah ada pencerahan yang menjadi kritik atas berbagai "judi terselubung" di tengah masyarakat.
Kasus pertama permainan kartu remi/gaple yang tidak mempertaruhkan apa-apa. Ada peserta yang bertanding dimana akan ada pemenang dan akan ada yang kalah. Namun sudah disepakati tidak ada taruhan apa-apa sehingga yg menang tidak mendapat apa-apa, pun yang kalah tidak kehilangan apa-apa. Dalam kasus ini, permainan demikian tidak bisa disebut judi. (Perkara membuang waktu atau malah bisa menunda2 ibadah, itu sudut penilaian lain)
Kasus kedua adalah lomba membaca Al Quran yang menggunakan biaya pendaftaran. Tentu aktivitas yang mulia karena membaca Al Quran banyak berkahnya, namun bagaimana jika peserta diwajibkan membayar uang tertentu (entah dinamakan biaya registrasi, biaya partisipasi, infak, dll)? Bagaimana si pemenang memperoleh hadiah yg sumbernya dari uang yg dibayarkan tadi? Dalam kasus tersebut, coba kita tinjau kriteria judi:
- ada peserta, iya
- ada pemenang dan ada yang kalah, iya
- ada harta yang dipertaruhkan, karena sumbernya dari uang yang dibayarkan peserta, maka iya
- ada perpindahan harta dr yang kalah ke yang menang, karena hadiah pemenang berasal dr uang peserta, maka iya
Dengan demikian konsep lomba demikian justru memenuhi kriteria judi
Sang ustadz memberikan solusi berikut:
- Lomba perlu diatur konsep aliran dananya
- Boleh ada uang dari peserta, namun jangan digunakan untuk hadiah pemenang (piala, uang tunai, dll), tapi gunakan utk operasional lomba (sewa tempat, konsumsi, dll)
- Hadiah pemenang ambil dari sumber dana selain uang peserta
Dengan demikian uang masuk dibedakan menjadi uang peserta dan uang non-peserta, uang keluar dibedakan jg mnjdi uang hadiah dan uang-non hadiah
Berikut ini merupakan referensi yang memang menjelaskan pemaparan beliau
http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1181456683&=hukum-hadiah-dari-suatu-perlombaan-yang-berasal-dari-uang-pendaftaran.htm