Baca status seorang adik kelas bahwa di salah satu minimarket di Dayeuhkolot yang nggak ada 100 meter dari kampus mulai terang-terangan menyediakan minuman beralkohol di etalasenya. Rasanya kok gimana gitu... Kesal, sebal, gemes, tapi bisa berbuat apa ya?
Budaya Barat memang menggempur habis-habisan masyarakat Indonesia. Satu per satu produk "aneh" mulai diwajarkan dengan argumen yang nggak banget. Minuman beralkohol dibela dengan alasan ini nggak bikin mabuk. Tatoo dibilang tren, nggak mengganggu orang. Alat kontrasepsi dilindungi alibi mencegah penularan HIV. Biar makin aman, segala teknik ngeles sudah ditebarkan. "Ah elu nggak usah ikut campur urusan orang lain", "itu kembali lagi ke orangnya, kalau orangnya bener ya nggak bakal manfaatin buat yang nggak-nggak", "wah elu ikut aliran apa sih? ekstrim banget".
Alhasil satu per satu produk aneh merajai etalase minimarket, ya minuman alkohol lah, bahkan alat kontrasepsi. Kalau di teori ekonomi ada istilah permintaan dan penawaran. Keduanya menyebabkan terjadinya transaksi. Kenapa jual es nggak laku di wisata gunung? Ya karena nggak ada permintaannya. Namun bisa juga belum ada permintaan, namun karena ditawarkan dengan baik maka timbullah permintaan. Nah jika menengok barang-barang aneh di minimarket, itu kondisinya bagaimana? Apakah masih sekedar penawaran yang belum ada permintaan atau sudah terjadi permintaan yang tinggi? Jika yang terjadi kedua, waduh mama sayangeeee, gawat nih.
Seharusnya, kampus perlu menyadari bahwa lingkungan civitas akademia tidak sekedar dibatasi gerbang kampus, di luar itu #BukanUrusanSaya. Sama saja berprinsip selama anak saya tidak merokok di rumah ya nggak masalah. Kebiasaan merokok di luar akan memberi pengaruh terhadap perilaku si anak saat di dalam rumah. Salah besar jika kampus (dalam hal ini rektorat plus organisasi mahasiswa yang mempunyai "kekuatan politik") menganggap bahwa di luar gerbang tidak termasuk ekosistem yang patut dijaga. Area kos-kosan serta apa yang ada di sekitarnya masih menjadi ekosistem yang mempengaruhi kondisi civitas akademia. Selain itu ingat pula peran "pengabdian sosial" sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Kampus (minimal dengan definisi tadi, namun akan lebih sangat bagus jika disertai+didukung pula oleh seluruh civitas akademia) harus aktif memantau ancaman apa yang timbul di masyarakat yang berpotensi menjadi "penyakit" bagi mahasiswa. Salah satunya tentu dagangan yang ada di minimarket di sektiar kampus. "Tenang pak, mahasiswa nggak beli yang gituan kok pak", Lha emang ada yang berani ngasih jaminan? "Lha pak, kalau minimarket di sini nggak jual, kan dia bisa beli di minimarket sana (nunjuk yang radius 50km dari kampus)?" Aisshhh alasanmu banyak. Kampus perlu menekan agar minimarket di sekitar kampus tidak menjual barang aneh-aneh.
Tentu caranya bukan melakukan penggrebekan, razia, maupun demo. Perlu penyamaan pandangan antara mahasiswa, rektorat, serta pemuka masyarakat. Barulah melakukan pendekatan dan perjanjian secara damai dengan pengelola minimarket tentang hal tersebut. Kalau nggak mau? Lakukan propaganda secara "manis" yang berujung pada tekanan sosial. Kunci untuk melakukan itu semua ada pada sikap saling mendukung dan bergerak bersama. BEM mau sendirian? Nggak akan jalan. Rektorat mau bergerak sendirian? Hubungan dengan masyarakat nggak seakrab mahasiswa dengan masyarakat. Pemuka masyarakat mau bersikap? Sulit dilakukan jika mahasiswa masih jadi pelanggan setia minimarket itu, apalagi kalau beli barang-barang itu.
Minimarket Mulai Jualan "Aneh-Aneh"
Senin, Januari 05, 2015 by
ve
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Minimarket Mulai Jualan "Aneh-Aneh""
Posting Komentar