Melihat ulasan wisata tentang Huay Xai di berbagai laman, saya sulit menjawa pertanyaan istri saya 'Emang di sana ada apa'. Hehehee, saya juga bingung lantaran objek-objek wisata yang menarik ada jauh di Luang Prabang dan Vientiene, bukan di Huay Xai. Di sisi lain, durasi yang kurang dari sehari juga menjadi pertimbangan untuk memilih tempat yang seefisien mungkin. Alhasil sebuah kuil bernama Wat Chomkao Manilat, makan siang di sebuah kedai, serta jalan-jalan menikmati suasana kota sederhana cukuplah menjadi pemuas rasa penasaraan sekaligus menaklukan tantangan. Saya juga sadar bahwa penampilan kami yang terlihat jelas identitas muslimnya akan menarik perhatian orang, plus negara ini menganut konsep komunis. Artinya kami perlu bijak dalam melangkah dan bertindak. Sayangnya ada satu ganjalanan yang baru saya sadari sesapainya di Huay Xai, jumlah anjing di sini kelewat banyak. Jelas membuat saya yang fobia anjing ini merinding. hohoo
Gambar di atas persis menunjukkan model arsitektur yang digunakan memiliki kemiripan dengan kuil-kuil di Thailand. Sepertinya akan ada semacam perayaan meningat beberapa dekorasi mencolok terpasang meramaikan kuil tersebut.
Mata uang di Laos adalah Kip yang nilainya 'hampir setara' dengan Rupiah, tapi tidak persis 1 banding 1. Harga yang disertai ribu adalah hal yang lumrah sebagaimana harga-harga di Indonesia, misalnya nasi goreng di Indonesia yang harganya 10-13 ribu [yang standar]. Saya tidak sempat mencari info apakah Bath berlaku juga di sini atau tidak. Namun, saya menyempatkan menukar Bath ke Kip saat masuk ke border imigrasi. Selain memperkecil risiko 'kelaparan', siapa tahu sisa uang Kip-nya bisa jadi koleksi hehee. Oh ya, saya hampir tidak menemukan ATM di sepanjang kota ini. Memang ada beberapa, namun sekitar satu atau dua, itupun oleh bank domestik Laos. Artinya stok uang kartal harus dipersiapkan bila ingin wisata ke negara ini.
Lantaran Islam merupakan minoritas di Laos, kami sudah mengira akan kesulitan mencari tempat makan halal. Karena itulah, kami memilih membawa stok makanan dari penginapan. Praktis hanya nasi yang kami beli di sebuah kedai di jalanan kota Huay Xai. Saya sendiri sempat beberapa kali lupa bahwa ini adalah sebuah ibu kota provinsi lantaran suasanya yang masih asri mirip Margasari. Kalau saya ada kesempatan lebih lama, saya ingin mengamati lebih lama potret sosial budaya negeri ini.
No Response to "ການເດີນທາງກ້າຫານ Brave trip in Huay Xai [2]"
Posting Komentar