Terik Pagi Menuju Siang di #AsianGames2018
Kilas Balik GBK di fX Sudirman
Sukses untuk Para Wisudawan Pascasarjana
Kiriman foto dari WAG Pengurus HIMMPAS UI 2018.
Semoga momen ini makin berkah dan memberi inspirasi, termasuk bagi saya yang wisuda paling cepatnya tahun 2020.
Selamat Mas Fikri
Mas @fikrifahmi911 . Salah satu sahabat saya semenjak TK (iya TK, Taman Kanak-Kanak, moso' Taman Kaplak-Kaplak) walau hanya satu sekolah saat SMA. Alhamdulillah pekan ini beliau #wisudaui dari FMIPA utk jenjang magister, lagi-lagi tentang perfisikaan. Semoga Allah melimpahi rahmat dan lindungan di berbagai aktivitas dan perjalanan berikutnya Mas.
Satu Harmoni Nirkubu untuk Indonesia
"Foto dari Laily Rachev, Biro Pers dan Media Istana"
Kalimat tersebut sebagai pengakuan dan wujud etika karena artikel ini memakai hasil potret orang lain. Selain kalimat itu, saya rasa tidak perlu deskripsi lebih lanjut.
Beraneka Rupa Kuil-Kuil di Chiang Rai
ການເດີນທາງກ້າຫານ Brave trip in Huay Xai [2]
Melihat ulasan wisata tentang Huay Xai di berbagai laman, saya sulit menjawa pertanyaan istri saya 'Emang di sana ada apa'. Hehehee, saya juga bingung lantaran objek-objek wisata yang menarik ada jauh di Luang Prabang dan Vientiene, bukan di Huay Xai. Di sisi lain, durasi yang kurang dari sehari juga menjadi pertimbangan untuk memilih tempat yang seefisien mungkin. Alhasil sebuah kuil bernama Wat Chomkao Manilat, makan siang di sebuah kedai, serta jalan-jalan menikmati suasana kota sederhana cukuplah menjadi pemuas rasa penasaraan sekaligus menaklukan tantangan. Saya juga sadar bahwa penampilan kami yang terlihat jelas identitas muslimnya akan menarik perhatian orang, plus negara ini menganut konsep komunis. Artinya kami perlu bijak dalam melangkah dan bertindak. Sayangnya ada satu ganjalanan yang baru saya sadari sesapainya di Huay Xai, jumlah anjing di sini kelewat banyak. Jelas membuat saya yang fobia anjing ini merinding. hohoo
Gambar di atas persis menunjukkan model arsitektur yang digunakan memiliki kemiripan dengan kuil-kuil di Thailand. Sepertinya akan ada semacam perayaan meningat beberapa dekorasi mencolok terpasang meramaikan kuil tersebut.
Mata uang di Laos adalah Kip yang nilainya 'hampir setara' dengan Rupiah, tapi tidak persis 1 banding 1. Harga yang disertai ribu adalah hal yang lumrah sebagaimana harga-harga di Indonesia, misalnya nasi goreng di Indonesia yang harganya 10-13 ribu [yang standar]. Saya tidak sempat mencari info apakah Bath berlaku juga di sini atau tidak. Namun, saya menyempatkan menukar Bath ke Kip saat masuk ke border imigrasi. Selain memperkecil risiko 'kelaparan', siapa tahu sisa uang Kip-nya bisa jadi koleksi hehee. Oh ya, saya hampir tidak menemukan ATM di sepanjang kota ini. Memang ada beberapa, namun sekitar satu atau dua, itupun oleh bank domestik Laos. Artinya stok uang kartal harus dipersiapkan bila ingin wisata ke negara ini.
Lantaran Islam merupakan minoritas di Laos, kami sudah mengira akan kesulitan mencari tempat makan halal. Karena itulah, kami memilih membawa stok makanan dari penginapan. Praktis hanya nasi yang kami beli di sebuah kedai di jalanan kota Huay Xai. Saya sendiri sempat beberapa kali lupa bahwa ini adalah sebuah ibu kota provinsi lantaran suasanya yang masih asri mirip Margasari. Kalau saya ada kesempatan lebih lama, saya ingin mengamati lebih lama potret sosial budaya negeri ini.
ການເດີນທາງກ້າຫານ Brave trip in Huay Xai [1]
Ekspedisi ke Chiang Rai memang tidak layak diberi label 'lazim'. Tidak sekadar lokasi Chiang Rai yang tidak populer di Indonesia, tapi 'godaan' untuk menjejakkan kaki ke Myanmar dan Laos, sepasang negara yang berbatasan darat dengan Thailand. Setelah sebelumnya 'nekat' ke Tachileik, maka pada Sabtu [21/7] lalu, saya beserta istri dan putri saya [yang masih dua tahun] beranjak dari penginapan kami menuju ke Huay Xai.
