Era 1990-an hingga awal 2000-an kita kerap mengenal istilah public figure alias tokoh publik=. Istilah ini ditujukan kepada orang-orang yang memiiki popularitas tinggi dibandingkan orang pada umumnya. Kelebihan ini terletak pada jabatan di masyarakat, ilmu yang dimiliki, serta profesi sebagai seniman. Sebut saja KLa Project yang dikenal karena produk mereka di industri musik, KH Zainuddin MZ yang memilikikapabilitas sebagai ulama, BJ Habibie yang sukses sebagai ilmuwan di tanah Jerman, hingga berbagai pejabat. Kepopuleran mereka dipengaruhi oleh arus informasi yang masih bersifat oligopoli. Stasiun televisi terbatas, koran dan radio pun masih terhitung industri yang biayanya mahal. Internet? Jangan tanyakan itu Gaes...
TIK berkembang (termasuk termasuk berkembang biak dengan menyusupi berbaai ilmu lain untuk penerapannuya). Termasuk juga di dalam hal arus dan media informasi yang semakin luas.Internet, setidaknya untuk Pulau Jawa, sudah lumayan baik. Televisi? Industri saat ini mendorong berbagai kreativitas yang berorientasi pada selera konsumen, salah satunya dengan ajang pencarian bakat. Radio memang sudah mulai ditinggal pendengarnya, namun muncul media informasi baru yang lebih mencandukan pemiliknya, yaitu social media. Semua orang yang memiliki akun bisa menulsi apa saja (tentunay yang tidak bertentangan dengan peraturan yang dibuat administrator. Sistem pertemanan, baik di Twitter, Facebbok, Path, Google+, LinkedIn dll mejadikan apa yang kita tulis cepat menyebar. Dulu jika ingin tulisan kita dibaca orang banyak maka harus mengirimkannya ke redaktur surat kabar dengan seleksi yang ketat dan entah kapan terbitnya. Sekarang? Tinggal ambil HP, lalu tulis opinimu sembari menantikan berap alike yang muncul dinotifikasi. Alhasil berbagai perilaku individu maupun kelompok kecil di dalam masyarakat melahirkan public figure baru.
Sisi baiknya memang banyak, berbagai informasi positif mudah kita dapatkan. Bahkan berbagai perilaku yang dianggap jelek oleh masyarakat harus rela "didamprat" di social media. Tapi bukan cuma sisi baik yang muncul. Sisi negatif juga bergentayangan. Antara lain keamanan informasi.
Saat ruang lingkup public figure masih dikuasai segelintir orang, maka hanya mereka sajalah sasaran kejahatan yang memanfaatkan celah keamanan. Skandal kebocoran rekening, email menyantap artis, pejabat, hingga ilmuwan. Tapi sekarang, mau orang yang tidak punya jabatan, tidak menjadi ilmuwan, dan bukan pula artis, bisa menjadi korban ketidakamanan informasi. Pembobolan akun social media sudah jadi barang lumrah. Ya, semua orang sudah menjadi public figure. Data penduduk, apapun profesi dan berapapun penghasilannya sangat berharga untuk diperjualbelikan. Tawaran MLM, kartu kredit, dan segala modus bisnis, termasuk pula kriminalitas, jelas menjadi indikasi adanya penyebaran informasi yang tidak tepat.
OK, pada akhirnya kita sepakat bahwa jika dahulu mencari profil seseorang sangat sulit, namun saat ini (saat dimana mengekspos identitas merupakan hal yang wajar) segala profil seorang masyarakat biasa akan sangat mudah ditemukan. Ketika Saudara sudah memutuskan diri untuk mempergunakan layanan di internet dengan sistem akun, entah itu email, social media, hingga blog, maka Saudara sudah menyatakan diri untuk bersedia menjadi public figure. Maka, jangan hanya berpikir untuk seoptimal mungkin narcis, tapi kendalikan informasi profil Saudara secara cermat. Jika tidak, yaaa #ahsudahlah
Everyone's Public Figure
Sabtu, Februari 14, 2015 by
ve
Posted in
Riset
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 Response to "Everyone's Public Figure"
Nice info gan! Tapi kalau bisa ditambah gambar gan, biar makin mantap tulisannya. Thanks gan ^^
Posting Komentar