Keran pemain asing dan naturalisasi sudah menjadi 'kelumrahan' di industri sepak bola tanah air. Fenomena pertama melanda Indonesia sejak era 1990-an dimana keberadaan pemain asing menjadi modal berharga untuk menggaet prestasi, walau tidak semua pemain asing 'berumur' panjang. Tercatat banyak nama yang akan dikenang dalam jangka waktu yang panjang atas dedikasinya di kancah sepak bola tanah air. Mulai dari Jacksen F. Tiago di Persebaya [yang malah sekarang menjadi pelatih], Luciano Leandro di PSM dan Persija, Kosin Shintawechai di Persib, Aldo Baretto di Bontang FC, Edward Wilson di Semen Padang, Keith Kayamba Gumbs di Sriwijaya FC, Yoo Jae Hoon di Persipura, Zah Rahan Krangar di Persekabpas, Sriwijaya FC, dan Persipura, duo Noh Alam Shah dan Muhammad Ridhuan di Arema Indonesia, Makan Konate di Persib, dan tentunya trio Cristian Gonzales, Danilo Fernando, dan Ronald Fagundez di Persik, khusus Gonzales juga di Arema. Sebagian dari mereka berhasil membuat klubnya merengkuh trofi, ada pula yang mencaplok gelar pribadi, dan ada pula yang penampilannya gemilang walau nir-gelar. Diantara nama tadi terselip satu nama yang di tahun 2010 berpindah kewarganegaraan menjadi Indonesia. Diantara sosok-sosok tadi pun, ada nama yang tercatat masih aktif berbakti di klubnya. Nama ini juga secara statistik menjadi tonggak keberhasilan program naturalisasi yang sebetulnya jarang sukses. Lantaran Stefano Lilipaly belum bisa mengatrol medali emas, maka status pemain 'ini' selaku pemain naturalisasi tersukses pun belum bisa disanggah. Sebagai catatan, dirinya bukan pemain naturalisasi tipe 'tahu bulat' alias 'dadakan'. Dia sudah berkiprah sekian musim berbalut PSM, Persik, dan Persib.
Dia adalah Cristian Gonzales alias Mustafa Habibi. Naturalisasi menamatkan statusnya sebagai pemain asing dari Uruguay, tapi mengawali lembatan baru sebagai bomber tajam milik Timnas Indonesia. Jika saja tidak ada insiden 'neraka 3 gol dalam 10 menit' di Bukit Jalil, tentu Indonesia adalah juara AFF 2010. Turnamen menjadi satu-satunya kiprah Gonzales sebagai punggawa Garuda di luar laga persahabatan dan kualifikasi Piala Asia dan kualifikasi Piala Dunia. Jangan lupa bahwa kala itu, Gonzales tengah meredup kariernya di level klub plus pro-kontra pelatih meminggirkan Bepe yang lebih punya histori selaku bomber Garuda nyaris satu dekade. Tapi gol demi gol Gonzales menjadi pembeda dengan sepasang gol tunggal di duo laga semifinal kontra Filipina. Saat itu, hanya dia pencetak gol Indonesia untuk level semifinal. Justru dengan moncernya Gonzales-lah, Bepe menjelma menjadi supersub lantaran status 'aman'-nya sirna dan kerap bermain dari bangku cadangan.
Selepas Piala AFF 2010, dirinya tidak lagi berjodoh dengan Timnas Indonesia, baik karena faktor dualisme kompetisi di tahun 2012 ataupun faktor usia di tahun 2016, dan kemungkinan besar 2018. Sempat dibawa di AFF 2014, ternyata dia hanya tampil sekali dan itu pun nir-gol. Keran gol Gonzales untuk Timnas Indonesia terhenti di angka 11 dari 25 penampilan. PSSI berupaya melakukan regenerasi dengan mengandalkan pemain kelahiran domestik, seperti Samsul Arif, Boaz Salossa, Ferdinand Sinaga, Lerby Eliandri, Bambang Pamungkas, Muchlis Hadi, ataupun pemain naturalisasi lainnya seperti Greg Nwokolo dan Sergio va Dijk. Kenyataannya, tidak ada ada pemain setrengginas Gonzales, kecuali Boaz dan Bambang. Yang lebih menyedihkan, nama-nama tadi di level klub pun tidak setokcer Gonzales. Boaz memang berhasil membawa Persipura juara ISL 2011 dan 2013 serta ISC 2016, Ferdinand memang mengerek Persib juara ISL 2014 plus pemain terbaik kala itu, Bepe memang mendongkrak Pelita BR hingga semifinal di ISL 2014. Tapi kenyataannya mereka tidak secakap Gonzales dari sisi torehan gol, sosok yang sebetulnya berusia kepala empat.
Di ISC 2016 serta Piala Presiden 2017, dia kembali menyihir sepak bola tanah air. Di tengah 'kacaunya' klasmen pencetak gol ISC 2016 lantaran didominasi Alberto Goncalves, Marcel Sacramento, dan Luis Carlos Junior, dirinya tetap mampu produktif dengan sumbangsihnya golnya yang kerap menentukan hasil akhir. Sulit dibantah pula bahwa nama-nama striker yang dibawa Alfred Riedl adalah mereka yang torehan golnya kalah dari Gonzales. Jika saja Mr. Riedl tidak dicekoki kuota dua pemain per klub serta idealisme membawa pemain muda, sangat mungkin Gonzales menjadi salah satu dari starter eleven timnas. Starter/ Ya, menjadi starter dan bermain 90 menit bukan hal yang sulit bagi Gonzales walau usianya senja. Dia bukan tipe yang senang berlari tapi dia tipikal oportunis yang dikaruniai otak cemerlang dari memosisikan diri di kotak pertahanan lawan. Di Piala Presiden dia patut diganjar gelar sebagai 'biang keladi' antiklimaksnya Semen Padang. Bermodalkan 5 laga tanpa kebobolan, termasuk unggul agregat 3-0, justru dialah pencetak 5 gol yang membuat Singo Edan berjingkrak menuju final. Di final, dia 'mencocor'-kan hattrik alias tiga gol untuk membawa pulang trofi juara sekaligus top scorer Piala Presiden. Gelar individu yang rasanya 'menyindir' kebijakan PSSI dalam menerapkan kuota pemain di atas 35 tahun plus kuota sekian pemain muda di tiap klub. Dua aturan tersebut bakal diproyeksikan di Liga Indonesia tahun 2017 ini. Aturan yang ternyata tidak menghambat dirinya menjadi predator 'terrakus' di turnamen lalu. Predator yang masih bertahan lantaran sikap profesional sebagai atlet serta sikap Arema yang berani memberi dia kepercayaan 'lebih' di usia yang 'berlebih'.
Niat PSSI sebetulnya bagus, yaitu mendorong klub menyediakan jam terbang lebih bayak bagi pemain muda. Tapi aturan kuota pemain muda rasanya sudah cukup, tidak perlu pembatasan pemain 'mendekati uzur'. Kenyataannya sosok seperti Gonzales masih lestari dan menari-nari. Kenyataannya Arema juga bisa menyuguhkan pemain muda berkualitas seperti Hanif, Ryuji Utomo, dan Adam Alis. Kenyataannya, belum ada predator yang lebih mengerikan dari Gonzales saat ini. Kalau saja Luis Milla berani 'bertaruh' untuk menyisakan satu nomor punggung untuk Gonzales di gelaran AFF 2018 nanti, bukan tidak mungkin ada sesuatu berbeda.
No Response to "Gol-nzales dan Ironi Predator Lokal"
Posting Komentar