Desain visual merupakan menjadi hal yang saya gemari perlahan-lahan sejak SMA. Dimulai iseng-iseng bikin kompilasi dokumentasi GaNas hingga akhirnya terus dan terus ada berbagai kesempatan mendesain, terutama di beberapa kepanitiaan dan organisasi. Berhubung saya tidak pernah menjadikan desain buatan saya sebagai kegiatan yang dibayar, maka saya sangat pantas dilabeli amatir (lawan kata profesional, masa iya antonimnya antifesional, garing banget lah). Kondisi yang membuat saya nyaman karena terbiasa menikmati suasana yang tidak diwarnai arus komersialisasi.
Arus komersialisasi sendiri yang melibatkan kawan saya yang menjadi desainer profesional memang tidak mudah. Daya tawar si desainer tentu bergantung struktur. Bagi desainer yang sudah punya nama sekaligus portofolio mentereng, jelas apa yang dibuat olehnya akan dinilai sebagai inovasi secara subjektif oleh client. Tapi bagi yang masih seumur jagung ataupun berada di perusahaan medioker, wah ujung-ujungnya adalah "tunduk" pada perintah klien. Apakah salah? Di satu sisi tidak karena memang dibayar untuk mengkonkretkan ide klien ke dalam bentuk grafis. Namun di sisi lain, jelas berpotensi menghambat kreativitas desainer. Terlebih membatasi ruang gerak desainer yang hendak mengenalkan konsep desain baru kepada lngkungan yang belum mengenalnya. Shock culture yang ujung-ujungnya adalah cibiran selera jelek dari klien.
"Desainer yang bagus adalah desain yang dipakai", itu adalah kutipan terbaik dari kawan saya yang menjadi desainer di berbagai kantor. Dan ya memang betul, walaupun ada social media untuk upload karya yang tidak pernah menembus hati klien, ataupun membuat showcase alias pameran tersendiri, tetap saja statusnya adalah desain yang kalah bersaing. Di mata industri, ketidakdipakaiannya desain sudah cukup menjadi bahasa halus dari desain yang jelek.
Curhatan Desainer Amatir #eh
Minggu, Februari 08, 2015 by
ve
Posted in
Desain
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Curhatan Desainer Amatir #eh"
Posting Komentar