Awal tahun ini BPJS kembali mengapungkan isu yang cukup mengguncang masyarakat lewat kenaikan. Keputusan Presiden menjadi dasar hukum yang melegalkan penambahan biaya yang harus ditanggung tiap peserta per bulannya. Kenaikan yang konon bersumber dari neraca minus sekian miliar (cmiiw) menjelang tutup kalender 2015 lalu. Banyak pohak langsung menyerukan ketidaksepakatan, entah motif yang kurang sanggup, motif sok peduli rakyat, hingga motif yang memang peduli pada rakyat. Masing-masing punya argumen yang menarik, mulai dari kalkulasi finansial BPJS, outcome layanan yang dianggap kurang layak, birokrasi yang berbelit, dll.
Kasus BPJS sangat unik karena BPJS sebetulnya hanya "bagian" dari himpunan besar bernama layanan kesehatan. Kenyataan yang "diasumsikan" masyarakat terhadap eksistensi BPJS adalah "ketok magic" yang ketika seseorang bergabung maka otomatis dapat mereguk layanan kesehatan yang perfeksion. Ada kegamangan terjadi di sini karena masyarakat terlanjur "berbayar" dimana sudah barang umum biaya yang dibayarkan oleh masyakarat kita akan dianggap bulat sebagai "semua pasti beres". Ibaratnya membuka kios membayar uang "keamanan" ke preman tapi menganggap itu sudah "include" biaya kebersihan. Tak heran muncul berbagai keluhan tentang layanan kesehatan yang sebetulkan kurang tepat dialamatkan kepada BPJS.
Usia BPJS masih terlalu belia untuk divonis gagal tidaknya, namun BPJS harus berhadapan dengan kebiasaan "mie instan" yang menjangkiti masyakarat. Tuntutan "ketok magic" sebagaimana diungkapkan sebelumnya diperberat dengan keacuhan masyarakat dan mungkin juga pemerintah mengenai roadmap BPJS. Saya pribadi berharap BPJS tidak "mati muda" sebagai nasib industri dirgantara Indonesia.
Dari berbagai masalah yang ada, barangkali pukulan telak yang bermuara pada neraca minus adalah realitas uang masuk dan uang keluar yang jauh dari perkiraan. Uang masuk kebanyakan dari Kelas III yang didominasi masyarakat ekonomi ke bawah dimana biaya penggunaannya untuk layanan kesehatan relatif sedikit. Justru ekonomi atas yang mendominasi Kelas I berkontribusi relatif sedikit di dalam arus uang masuk. Namun giliran penggunaannya sebagai uang keluar, golongan ini malah mengambil alih neraca pengeluaran dimana kita tahu betapa ekonomi atas penyakitnya (relatif) lebih waah dan biayanya juga bisa lebih waaah. Ketimpangan yang perlu diklarifikasi apakah sudah diperkirakan sebagai risiko ataukah tidak. Ke depannya problema uang masuk dan uang keluar ini perlu diperbaiki. Hal yang paling mudah memang menaikan uang kontribusi bulanan Kelas I, tapi apakah semudah itu solusi tuntas?
Masih terlalu jauh kawan... BPJS perlu memikirkan bagaimana bagaimana mengelola neraca tidak sekedar iuran pengguna kelas I/II/III plus APBN, namun harus ada inovasi dari sisi ekonomi dan bisnis. Pilihan ada tiga, menaikan income dari pengguna, memangkas outcome, ataukah X. X adalah opsi ketika dua alternatif sebelumnya kurang realistis, yaitu berpikir kreatif. Ya, proses bisnis di dalam sistem BPJS dan TENTUNYA LAYANAN KESEHATAN harus diperbaiki dengan kreatif.
Waktunya BPJS mengubah model bisnisnya
Mengelola sistem nasional yang membentang di 17.000 pulau, infrastruktur TIK tidak merata, edukasi mengalami gap lebar, fasilitas kesehatan beragam, kondisi sosial masyarakat SANGAT beragam, dan tentunya UMR yang jauh berbeda antarkota, itu semua sangat tidak mudah. Namun justru di dalam ekosistem yang banyak tidak mudahnya lah pola pikir kreatif akan tumbuh subur (kecuali bahaya laten korupsi lebih subur). Mungkinkan selain cluster berupa kelas I s.d. III, akan ada pula segmentasi layanan lainnya? Harusnya iya, tentunya dengan perbaikan atas pemahaman asas merata ^^
Perbaikan model bisnis perlu kerja keras, karena akan ada banyak perubahan yang mengancam eksistensi beberapa populasi di dalamnya. Pemanfaatan SI/TI bosa menjadi solusi yang patut diacungkan dalam memperbaiki model bisnis BPJS. Pemanfaatan SI/TI juga memungkinkan PHK massal terhadap SDM di dalam layanan kesehatan. Artinya BPJS perlu menyiapkan strategi migrasi massal untuk SDM yang tergantikan oleh SI/TI. SI/TI seperti apa yang sesuai untuk BPJS?
- Integrasi data kependudukan antara Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kepolisian RI, Kementerian Sosial, hingga kementerian lain yang terkait data kependudukan untuk mengefektifkan e-government sesuai kebutuhan BPJS
- Penjaminan mutu melalui SI customer service macam perusahaan berorientasi kepuasan pelanggan
- Koordinasi antarfasilitas kesehatan yang berpikir jauh ke depan ( mengacu pada arahan pembanguna Indonesia di bidang kesehatan dan masterplan kesehatan nasional)
- Monitoring performa entitas yang terlibat
BPJS harus sadar bahwa kebiasaan masyarakat terkait "mie instan" dan "ketok magic" sulit ditanggulangi. Pilihan BPJS saat ini hanya dua, berlari dan merombak model bisnisnya dimana kedua harus kreatif.
No Response to "BPJS Perlu Perbaikan Model Bisnis"
Posting Komentar