Ramadhan menyodorkan tantangan untuk kita. Jika bisa menahan diri dari hal-hal yang (biasanya) boleh (seperti makan dan minum), tentunya kita bisa menahan diri dari hal-hal yg berlebih-lebihan ataupun hal-hal yg diharamkan/dilarang. Saya tidk bisa menahan diri untuj terhenyak atas ungkapan tersebut yang disampaikan saat kulyum shalat Tarawih di mushola Sukamulya tersebut.
Kenyataannya memang begitu. Sebetulnya yang disampaikan di atas hal yang sangat lumrah. Saat adzan Shubuh berkumandang hingga adzan Maghrib dihelat, saat itu pula segala macam hidangan, baik minuman maupun makanan, menjadi haram untuk dimakan. Padahal hidangan tersebut halal dn bersih. Tapi komitmennya dalah menahan diri untuk tidak mengonsumsinya. Dan pada kenyataannya kita sanggup menahan diri tidak makan dan minum (kalau di Indonesia) sekitar 13-14 jam. Padahal makan dan minum adalah kebutuhan primer manusia. Yang KTP Islam tapi tidak puasa tanpa alasan syar'i, tidak saya komentari.
Tapi yang jadi menarik adalah kita kerap kurang mampu mengendalikan diri setlh adzan Maghrib bergulir untuk sesuatu yag awalnya berstatus kebutuhan primer. Sebagai contoh, fenomena "ifthar explosion"alias buka puasa dengan hidangan berlebihan. Saking berlebihannya apa yang ada di meja lebih mirip etalase rumah makan pdang dan warteg, baik dari sisi porsi maupun beragaman kontennya. Apakah salah? Coba evaluasi niat. Evaluasi juga dampak yag terjdi. Apakah niatnya untuk memperbanyal senyum saudara kita yang menjajakan kudapan ifthar? Apakah niatnya menyenangkan kerabat atau saudara? Apakah untik menunjukka keunggulan status ekonomi? Apakah perilaku demikian menimbulkan efek negatif misalnya (meminjam istilahnya si VP) polarisasi finansial di sisi minus lantaran gravitasi pengeluaran membengkak? Apakah di saat kita berhampur ifthar eh di tempat lain masih gersang nasi dan lauk berbukanya? Begitu juga dengan lonjakan pembeli busana menjelang idul fitri yang heboh dengan diskonnya mendorong kita berbelanja busana melebihi rencana dan kebutuhan semula.
Fenomena yang mirip juga terjadi menyangkut perilaku berlebihan pada kebutuhan non-primer. Kita ternyata masih gampang untuk berboros ria terhadap segala kebutuhan yang sifatnya sekunder bahkan tersier. Definisi kebutuhan sekunder dan tersier meliputi di luar sandanag, pangan, dan papan. Dengan gempuran media sosial serta efek filter gawai menyebabkan banyak produk yang sebetulnya tidak terlalu dibutuhkan tapi malah dibeli. Sebagai contoh aksesori gawai yang tidak terkait konteks akdemik atau profesi, nongkrong-nonfkrong tidak produktif, hingga perabot yang sebetulnya sudah ada barang serupa.
Kalau menilik rukun puasa serta syarat sahnya puasa,memag perilaku berlebihan tidak membatalkan puasa. Tapi niat kitapuasa 'kan tidak cima "yang penting nggak batal". Harus ada hikmah yang dipetik, salah satu pola hidup sederhana yang efisien, tapi buka pelit garis keras lho ya. Apalagi kita perlu mengingat bahaya perilaku bemegah-megahan yang diulas pada At Takatsur.
Mari kita (terutama saya) introspeksi diri. Jika bisa menahan diri untik yang primer, mengapa tidak bisa menahan diri untuk yang lainnya?
No Response to "Rmadhan yang Ramai Pilihan [2]"
Posting Komentar