Suasana makin pelik di tengah kompetisi Liga Indonesia. Kompetisi ISL/QNB League serta Liga Nusantara dihentikan entah sampai kapan. Jujur, apa yang terjadi sudah menempatkan naluri politis di atas semangat sportivitas. Dan jujur saja, baik PSSI maupun Kemenpora tidak ada yang layak dipercayai.
Awal riak adalah pemerintahan baru dengan Kemenpora yang dibebani tugas memberantas mafia-mafia di lingkungan sepak bola Indonesia. Mulia memang tugas ini. Apalagi sikap PSSI selama ini sangat represif terhadap "sapaan"pemerintah. PSSI selalu beralasan bahwa Indonesia bisa kena skorsing FIFA jika pemerintah ikut campur. Seiring berjalan waktu rencana Kemenpora "mengaudit" PSSI kandas lantaran dukungan formal pihak-pihak lain yang mengabur.
Bergulirnya berbagai kompetisi pra-musim sepintas mengindikasikan adanya ISL sebagaimana musim-musim sebelumnya. Namun mendadak petaka datang ketika konflik verifikasi klub yang dilakukan oleh BOPI. BOPI ternyata menemukan bahwa banyak klub ISL yang bermasalah dari sisi administrasi. Banyak klub yang masih menunggak gaji, pemainnya belum ber-NPWP, hingga legalitas yang masih mengambang. Satu per satu klub berupaya melunasi tagihan administrasi, khususnya kewajiban gaji musim sebelumnya. Namun hingga akhir Februari ada dua klub yang bermasalah di sisi legalitas, yaitu Arema Cronus dan Persebaya. Kebetulan dua klub ini menyimpan sejarah dualisme kepengurusan yang belum tuntas. Beruntungnya Persija, PSMS, dan PSIS tidak tertimpa kasus serupa. Dua klub itu pun tidak direkomendasikan mengikuti ISL oleh BOPI. Di sini, egoisme mulai beradu. PSSI memilih mengabaikan rekomendasi BOPI, lalu BOPI yang tampak sakit hati mengadu ke Kemenpora. Kemenpora pun agaknya terlanjur dendam atas kegagalan mengaudit PSSI di masa lalu.
Alhasil, Kemenpora menginstruksikan pemberhentian ISL, dan puncaknya membekukan PSSI. Kongres tahunan PSSI, dengan ketua baru La Nyalla M, juga tidak lepas dari tekanan klub yang menagih kepastian penyelenggaraan ISL. Kekuatan politis Kemenpora dipergunakan dengan meminta Polri tidak mengeluarkan izin laga-laga sepak bola. Tekanan makin deras dimana Liga Nusantara yang baru bergulir di Putaran 1 Babak I turut dibekukan. Piala Suratin yang diikuti klub-klub U-18 se-Indonesia juga dihentikan.
Namun di sisi lain, Kemenpora terlihat belum menyiapkan diri dalam tindak lanjut selama pembekuan. Hal ini terlihat dengan ketidakjelasan informasi tentang tujuan dasar dari pembekuan. Apakah ada upaya isu pemusnahan massal mafia sepak bola? Tidak pernah disinggung sama sekali. Pergantian mutu kompetisi? Tidak ada gambaran jelas pula.
Terus terang, bayang-bayang Liga Indonesia IV 1998 menggelayuti. Kala itu satu per satu klub Liga Indonesia "pamit" lantaran kehabisan dana, khususnya jebolan Galatama. Asy Syahab Salim Group Surabaya, BPD Jateng, hingga raksasa Galatama macam Arseto Solo dan Bandung Raya (yang dua musim sebelumnya juara Liga Indonesia II 1996).
Nah coba apakah akan terjadi kejadian serupa dengan alasan berbeda?
Adu tanduk PSSI vs Kemenpora, bagaimana dengan klub?
Minggu, April 26, 2015 by
ve
Posted in
Sepakbola
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Adu tanduk PSSI vs Kemenpora, bagaimana dengan klub?"
Posting Komentar