Sebuah film bioskop yang tidak terlalu populer dan gelegar publikasi. Itu adalah persepsi awal ketika menyaksikan posternya. Ya memang saya akui bahwa ketertarikan saya menonton film ini lebih disebabkan daya tarik suasana khas pedesaan, serta kesederhana masyarakatnya. namanya juga orang yang lagi nggak betah dengan suasana metropolitan, ya tentu tertariklah. Berbekal waktu luang menjelang masuk kuliah, maka pada Selasa (3/2) lalu, saya tuntaskan kepenasaranan itu.
Di film ini banyak dijumpai karakter-karakter lugu yang tidak dikupas secara mendalam. Jangankan kedalaman karakter, baik buruknya karakter seseorang pun agak samar. Agaknya suasana desa yang alami justru memaparkan bahwa tidak ada antagonis sejati (kecuali sosok penjahat di hutan) maupun protagonis yang masih diiringi kelemahan. Bagi yang doyan kisan heroik dibumbui efek visal yang mencengangkan, film ini tidak saya sarankan. Namun bagi yang haus inspirasi, film ini patut ditonton.
Kisah di film ini agak unik dimana terdapat dua alur cerita, yaitu persahabatan 5 bocah cilik di Gunung Kidul, DI Yogyakarta, serta sebuah pondok di kawasan yang sama. Keduanya berjalan secara paralel hingga suatu momen mulailah terjadi peleburan alur. 5 bocah cilik ini sendiri lebih mengulas sosok Sabar, anak SD yang diasuh sendirian oleh neneknya. Dia hanya bisa bersekolah tanpa bisa mengenyam pendidikan agama di sebuah pondok yang dipimpin oleh Kyai Landung. Keempat kawannya tak pernah lelah mengajak Sabar walau dilarang oleh neneknya, Mbah Satir lantaran tidak ada lagi yang bisa membantunya menggembala kambing. Sementara itu, di pondok tersebut berbagai kegiatan pengembangan minat dan bakat digelar untuk mengasah ketrampilan para santri yang ada di situ. Tanpa diduga sosok orang gila yang terlantar akhirnya dirawat sekaligus diajarkan ilmu agama oleh Kyai Landung dan asistennya Gus Pras.
Seperti biasa, yang akan lebih saya ulas adalah:
- Fenomena pendidikan formal yang masih belum memenuhi kebutuhan, terutama di daerah pedesaan
- Sosok Mbah Satir yang walau melarang Sabar ikut pengajian, namun alasannya sangat manusiawi, jadi janganlah mudah berburuk sangka terhadap kebijakan orang tua. Di sisi lain, Kyai Landung dengan penuh antusias justru menilik langsung ke rumah Mbah Satir untuk meminta klarifikasi sekaligus izin agar Sabar diperkenankan mengikuti pengajian. Hikmahnya? Apabila memperoleh informasi, jangna main vonis seenaknya, klarifikasikan kebenarannya dan tawarkan solusi yang konkret.
- Memang betul pendidikan agama sangat penting, namun hendaknya kita membekali pelajar dengna berbagai ketrampilan agar sehat juga intelektualnya.
- Adegan paling trenyuh adalah saat ayah Wahyu (sekaligus ayahnya Rahayu) menghadapi Mbah Satir yang kebingungan mencari Sabar sekaligus limpung karena tidak ada stok minyak. Ayah Wahyu kemudian memberikan stok minyaknya kepada Mbah Satir. Perilaku yang sangat dermawan walau dalam berkecukupan.
- Ajakan Kyai Landung untuk merawat tanah air saat pidato ultah pondok sekaligus pesan untuk "gunakan tanganmu untuk merangkul, bukan untuk memukul", aisshhh syahdu banget tata bahasa beliau
No Response to "Review Penjuru 5 Santri"
Posting Komentar