Persaingan merupakan hal yang jamak terjadi, apalagi jika menyangkut kompetisi internal sebuah klub sepakbola. Dengan kuota pendaftaran pemain 25-30 pemain, tentu akan menarik menyimak siapa saja pemain yang dibawa ke sebuah pertandingan. Ada kompetisi yang menyediakan jatah pemain cadangan 5, 7, hingga 12. Tentunya jika berkaca pada pengalaman maka kasus di Indonesia dimana pemain dari klub yang keuangannya bermasalah hanya mengirim pemain dengan jumlah terbatas saat tandang klub klub lain yang geografisnya sangat jauh. Ya tahulah klub-klub saja yang sering didatangi klub lain dengan jumlah pemain terbatas :v.
Namun hanya ada tiga kuota pergantian, artinya di dalam sebuah pertandingan maksimal 14 pemain yang bermain. Persaingan akan makin menarik karena pemain sepakbola profesional tidak digaji memakai keadilan distribusi alias pukul rata. Masing-masing digaji berbeda dengan berbagai faktor. Dan tidak usah naif untuk mengakui bahwa pemain yang akan tampil dipengaruhi nilai gaji yang telah ditetapkan. Maka tidak heran, ada tuntutan moral bagi seorang pelatih untuk menurunkan pemain yang gajinya menyita kas dengan alasan menghindari gaji buta. Faktor skill dan chemistry jelas mempengaruhi bagaimana seorang pemain mampu bertahan di sebuah klub.
Istilah formasi terbaik pada akhirnya menjadi bayang-bayang yang akan terus ada terlepas bagaimana si pelatih mengatur rotasi yang diterapkan. Dari kata "formasi", sudah mulai ditebak probabilitas seorang pemain akan diturunkan. Pelatih yang memfavoritkan 4-2-3-1 dengan seorang tunggal tentunya menjadikan peluang striker murni sangat sempit. Ketika ada stok 3 pemain dengna tipikal demikian (dan tidak bisa dipindah ke posisi lain), maka isu hengkang mulai merajai benak pemain dan manajemen. Kata "terbaik" juga sudah memberi gambaran seberapa peluang seorang pemain diturunkan. Jangan lupa untuk definisi "terbaik" ini akan mengacu ke berbagai hal, misalnya jam terbang, gaji, reputasi, dan kecocokan dengan pemain lain.
11 kuota starting line-up plus 3 cadangan tentu kuota yang sangat terbatas. Dan permainan hari ini akan mempengaruhi siapa yang akan dipilih di dalam 11+3 pemain laga berikutnya. Penampilan memukau hari ini, well memperbesar peluang diturunkan di laga esoknya. Maka kondisi jarang tampil lantas hengkang, baik dijual, dilego, dipinjamkan, hingga tidak diperpanjang kontraknya merupakan hal yang wajar di industri sepak bola.
Keinginan untuk tampil regular sudha jadi harga mati bagi seorang pemain walau kenyataan di lapangan dia harus rela tidak selalu tampil di lapangan. Bagi seorang pemain muda, faktor jam terbang menjadi prioritas sehingga opsi dipinjam menjadi pilihan yang asyik. Toni Kroos pernah merasakan manfaat dipinjamkan ke Bayer Leverkusen sehingga saat kembali ke Muenchen dia lebih matang. Tapi ada juga yang malah nggak balik lagi seperti Mat Hummels.Ada pula yang lebih memilih sabar dengan bertahan dan mulai menuai hasilnya. Misalnya Xavi Hernandez yang memilih bertahan di Barcelona walau ditawari AC Milan. Ada lagi yang kasusnya bertahan di tengah-tengah, yaitu dipinjam-pinjamkan tanpa tahu kapan bisa mengenakan jersey klub pemilik aslinya. Mungkin hal itu yang sedang dialami oleh Isaac Cuenca dan Ibrahim Affelay.
Kali ini saya mengambil kasus di dua klub, yaitu FC Barcelona dan FC Bayern Muenchen. Klub pertama karena klub favorit yang memiliki informasi tentang perpindahan pemain lumayan detail. Itulah mengapa saya belum menyoroti klub di Indonesia karena informasi perpindahan pemainnya lebih bureng. Klub kedua memiliki tradisi suksesi striker yang sangat unik dan nanti akan saya jelaskan.
La Masia masih Dilestarikan?
Semua tentu sepakat bahwa FC Barcelona lebih tersohor dalam menelurkan bakat pemain-pemain binaannya. Bahkan Ajax Amsterdam, Manchester United, Arsenal, Atletic Bilbao, FC Bayern Muenchen, Borussia Dortmund, Benfica dan klub-klub lain di Eropa pun kurang mentereng reputasinya seperti FC Barcelona dalam hal pembinaan pemain muda. Setidaknya itu yang sempat dicetuskan di akhir era 2000-an dan awal 2010-an. Siapa yang tidak kagum ketika menyaksikan Victor Valdez di bawah mistar menatap Jordi Alba, Carles Puyol, Gerard Pique, Martin Montoya, lalu di tengah Xavi Hernandez, Andres Iniesta dan Sergio Busquet asyik menyuplai bola untuk Lionel Messi, Pedro Rodriguez, dan Christian Tello. Formasi yang artinya 100% alumni La Masia. Tapi kenyataannya baik jebolan La Masia maupun pemain "impor" yang ada di FC Barcelona harus merasakan getirnya persaingan yang membuat mereka terpental satu per satu karena hilang jam terbang. Persaingan makin berat bagi sejumlah pemain dengan munculnya formasi idaman yang sangat mengobral reputasi.
