Media sosial kerap disebut sebagai sarang penyakit hati. Cpntoh nyata adalah bagaimana fitnah diumbar pada berbagai isu kenegaraan, khususnya Pilpres 2014 dan Pilkada 2019. Ti, sebetulnya ada pula bahaya lain dari media sosial yang membuat kita (aku, kamu, dia, mereka, kami, kalian) lemah, yaitu iri hati. Lho kok bisa? Sederhananya gini, media sosial sering menyuguhkan berbagai konten yang membuat kita condong kepada suatu hal yang belum/tidak kita punyai.
Yang jomblo, lihat ada kawan mengunggah foto nikahan, lalu dia iri. Yang sudah menikah, lihat kawannya gendong bayi, lalu dia iri. Yang lagi sibuk ngepel lantai di rumah, lihat ada kawan piknik ke Suriname, lalu dia iri. Yang anaknya lagi bandel susah makan, lihat anak artis tampil cantik sambil makan di restoran, lalu dia iri. Lihat ada ada diskonan barang tersier, lalu usap iler pakai tangan kanan. Lihat teman unggah foto rumah yang habis dibayar lunas, lalu usap iler pakai tangan kiri. Padahal, dunia tidak seindah media sosial.
Saya teringat taktik senior saya yang "puasa media sosial". Dia berpuasa karena harus banyak berhemat dalam merintis bisnis. Baginya, segala tayangan di media sosial kurang bernutrisi karena mengajak kita berboros ria untuk sesuatu yang nggak penting-penting amat. Saya sendiri sepakat, walau belum sampai seekstrem "puasa" itu. Yang kerap saya lakukan adalah menghindari tontonan yang menggugah nafsu iri. Saya punya cita-cita berkunjung ke 34 provinsi di Indonesia, dulu sering mantengin blog orang dan unduh video wisata domestik. Tapi dengan beberapa pertimbangan, saya memilih tidak mencicipi "hidangan" yang memicu "kelaparan".
"Kelaparan"? Hmm... Ada jenis lapar untuk urusan yang tidak perlu. Untuk beberapa hal, saya malah punya mantra ampuh, "ini bukan kelasnya saya". Misalnya ketika ada foto orang belanja busana baru, orang nginap di hotel ternama, atau makan di restoran terkemuka. Yang semacam itu saya "kuat" menahan diri.
Terus saya khawatir, paradigma kita menjadi terlalu menggampangkan diri mengejar sesuatu di media sosial. Padahal, hidup itu jauh lebih keras dibandingkan apa yang muncul di linimasa media sosial. Pun tidak semua yang ditemui di media sosial harus diikuti.
No Response to "Dunia tidak Seindah Media Sosial"
Posting Komentar