Huay Xai adalah sebuah kota di pinggir Sungai Mekong, tepatnya sebelah Timur alias sudah masuk ke teritori Laos. Kota ini biasa menjadi titik numpang lewat mereka yang ingin menuju Vientien [ibu kota Laos] atau malah ke Kamboja dari arah Utara negara Thailand. Status 'kota' memang membuat istri saya heran [sepulang dari sana]. Ya, infrastruktur dan keramaian di sana memang agak jauh dibandingkan kota-kota di Indonesia yang menjadi ibu kota provinsi, misalnya Pontianak, Bandar Lampung, bahkan Ternate yang notabene 'mantan ibu kota provinsi Maluku. Tingkat keramaiannya justru tidak berbeda jauh dengan Margasari, iya Margasari, bukan Slawi lho ya. Alasan saya ke kota ini pun hanya satu, mengunjungi Laos walau hanya beberapa jengkal waktu saja. Sebagaimana Myanmar, saya tidak punya lagi rencana untuk mengunjungi Laos. Dengan demikian, momen 'mampir' ke Laos ini jelas menjadi momen yang sayang untuk dilewatkan. Memang ada paket wisata dari Chiang Rai ke Pulau Donxao yang sudah masuk Laos. Tapi pulau tersebut kurang menawarkan pengalaman yang jelas. Saya ingin tahu peradaban yang 'lebih riil' walau tentu saja jauh di Laos sana mungkin berbeda. Beberapahari setelah dari Thailand, saya bar tahu kalau ke Pulau Donxao saja tidak akan diganjar stempel paspor, sedangkan Huay Xai iya.
Carilah bus menuju Chang Khong jika berangkat dari terminal Chiang Rai. Entah mengapa saya membayagkan status terminal Chiang Rai patut disebut sebagai bus antar-negara lantaran ada arah menuju Laos serta Myanmar. Kali ini kita harus membayar 65 THB sebagai tarif standar menuju pinggir perbatasan. Hujan yang deras sudah saya perkirakan sehingga saya perbanyak istirahat pada H-1. Tidak perlu khawatir nyasar karena supir dan kondektur bus-bus di sana alhamdulillah jujur dan sangat ramah, tapi waspada tetap wajib. Nanti kita akan turun di sebuah pertigaan, selanjutnya angkot kecil akan membawa kita ke kantor imigrasi. Di sini, saya mendapatkan 'peringatan' [dalam arti positif] bahwa saya sudah memasuki Thailand lewat darat, tepatnya dari Myanmar sehingga jatah masuk lewat darat saya tinggal satu kali lagi. Alhamdulillah jatah ini sudah saya ketahui sebelumnya lantaran membaca blog traveler lainnya yang juga pernah ke sini.
Dibandingkan ke Tachielik, perjalanan ke Huay Xai ini agak 'boros' lantaran tidak diperkenankan jalan kaki melintasi jembatan Sungai Mekong. Kita harus memakai bus atau mobil jemputan yang tarifnya [kalau tidak salah] 20-25 THB per orang. Kalau dari Mae Sai ke Tachielik hal ini tidak berlaku lantaran sungai pemisahnya relatif kecil. Selama di imigrasi jangan mainan handphone, jangan mainan laptop, jangan menyakiti hati mantan eh eh eh. Jangan lupa bahwa sebagai sesama negara ASEAN, kita bisa keluar masuk Laos dengan gratis.
#ArfiveLaos
Surga Tersembunyi di Chiang Rai
Di dekat masjid ini, terdapat kedai yang menyediakan makanan halal relatif lengkap. Sungguh nikmat akhirnya bisa menikmati hidangan dengan status halal yang jelas.
#ArfiveThailand
Jernihnya Wat Rong Khun
Pembeda dari kuil yang konon menjadi 'must be visited' dibandingkan bangunan serupa ada pada warnanya, putih. Ada banyak filosofi dari warna ini. Suci, murni, jernih, bersih, ikhlas, apa lagi ya, hmmm yang pasti putih tidak diasosiasikan dengan Real Madrid lho ya. Melihat berbagai ulasan yang ada, saya tidak menemukan keraguan berarti untuk mengunjunginya walau disertai bimbang akan ke kuil ini sebelum sholat Jumat atau sesudahnya. Belajar dari pengalaman sudah-sudah dimana bada Dhuhur di sini kerap diwarnai mendung, maka saya dan istri memutuskan menargetkan ke White Temple sebelum Jumatan. Yups, sebagai objek wisata yag mengandalkan arsitektur eksterior, jelas cuaca yang mendung akan mereduksi kenyamanan.
Sesampainya nanti, kami menyadari bahwa memang objek wisata ini disarankan untuk dikunjungi pagi hari. Alasannya sederhana, yaitu masih sepi sehingga kita lebih leluasa menikmati segala sudut tanpa harus berkerumun layaknya dawet tanpa santan.
Bukan hal yang susah menuju ke White Temple jika berangkat dari terminal kota Chiang Rai. Ada tulisan jelas yang menandai bus mana yang harus dipilih. Kocek 20 THB per orang patut dipersiapkan sekaligus menandai bahwa durasi sekitar 30-45 menit akan dihabiskan menikmati jalanan darat kota Chiang Rai. Kesempatan berharga untuk mengamati bagaimana keseharian kota ini. Keunggulan objek wisata ini adalah dekat dengan jalanan utama kota Chiang Rai. Alhasil, kita cukup berjalan kaki menuju lokasi setelah turun dari bus. Ornamen pahatan runcing dan melingkar sudah melambai-lambai dari kejauhan. Jelas sebuah peringatan untuk bersyukur bahwa manusia dikaruniai akal pikir dan jiwa kreativitas yang kece mantap jaya.
Setiap jengkal kuil ini dihiasi lengkungan-lengkungan tajam. Bagi yang agak fobia dengan benda tajam [saya termasuk yang agak fobia demikian], fokus pada keindahannya sajalah. Oh ya, ada sebuah kejutan di salah satu sisi kuil ini. Sayang tidak boleh difoto, padahal epic sekali hehee.
#ArfiveThailand