Visual atau audio? Pertanyaan yang agak sulit dijawab kalau ditanya cenderung yang mana kecerdasan saya. Kenapa sulit?
Saya bukan orang yang cerdas-cerdas amat. Sewaktu kelas X IQ sekitar 100, saat kelas XI sempat mencapai angka 140, sebuah fenomena yang masih kurang saya percayai hingga saat ini. Bahkan IPK saya saat S1 lalu hanya tiga koma lebih sedikittt banget, bukannya nggak bersyukur tapi memang saya bukan orang yang memiliki bakat intelejensia di atas rata-rata. Selain itu kalau dituduh cerdas secara visual maka saya jadi inget bahwa menggambar adalah sebuah mata pelajaran yang identik dengan angka 60 karena hampir di setiap tugas menggambar, sejak SD hingga SMP selalu meraih nilai itu. Saat SMA nilainya agak jadi 75 karena memang standar minimum kelulusannya jadi 75 hahaa. Pokoknya saya kalau nggambar, khususnya memainkan paduan pulas dna pensil sangat payah. 11 12 dengan kemampuan saya mengolah audio diri ini. Seni meusik adalah momok saya sejak SD walaupun secara kenyataan saya sangat menggemari musik, lebih khusus karakter vokal Katon KLa, Armand Gigi, Hyde L'arc en Ciel, hingga Ari Lasso dan Pasha Ungu. Tapi urusan menapaktialsi cadasnya suara mereka, walah jauh api dari panggang.
Sempat saya cenderung memiliki kecerdasan audio yang agak lebih karena kerap belajar sambil mendengarkan musik. Selain itu di ekskul Pramuka dan KIR, saya banyak melakukan diskusi personal sehingga dituntut segera mengolah informasi yang masuk melalui telinga alias format audio untuk ditindaklanjuti. Khusus KIR, segala penumpahan ide justru dilakukan di dalam format tulisan rapi dengan balutan ejaan yang (entah kenapa terus?) disempurnakan. Bagaimana dengan kecerdasan visual? Menggambar grafik sering salah, menafsirkan gambar ilustrasi di soal fisika dan biologi juga sering salah, mmmm, maklum aktivis remidi :) Bahkan di kelas XII, tugas Gambar Teknik membuat saya puyeng tak karuan. Ide ada namun implementasi melempem wkwkwk. Itu juga alasan saya tidak jadi melanjutkan pendaftaran online di sebuah jurusan teknik bangunan yang bakal sering ngegambar.
Namun kondisi justru berbeda saat saya kuliah S1. Karakter introvert saya mencapai klimaksnya. Jauh dari lingkungan keluarga serta teman-teman yang selama ini kerap asyik diajak suka dan duka. Boleh jadi di situ karakter kecerdasan audio saya mengalami penurunan. Walau demikian kesensitivan saya atas apa yang diutarakan orang masih kuat hahaa. Sebaliknya di S1, banyak kondisi yang menuntuk saya berpikir secara runut dan fokus sehingga perlu mempersiapkan ide secara matang melalui mind-map yang digambarkan secara visual. Begitu pula konten perkuliahan yang sarat dengan gambar-gambar penuh nilai filosofi, mulai dari Entity Relationship Diagram, Context Diagram, Use Case beserta komplotan UML-nya, Gannt Chart, hingga ranah-ranah implementatif macam TOGAF, Zachman dll. Sehingga kebiasaan menggambar yang sifatnya mengedepankan esensial, bukan artistik, mulai terbangun.
Bagaimana dengan dunia kerja serta lingkungan S2? Kurang lebih ekosistemnya seperti di S1? Ya iyalah jobdesc dan jurusan masih mirip dengan disiplin ilmu di Indonesia
Dan lambat laun, tiap kali ingin mengutarakan berbagai pendapat, ide, rencana, hingga hal-hal yang konseptual maupun teknis maka kerap saya gambarkan terlebih dahulu dalam desain visual. Bagi saya sendiri, kecerdasan audio ataukah visual itu bukan hal yang tidak usah dilebih-lebihkan. Yang paling utama tentunya kecerdasan untuk saling memahami. Tentu sangat tidak relevan menolak opini orang yang berbeda karakter visual ataukah audionya. Akan lebih memang ketika kita bisa mengetahui kecenderungan yang mana pada lawan biacara ktia sehingga bisa saling memahami kreativitas yang ingin diutarakan.
Sekarang sih Cenderung Visual
Senin, September 15, 2014 by
ve
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Sekarang sih Cenderung Visual"
Posting Komentar