Sebuah kebijakan menarik dikeluarkan oleh Kementerian PAN-RB yang mulai berlaku efektif 1 Desember 2014, yaitu penyediaan makanan lokal hasil tani, misalnya singkong dengan berbagai rupa olahan. Sebagaimana dituangkan dalam Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2014, aturan ini diharapkan mampu merangsang produksi pertanian serta menyehatkan asupan nutrisi penyelenggara negara. (baca di sini).
Berbagai respon, seperti biasa, bertebaran dalam berbagai aura. Ada yang mendukung, ada yang mempertanyakan, ada pula yang acuh. Hal yang wajar sebenarnya di Indonesia dengan berbagai pro-kontra tersebut. Tapi seperti biasa, agak malas saya mengulas tanggapan yang sifatnya politif, tahu maksud saya kan hehee...
Jika dikaitkan dengan tujuan berupa meningkatkan produksi pertanian (dan tentunya kesejahteraan petani), maka agak naif jika kita melakukan protes di sana di sini jika kita tidak punya data. Data yang dimaksud di sini adalah seberapa besar anggaran penyelenggaraan negara untuk konsumsi yang akan diserap oleh petani. Jika jumlahnya memang kecil maka patut dipertanyakan bagaimana cara menjadikan anggaran tersebut bisa benar-benar merangsang produksi pertanian. Jika jumlahnya memang besar, maka tunggulah sekian waktu sampai dengan rencana tersebut berjalan, jangan berharap "delta" yang singkat. Lha kalau nggak punya datanya? Perbanyaklah membaca dan mendengar namun kurangi berbicara jika tak ada datanya...
Jika dikaitkan dengan penyehatan asupan nutrisi maka sekali lagi perlu dilakukan analisis kuantitatif untuk menilai apakah memang singkong memberikan nutrisi yang lebih baik. Berikut contoh informasi nilai gizi dari sebuah produk yang beredar di pasaran.
Jika sudah tahu apakah nutrisi singkong (tentunya yang telah diolah dengan berbagai rupa) berapa, bandingkan pula dengan kebutuhan nutrisi manusia-manusia yang menjadi penyelenggara negara. Barulah kita bisa menjustifikasi apakah akan terjadi malgizi atau tidak.
Di luar dua tujuan itu sendiri, masih banyak hal yang perlu diulas berkaitan pengadaan makanan khas Indonesia bagi penyelenggara negara, salah satunya adalah rantai pasok. Perlu disadari bahwa proses produksi pertanian (termasuk perkebunan) di Jakarta (lokasi kantor-kantor penyelenggara negara) sangat minim Alhasil bahan pangan hasil produksi pertanian di Jakarta banyak disuplai dari daerah sekitar Jakarta. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap kualitas produk serta harga. Dengan demikian, peluang terjadi korupsi patut diwaspadai.
Akhir kata, eh akhir kalimat...
Beri kesempatan lebih dulu untuk membuktikan apakah benar ada dampak positif dari kebijakan tersebut atau tidak.
Jika mau berpendapat, sertai dengan fakta :)
No Response to "Sing Sing Kong... o_O Sing Sing Kong... "
Posting Komentar