Pancasila
...
Terminologi ini dalam dari setahun ini kerap dibicarakan di berbagai media. Dalam konteks positif, yaitu idealisme Bangsa Indonesia yang sudah diwariskan hampir 72 tahun. Untuk ukuran negara semajemuk Indonesia dengan keterbukaan informasi yang relatif 'lebar', harus diakui Pancasila memang menjaga pondasi yang terbukti mampu mengikat 250 juta penduduk Indonesia tetap dalam bingkai NKRI. Dalam konteks negatis, sangat disayangkan bahwa Pancasila kerap 'dimanfaatkan' untuk mengotak-kotakkan bangsa ini antara suatu identitas keagamaan dengan yang identitas non-keagamaan lainnya. Ketika ada orang yang aktif di kegiatan agama tertetu, justru dilabeli tidak cinta Pancasila, atau bahkan anti-Pancasila. Kita tahu agama apa yang dimaksud, yaitu Islam. Siapa yang di balik bidikan ini, entah.
Suasana makin keruh ketika disinggung bahwa ada konspirasi di balik hilangnya kata-kata 'kewajiban menjalan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' yang sebetulnya sudah disepakati jauh sebelum proklamasi. Mau tidak mau kita harus belajar sejarah agar tidak tergelincir. Sebagai pucuk pimpinan PPKI selaku tim perumus dasar negara Indonesia, sosok Soekarno dan Mohammad Hatta kerap dituding 'lupa' pada agamanya sendiri. Soekarno yang jebolan pondok di bawah asuhan Cokroaminoto lantas dikaitkan dengan ideologi Nasakom, sedangkan Hatta dicurigai lupa bahwa sebagai 'urang awak' malah mengecewakan kaum agama. Bagi saya, provokasi semacam ini sudah kelewatan. Karena ada pemotongan fakta pada dugaan konspirasi tersebut.
Pertama, Pancasila yang disahkan pada 18 Agustus 2016 menempatkan aspek ketuhanan pada sila yang pertama. Diskusi panjang antara para politikus dengan alim ulama saat itu berujung pada peletakan hal yang bersifat religi sebagai yang palig pertama dalam dasar negara. Kedua, memang frase 'menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya' tidak ada lagi, tapi bukan dihapus total. Kalimat asalnya 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' menjadi 'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Secara eksplisit, kata 'Islam' memang tidak digunakan, tapi secara implisit penegasan kalimat tauhid ada di dalam sila pertama ini. Ketiga, identitas Islam masih dimuat jelas pada awal paragaf ketiga Pembukaan UUD 1945, yaitu 'Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa'. Keempat, sosok Soekarno dan Hatta 'ditemani para alim ulama yag sangat memahami dinamika yang terjadi tapi kokoh pengetahuan agamanya, diantaranya Teuku Moh Hasan, Kasman Singodimejo, dan Ki Bagus Hadikusumo. Mereka awalnya tidak setuju, tapi dengan eksistensi 'Ketuhanan Yang Maha Esa' rasa-rasanya tidak perlu dianggap sebagai kekalahan. Keempat, jika memang Soekarno dan Hatta menghendaki sekuler sebagai dasar negara alias meminggirkan Islam tentu mereka akan mengusir alim ulama dari tim PPKI karena mereka berdua punya jabatan dan kekuatan untuk itu. Sekian dekade kemudian, sebuah pertemuan besar alim ulama di Situbondo pun menetapkan kesepakatan bahwa 'Ketuhanan Yang Maha Esa' berarti 'Tauhid'.
Sejatinya Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Silakan cari sendiri di Al Qur'an, ayat-ayat mana saja yang 'diwakili' oleh masing-masing sila pada Pancasila. Yang menarik, pemilihan frase yang digunakan sebagai redaksi kalimat Pancasila kental citarasa tegas dan bermartabatnya. Ini yang menjadi pembeda dengan usulan-usulan redaksi Pancasila lainnya sebagai sempat disampaikan oleh Dr. Soepomo, Moh. Yamin, maupun Soekarno yang hanya menampilkan kata benda disertai sedikit kata sifat, misalnya 'Mufakat', 'Perikemanusiaan', 'Sosio-nasionalisme'. Frase 'Kemanusiaan yang Adil dan Beradab' dan 'Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan' merupakan kalimat brilian yang menegaskan sesuatu yang harus dimiliki beserta kondisi yang harus ada pada sesuatu tersebut. Kata-kata yag dipilih menunjukka bahwa pebuatnya bukan orang biasa.
Pancasila, Sejalan dengan Islam
Jumat, Juni 02, 2017 by
Arfive Gandhi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Pancasila, Sejalan dengan Islam"
Posting Komentar