Pesan berantai 'non-formal' yang dikirimkan oleh Menteri Sekretariat Negara beberapa hari lalu menjadi bukti saheh akan adanya resuffle di jajaran Kabinet Kerja. Bahkan dalam wawancara eksklusif dengan salah satu televisi swasta pun, Presiden Joko Widodo tampak sulit meyembunyikan isyarat akan adanya proses perubahan tersebut. Resuffle merupakan bentuk nyata dari hak prerogatif presiden dalam menentukan siapa-siapa yang menjadi menteri dan juga kepala badan. Di balik faktor kesenyawaan antara presiden-wakil presiden dengan para menteri/kepala badan, ada punya isu politis yang kerap mewarnai agenda resuffle. Sulit untuk membantahnya dan lebih sulit membendung opini yang berkembang dan disuarakan oleh masyarakat. Saat keran hak bicara semakin dibuka, maka pro-kontra jelas mengalir makin deras.
Jawaban diplomatis sudah diungkapkan presiden, yaitu faktor performa. Tapi sulit disanggah bahwa subjektivitas akan terus mewarnai hajatan bernama resuffle. Benarkah performa kabinet ini ke depannya akan lebih baik pasca-resuffle? Hmm, sulit untuk menyimpulkan demikian di awal. Beberapa nama yang baru, yang digeser, yang dicopot, bahkan yang dipertahankan memang memancing isu kurang sedap. Isu yang berhembus, beberapa nama memang sengaja dipagari karena faktor loyalitas terhadap sosok presiden dan wakil presiden saat ini. Ada pula yang memiliki status 'tidak tersentuh' lantaran latar belakang politis saat pemilihan presiden tahun 2014 lalu.
Menilik latar belakang beberapa nama yang menjadi wajah baru Kabinet Kerja ini, saya menaruh optimisme karena sebagian adalah praktisi yang non-partai. Pertanda adanya sikap objektif presiden dalam memilih para menteri/kepala badan? Saya tidak yakin 100 persen. Tapi saya menaruh harapan agar mereka belajar politik agar bisa menjalan kebijakan yang pro-rakyat tanpa direcoki kepentingan partai yang 'bukan rahasia' lagi sangat ugal-ugalan. Mereka juga perlu belajar manajemen isu di hadapan media karena bukan rahasia bahwa ada menteri yang memiliki kinerja bagus tapi bahasanya di hadapan media terlalu lugu sehingga dirinya kerap dikambinghitamkan atas segala masalah berbau konektivitas di negeri ini.
Yang menarik dari daftar nama yang menghuni proses resuffle ini memang didominasi oleh menteri dengan area kerja di bidang perekonomian. Barangkali ini dikarenakan kegagalan percepatan ekonomi Indonesia. Jika kita menggabungkan antara resuffle 1 dan 2, jelas tampak bahwa kursi menteri yang berurusan dengan keuangan menyandang status keramat. Mari kita tengok daftar kementeriannya di bawah Kementerian Koordinator Perekonomian yang berjumlah 8. Sudah 4 kementerian berganti pucuk pimpinan, yaitu Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian ATR/BPN. Jika ditambah Kementerian Koordinator Perekonomian, nama total ada 5. Sudah cukup menegaskan bagaimana ekspektasi yang sangat tinggi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bukan tidak mungkin kementerian-kementerian tersebut bakal berganti pucuk pimpinan di resuffle mendatang. Dan 4 kementerian yang masih 'steril', yaitu Kementerian Tenga Kerja, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian LHK, serta Kementerian BUMN, bakal menjadi korban berikutnya.
Fakta unik yang terpapar pasca-resuffle ini
- Kementerian Koordinator Bidang Pembangungan Manusia dan Kebudayaan menjadi satu-satunya kementerian koordinator yang masih 'steril'
- Kementerian Keuangan dan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan bakal ditukangi 'wajah lama bersemi kembali', yaitu Sri Mulyani dan Wiranto
- ada lagi kah?
No Response to "Resuffle, lalu ..."
Posting Komentar