Cerita lama yang lebih tepat disebut insiden yang hingga kini (dan entah akan sampai kapan) membekas di otak dan dahiku.
15 Agustus 2011 (lupa Ramadhan tanggal berapa) sekitar pukul 2 siang di bundaran Kalibanteng pasca KP di Bandara Ahmad Yani, Semarang. Alih-alih feeling, yang ada hanya feeling riang seperti biasanya (haha..maklum ga hiburan selain menghibur diri sendiri).
Saat itu persis pasca menyeberang jalan, ternyata jalan yang persis baru saja aku lewati langsung diberondong kendaraan berbagai ukuran yang "berlomba-lomba" dengan klaksonnya. Entah apa yang membuat mereka berebut ingin terdepan di jalur itu. Hanya saja, saya sangat kaget dengan klakson mereka yang menyahut-sahut nan "jegerr". Dalam hitungan detik tiba-tiba "trakk".
Innalillahi aku menabrak tiang baligo. Yeah, entah mengapa aku hilang kendali saat berjalan dan akhirnya menabrak (atau tertabrak ya??:p) baligo yang hanya ada tiangnya..
Kepala terasa pusing sekali. Tanpa maksud meremehkan, aku kira itu hanya kejedot biasa. Telapak tangan kananku masih mengelus-elus dahi ini. Terlihat ada sebuah angkot berhenti di seberang jalan. Ketika hendak menuju ke angkot tersebut, aku lihat tanganku tadi. Astaghfirullah berdarah tapi sedikit. Mulai muncul perasaan tidak enak (dalam kosakata Slawinan "MMOE"-->Mambu-Mambune Ora Enak).
Diri ini mencoba menenangkan diri, "ini cuma kejedot trus lecet biasa ko", hiburku dalam hati. Tiba-tiba pemirsa. Terasa sekali ada yang menetes segar dari keningku turun ke pipi dengan cepatnya. Seghh.. Jantung derasa berhenti. Ada apa nih? Ternyata luka tadi mengucurkan darah segar yang banyak. Ini bukan lebay cuy, tapi beneran darah merah segar merembes . Segera aku cari semak-semak. Sebenarnya aku juga bingung mengapa aku mencari semak-semak, mungkin karnea gugup dan tidak ingin dikerubutin orang-orang. Aku cari daun untuk menutup dan menekan luka ini (ckckck...keliatan banget waktu materi P3K pas latian Pramuka di SMA ga merhatiin nih). Sudah banyak daun coba untuk nutup tapi justru makin deras. Tangan kanan dan tangan kiri, baik telapak maupun punggung tangna sudah dipenuhi darah. Dalam posisi jongkok, darah segar itu menetes lancar ke sepatu Spe*cs merahku. Mulai teringatlah dengan berbagai dosa-dosaku selama ini, apakah masih sempat aku bertaubat?
Tiba-tiba terdengar suara, "de, kamu kenapa?". Sedikit menoleh, ternyata ada seorang bapak sedang memperhatikan saya. Tanpa basa-basi beliau langsung membawa saya ke parkiran Museum Ronggowarsito tempat dia memarkir mobilnya (ketika pulang nantinya, saya baru tahu kalau dia guru SMK N 1 Kendal yang berdomisili di Semarang, tiap hari dia parkir mobil di museum itu dan ke Kendal PP dengan bus).
Entah ini kocak atau kek mana, dia pertama kali membawaku ke RSAI (bukan RS Al Islam, tapi RS Anak Ibu). Mungkin beliau mengira ada layanan jahit di situ, ternyata tidak ada. Alhasil dia pun melarikanku, eh salah, dia memobilkanku ke RSU Karyadi (aku pertama kali melihat RSU Karyadi ketika sedang perjalanan observasi jaringan internet bandara, ada feeling sih bakal ke sana, ternyata dalam wujud seperti ini). Di sana, dengan kecakapan tinggi aku langsung ditanyai, siap abcdef (aku lupa apa namanya, pokoknya hampir kayak operasi penjahitan darurat), well, sebuah pilihan yang sebenarnya hanya butuh formalitas jawaban ya akrena tidak ada alternatif lain.heeheee
Sebuah kain dengan satu lubang diletakan di atas kepalaku. Mataku terhalangi kain itu dan lubang itu diperuntukkan bagi luka ini yang hendak dijahit. Suara dokter laki-laki yang agak muda brecakap dengan rekannya membicara teknis yang sangat tidak aku mengerti aku yakini itu yang terbaik. Pasca suntikan pembius, dia segera melakukan proses penjahitan. Terasa ada rembesan darah melintasi leher ini. eugh...hanya bisa diam diri ini. Dan proses penjahitan ini memang persis seperti menjahit kain dengan tangan, bukan dengan mesin, artinya ada proses pengencangan benang yang ampe narik-narik kain (nah kalo ini ya kepala saya). bersyukur sekali dengan adanya obat bius lokal itu, mungkin kalau tidak ada bisa teriak sekian GigaHertz saya :(
Ketika hampir selesai, dokter itu bilang agar saya harus rileks. Beliau juga menanyakan identitas saya. Saya pun bercerita bahwa saya mahasiswa lugu dan pendiam yang berasal dari IT Telkom yang sedang KP di Semarang. Ternyata beliau terhitung masih muda dan berasal dari Kota Tegal, wewww alumni SMA N 1 Tegal. Wha...sempit kali dunia ini, ternyata lagi dia kenal kang Deny Akbar (ex-Ketua SKI yang memang alumni SMA 1 Tegal), makin sempit sekali dunia ini.
Akhirnya selesai juga proses penjahitan yang konon mencapai 5 cm, 5 jahitan, tiap jahitan setengah cm. Beuh... Bapak tadi pun dengan baik hatinya mengantarkan saya ke kosan di Kalibanteng. Sungguh hari yang berat dan melelahkan. Padahal pada 14 siang saya baru saja potong rambut, tapi musti dikroak lagi saat operasi tadi. Tapi cobaan selesai bung, abang-abang kosan saya di Kalibanteng terus-terusan ngeledek saya.
Well, waktu berjalan, jahitan bisa dicabut namun masih ada bekas yang ternyata luka itu persis di daerah perbatasan antara dahi/kening yang berambut dengan yang tidak. Alhasil jika ada rekan-rekan yang teliti pasti akan menemukan bahwa ada ketidaksemetrisan rambut saya. Dan itulah hidup
Sebuah Luka dari Semarang
Kamis, Agustus 16, 2012 by
ve
Posted in
Jalan-Jalan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Sebuah Luka dari Semarang"
Posting Komentar