Simak bagaimana gagal terwujudnya formasi gila Messi-Villa-Ibrahimovich karena ada tiga "matahari" di situ. Masing-masing merupakan striker utama di timnas Argentina, Spanyol, dan Swedia. Mungkin jika Villa punya ego tinggi tentu hengkangnya Ibra dengan cepat diikutinya, namun karena Villa mau ganti peran menjadi "pemain pendukung" bersama Pedro Rodriguez maka lahirlah Messi-Villa-Pedro dengan Messi sebagai lakon utama. Beberapa musim sebelumnya Barca gagal menghadirkan Fantastic Four berupa Thierry Henry-Ronaldinho-Samuel Eto'o-Lionel Messi. Empat pemain tipikal striker yang jika dimainkan semua bakal membuat FC Barcelona tampil 3-3-4 atau 4-2-4, formasi yang jauh dari kebiasaan sebelumnya, yaitu 4-3-3 dan 4-4-2. Alhasil kuota yang terbatas itu membuat Ronaldinho yang memang sedang menukik performanya akhirnya terpental.
Faktor gaji, popularitas, hingga ekspektasi dunia menyaksikan pemain "tertentu" pula dan tak lupa pemain pilihan pelatih yang akhirnya menyebabkan beberapa pemain mesti terpental. Eidur Gudjohnsen, Ibrahim Affelay, Bojan Krkic, Deolefeu, Christian Tello jelas bukan sosok yang sepopuler Messi. Menarik untuk disimak apakah pemain favorit saya, Pedro Rodriguez akan menyusul nasib mereka atau tidak. Kenapa demikian? Pedro yang merupakan pemain pertama yang mencetak gol di enam kompetisi dalam waktu satu tahun harus menerima kenyataan bahwa media lebih menghebohkan trio MNS (Messi-Neymar-Suarez). Faktor jebolan La Masia, punya kecepatan tinggi, pemilik rekor mencetak gol di 6 kompetisi (bahkan dia mampu mencetak gol di final Piala Super Eropa 2009, Piala Super Spanyol 2009, Piala Dunia Antar-Klub 2009, Liga Champion 2011, Copa del Rey 2012), rendah hati, tidak terjerat kasus di luar lapangan, mau menjadi pemain pendukung. Tapi semua itu tidak menjamin. Jebolan La Masia? Messi juga. Kecepatan tinggi? Mmm, bukannya tengah tahun ini Alexis Sanchez pindah ke Arsenal? Rekor 6 gol di semua kompetisi? Messi sudah pernah walau didahului Pedro. Rekor gol di 5 final? Idem.
Bagaimana dengan FC Bayern Muenchen?
Klub satu ini sebenarnya juga mengalami arus transfer yang sangat ramai walau tidak seheboh Real Madrid, Barcelona, Chelsea, Manchester City, dan Manchester United. Yang menarik ada semacam suksesi yang sifatnya merotasi striker-striker mereka. Ingat sosok trio Luca Toni, Roy Makaay, dan Miroslav Klose. Ada kalanya mereka tampil bertiga, ada saatnya berdua. Yang pasti mereka merupakan sosok yang sangat vital di pertengahan era 2000-an. Kehilangan sosok Giovani Elber dan Carsten Jancker tidak begitu terasa dengan keberadaan mereka. Namun satu per satu pemain ini keluar. Diawali Makaay yang digantikan oleh Podolski serta beberapa pemain pendukung seperti Ivica Olic dan Claudio Pizzaro.
Puncaknya ketika tiga sosok tadi punah dari daftar pemain Muenchen dan muncullah duet Mario, yaitu Gomez dan Mandzukic. Keberadaan mereka mampu membuat Podolski hengkang ke Arsenal dan sosok Olic dan Pizzaro hanya menjadi pemain pendukung. Sebenarnya Muenchen punya gelandang serang yang sangat agresif pada diri Arjen Robben dan Franck Ribery. Tapi duet Mario tidak perlu dipertanyakan kembali keunggulannya. Duet Mario lantas mulai diisukan bakal menjadi trio Mario dengan hadirnya Mario Goetze dari Dortmund. Namun dengan kondisi gelandang serang yang sering ada di depan ditambah stok striker murni yang ada, akhirnya duet Mario pecah kongsi. Mario Gomez melenggang ke Artemio Frachi markas Fiorentina. Duet Mario jilid 2 ternyata mengalami pincang karena Goetze justru kerap cedera. Tapi faktor usia masih belia plus status warga negara Jerman menjadikan dia lebih bisa bertahan di klub dibandingkan dengan Mandzukic yang terancam keberadaannya dengan sosok Robert Lewandowski. Mandzukic akhirnya hengkang ke Atletico Madrid. Olic dan Pizzaro sendiri sendiri undur diri sebelumnya tanpa banyak pemberitaan.
No Response to "11 plus 3 itu masih Terlalu Sempit"
Posting Komentar