Insiden Air Asia memang memilukan dimana korban jiwa sudah dipastikan ada. Di tengah duka ini, sungguh hanya dua pihak yang patut memperoleh simpati. Pertama tentunya keluarga korban dimana mereka harus menerima kenyataan bahwa pesawat mengalami kecelakaan dan hingga belum ditemukan korban yang selamat, sebaliknya yang ditemukan hingga saat ini adalah korban yang meninggal. Kedua adalah para tim (dari berbagai elemen, baik itu TNI, tim SAR, dll) yang tanpa lelah mencari segala petunjuk, jejak, hingga segala hal terkait keberadaan pesawat. Perlahan mereka mulai membuahkan hasil walaupun harus diakui bukti yang ditemukan menghadirkan isak pilu.
Tapi entah mengapa di tengah suasana serba rumit ini malah ada pihak-pihak yang asyik memelintir bahasa sehingga berbagai tudingan dan sikap menyalahkan terjadi. Ini bermula kunjungan Menteri Perhubungan ke Bandara Soekarno-Hatta. Di situ beliau menemukan kebiasaan terkait penyampaian informasi cuaca kepada pilot oleh maskapai. Nah dari situlah langsung berbagai media menyebarkan berita bahwa Menhub marah-marah. Social media? Ah jangan tanya. Berita pejabat marah-marah adalah sajian lezat untuk melonjakkan traffic dan popularitas brand. Tengok saja bagaimana berita pak Basuk T. Purnama, pak Dahlan Iskan, bu Tri Risma Maharani, pak Ganjar Pranowo, pak Susi Pudjiastuti saat marah-marah mampu menyedot atensi. Penasaran kenapa demen banget ya ngelihat orang marah-marah.
Kontan saja makin ramai jagat media dengan berbagai dukungan, kritik, hingga permintaan kejelasan mengenai berita "marah-marah" tersebut. Jangan lupa budaya menulis surat terbuka yang sedang jadi tradisi masyarakat digital. Surat terbuka kepada Menhub dirilis, lalu dibalas oleh Menhub, dan entah akan berbalas-balas seperti apa. Well, budaya saat ini sangat sensitif dan sangat ca-per.
Sementara itu berbagai isu lainnya juga bergulir. Bahkan isu tersebut meluncur tanpa ada kejelasan dari pihak yang berwenang. Isu pilot yang terlibat narkobalah, isu ada penumpang yang menyalakan HP-lah, hingga isu itu adalah jadwal penerbangan yang ilegal. Well, jika saya menjadi humas/PR Air Asia, tentu saya bakal pusing bukan karena proses evakuasi tapi mengklarifikasi isu-isu yang entah itu dihembuskan dari mana. Oh iya, era saat ini terlalu komersil sehingga sering terlontar ujar-ujar "udahlah yang penting publish (terbitkan) saja artikel itu, pakai judul yang bombastis ya, kalau salah ya tinggal edit atau tarik dari website". Segampang dan semurah itukah harga validitas berita?
Saya jadi teringat kasus yang menimpa Anies Baswedan dengan Ustad Yusuf Mansur. Kala itu statement dari Anies selaku seorang menteri dipelintir seolah-olah hendak melawan pendidikan Islam. Ustad Yusuf Mansur yang kecewa dengan isu tersebut lantas menyampaikan unek-uneknya di social media. Kontan saja ramailah social media. Kekecewaan tersebut benar-benar menjadi komoditas media dan benar-benar langsung dikaitkan dengan konspirasi liberalisasi Indonesialah, presiden salah pilih menteri, dan berbagai stigma setengah otak lainnya. Alhamdulillah keduanya segera melakukan komunikasi japri dimana keduanya menemukan adanya kesalahpahaman dan segera meluruskan informasi. Ending yang melegakan namun jarang ditemukan pada kasus serupa lainnya.
Kenapa Malah Jadi Telenovela
Senin, Januari 05, 2015 by
ve
Posted in
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Kenapa Malah Jadi Telenovela"
Posting Komentar