LDM bukan menjadi impian bagi pasutri, apalagi yang sudah berkeluarga. Oh ya, buat yang nggak tahu, LDM itu Long-Distance Marriage alias pernikahan yang jarak jauh. Ringkasnya, kondisi dimana sosok suami (ayah) berjauhan dengan istri (ibu). Ini menjadi fenomena tersendiri yang sebenarnya sudah ada dari zaman dulu sampai dengan saat ini. Sebagai bukti, dari dulu udah ada berbagai lagu yang menceritakan kekangenan lantaran jarak yang jauh, yang terbaru? Tentu saja RAN yang "Dekat di Hati" #ciee #ihirr #apaandah
Bagaimana sebenarnya LDM itu? Apakah baik ataukah tidak?
Secara pribadi, LDM akan lebih banyak risikonya dibandingkan pernikahan yang satu lokasi suami dan istrinya. Ini ditinjau dari berbagai faktor, kecuali tentunya faktor G. Karena itu, coba kita ulas terlebih dahulu faktor G.
Faktor G, jelas berkaitan erat dengan kebutuhan biaya operasional dan tabungan. Secara umum, daerah Jabodetabek menjadi incaran untuk memperoleh G yang lebih tinggi, maklum UMR di sini memang lebih menggiurkan. Belum lagi jika bicara industri ICT yang memang lebih berpusat di Jabodetabek. Lowongan menjadi programmer (sebagai contoh) jelas lebih banyak secara peluang ataupun tawaran G. Karena itulah, banyak LDM yang terjadi karena si suami berada di Jabodetabek. Ada pula LDM yang disebabkan faktor G yang justru menempatkan si suami di daerah terpencil, bahkan hingga ke luar negeri. Situasi ini biasanya dialami oleh pekerjaan seperti pelaut, koki. Kesempatan pulang pada kondisi ini biasa lebih sempit dibandingkan LDM yang suaminya berlokasi di Jabodetabek. Faktor transportasi tentu patut dijadikan alasan.
Lantas, apakah memang layak pernikahan terus menerus mengalami LDM?
Apa pula yang patut dijadikan faktor penentu dalam memilih ya tidaknya ber-LDM?
(Lagi-lagi secara pribadi) LDM bukanlah rekomendasi untuk dilestarikan oleh sepasang suami-istri, apalagi jika keduanya sudah menjadi ayah-ibu. LDM hanyalah alternatif sementara untuk menstabilkan keuangan rumah tangga. Jika ber-LDM hanya karena faktor G (bukan karena surat perintah dinas misalnya), maka alokasikan si G untuk tabungan dan sepakati kapan LDM tersebut harus diakhiri. Jika terus menerus LDM, tentu akan banyak efek kurang baik. Banyak faktor penentu dalam memilih ya tidaknya ber-LDM yang saya bagi menjadi faktor "suami" serta faktor "ayah".
Faktor "suami" di sini tentunya seputar bagaimana peran seorang laki-laki menjadi pasangan (insya Allah) seumur hidup bagi perempuan yang menjadi istrinya. Banyak kebutuhan yang lebih utama daripada sekedar materi, terutama psikologi. Apakah dengan LDM si suami bisa mempertahankan kemampuannya memenuhi perannya sebagai suami. Orang mungkin berujar "ada teknologi", tapi tetap saja (menurut perempuan) ada rasa kehilangan yang tidak bisa ditutupi.
Faktor "ayah" akan dimulai bahkan sejak mulai ada janin di rahim ibu. Bagaimana peran si (calon) ayah terhadap pertumbuhan janin sampai dengan berhasil dilahirkan oleh sosok ibu. Di sini tentu akan dimulailah berbagai kewajiban mendidik berbagai hal yang dibutuhkan anaknya. Mulai dari perhatian psikologis, pendidikan agama yang bersifat ritual, pendidikan agama yang bersifat penerapan dunia, termasuk pula mengenalkan Allah SWT.
Bagi kawan-kawan yang belum menikah, LDM bukan hal harus dialergikan, tapi coba pertimbangkan kemungkinan tersebut serta bagaimana solusinya.
Bagi kawan-kawan yang sedang menjalani LDM, semoga segera dituntaskan penantiannya. Sekali lagi saran saya tetap sama (walau subjektif), LDM hanyalah sementara.
Faktor G (versi LDM)
Rabu, Agustus 19, 2015 by
ve
Posted in
Motivasi,
TARInspiratIVE
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Faktor G (versi LDM)"
Posting Komentar