Sabtu pagi lalu berita di sejumlah kanal televisi keranjingan dua topik, yaitu semakin bobroknya penanganan vaksin palsu serta kudeta yang terjadi di negara turki. Topik pertama akan saya ulas di lain artikel, sekarang fokus di kasus kudeta yang secara resmi dinyatakan gagal oleh petahana pemerintahan. Sepintas apa yang terjadi ini bahka mampu menutupi dampak kasus teror truk yang terjadi di kota Nice, Prancis, sehari sebelumnya.
Menarik membahas Turki karena mereka merupakan suksesor dari kesultanan Ottoman, salah satu kontestan yang gagal mendulang kemenangan saat Perang Dunia I dan harus bangkrut oleh sebuah kudeta dimana bentuk negara menjadi republik, sifat negara menjadi sekuler, serta budaya lebih pro-Eropa sebagaimana kita lihat saat ini. Turki merupakan sebuah daerah secara geogafis sangat strategisdengan berbagai potensi politik-geografis yang tersingkap belakangan ini. turki secara jarak tidak terlalu jauh dari negara bernama Suriah, Lebanon, Iraq, Iran, Palestina, hingga Israel, termasuk juga Ukraina. Negara-negara tersebut dalam beberapa tahun terakhir marak didaulat sebagai pengisi berita luar negeri dengan kasus yang sama yaitu politik, baik dalam konteks perebutan kekuasaan, kehancuran ekonomi, pangan, sosial, termasuk kejahatan kemanusiaan. Singkat cerita, kepada siapa Turki berpihak akan mempengaruhi peta politik regional di kawasan Arab. Ya, memang Turki tengah melamar menjadi anggota Uni Eropa plus mereka juga rutin mengikuti UEFA Champions League dan EURO, tapi secara histori dan kultur, mereka masih terikat dengan Asia, khususnya Timur Tengah.
Kembali ke topik, Turki merupakan negara yang strategis dan potensi untuk dirangkul oleh berbagai kepentingan asing jika ingin terlibat dalam catur perpolitikan di Timur Tengah. Masalahnya bagi negara asing, dalam hal ini diwakili oleh Amerika Serikat dan Rusia, pemerintah Turki yang diwujudkan dalam pemerintah petahana Presiden Erdogan bersikap sangat dingin dan keras terhadap duo negara tadi. Dalam konteks geografis-politik ini, saya teringat apa yang terjadi pada Indonesia pada awal dekade 1960-an. Turki di dekade 2010-an memiliki sikap politik yang 'berisik' sebagaimana Indonesia saat itu. Bagaimana tidak, Indonesia yang notabene masih ABG dengan usia belasan tahun sudah berani menggelar Konferensi Asia-Afrika, Gerakan Non-Blok, hingga GANEFO plus keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dan kita tahu bahwa apa yang terjadi dengan peristiwa G-30-S/PKI ini tidak lepas dari aroma perebutan hegemoni eksternal antara komunisnya Uni Sovyet, sekarang Rusia, versus liberalnya Amerika Serikat. Jangan lupa letak Indonesia saat itu sangat penting mengingat negara-negara ASEAN merupakan kantung massa pengaruh komunis maupun liberalis. Apakah memang ada indikasi dorongan eksternal pada kasus kudeta di Turki, bisa saja.
Apa yang terjadi di Turki juga agak memaksa akal kita untuk bernostalgia dengan Arab Spring yang terjadi di awal dekade 2010-an. Rentetan gejolak sosial-ekonomi-politik tersebut berlangsung di Mesir, Suriah, Tunisia, Yaman, Libya, sampai dengan beberapa protes minor di sejumlah negara Arab lain. Persamaan erat antara negara-negara 'korban' Arab Spring dengan kudeta yang gagal di Turki tersebut adalah peran militer. Perbedaannya ada dua, yang pertama adalah keberhasila petahana untuk menepis kudeta. Perbedaan kedua adalah sikap pro masyarakat/rakyat terhadap petahana. Sikap pro masyarakat ini tidak lepas dari cerita pahit negara-negara 'korban' Arab Spring yang menyebabkan trauma dan fobia terhadap hal-hal yang mengarah pada pemakzulan alias kudeta. Alhasil muncul suara-suara bahwa kegagalan kudeta bukan disebabkan loyalitas terhadap petahana, melainkan cinta tanah air dalam wujud kekhawatiran jatuhnya negara Turki. Namun sulit menampik isu bahwa jika kudeta ini sukses, bisa jadi rentetan revolusi bakal kembali bergejolak di tanah Arab. Apa yang terjadi pada Mesir, Libya, dkk-nya tentu bukan tanpa benang merah dan bukannya bersih dari indikasi skenario asing.
Lantas bagaimana dengan teori bahwa kudeta tersebut justru direncanakan oleh pemerintah petahana? Teori ini mengemuka lantaran proses penumpasan yang relatif cepat. Hal ini didukung dengan proses 'pemungutan' sosok-sosok yang dianggap terlibat kudeta tersebut. Walau demikian, bisa jadi ada faktor kemampuan badan intelejen Turki dalam mengendus aroma kudeta jauh-jauh hari. Teori ini tak hanya menimpa Turki, justru negara Indonesia pun pernah diduga hal serupa, walau sosok petahana yang dimaksud bisa mengacu ke presiden petahana, Pak Soekarno, bisa juga bakal calon presiden petahana, yaitu Pak Soeharto. Semua dimungkinkan.
Selanjutnya, Turki bakal sibuk dengan berbagai upaya penyidikan detail. Yang pasti, tidak akan ada skenario detail 100 persen dipaparkan kepada masyarakat, apalagi yang terkait konspirasi internasional maupun terkait nama personal. Kita akan cukup disuguhi skenario yang sifatnya lebih aman untuk dikonsumsi sembari menerka-terka ada apa sebenarnya dan terlepas dari apa yang dipaparkan, harusnya kita bisa memetik pelajaran atas peristiwa yang menimpa Turki.
Pemakzulan tak Sampai ataukah Arab Spring jiid II
Senin, Juli 18, 2016 by
ve
Posted in
Negeri
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Pemakzulan tak Sampai ataukah Arab Spring jiid II"
Posting Komentar