Sore kemarin (26/8) sebuah obrolan menarik di facebook berujung pada sebuah pertanyaan "untuk apa sih cinta kampus?". Cinta ya cinta... obrolan yang antara menjemukan dan menagihkan, tapi tenang saja, di artikel tidak dikupas ce-i-en-te-a dalam konteks romantika anak muda, konteks di sini adalah cinta kampus. Sebelumnya, simak beberapa studi kasus berikut
Sebut saja dia Belimbing, Belimbing hafal Mars kampusnya. Laptopnya, pintu kamar kosnya, harddisk eksternalnya ditempeli stiker berlogo kampusnya. Bahkan tiap Senin, dia berkuliah sambil mengenakan almamater kampusnya. Koleksi jaket beratribut kampus pun memenuhi gantungan baju di balik pintu kamarnya, ada himpunan X, UKM Y, Forum Komunikasi Z, dan lain-lain, tapi intinya selalu terjejali nama kampusnya. Ketika teman-teman dari kampus lain membanggakan kampus mereka, dia tanpa secuil rasa ragu membusungkan dada dan bercerita detail tentang kedigdayaan kampusnya. Di phonebook-nya (yang pulsanya masih memakai subsidi orang tua hehee)pun tersimpan nomor berbagai dosen dimana hampir tiap dosen di berbagai jurusan bahkan hampir semua satpam kampus pun dia kenal.
Sebut saja dia Bougenville, Bougenville merupakan mahasiswa yang beuhhh, punya koleksi piagam kompetisi yang luar biasa. GemasTIK, Inaicta, Apicta, ImagineCup, wahh, itu semua pernah bro. Bahkan wakil rektor pun mendorongnya mengikuti seleksi mahasiswa berprestasi. Kampus yang rutin menerbitkan majalah bulanan pun menjadi lahan bagi Bougenville untuk unjuk kebolehan, tiap bulan wajahnya tersenyum manis menghiasi majalah kampus. Bahkan video profile kampusnya pun menyertakan si Bougenville, ya.. Bougenville, si pemain monopoli kompetisi atas nama kampus memang mahasiswa idaman dosen-dosennya.
Sebut saja Manggis, Manggis sedang seubeul dengan registrasi di kampusnya. Mata kuliah pilihan yang sudah diidam-idamkannya sejak tahun pertama telah habis kuotanya. Belum reda rasa kecewanya, dia baru sadar bahwa registrasi untuk angkatannya itu jatuh di hari terakhir, artinya besar kemungkinan kuota habis itu karena telah disabet oleh junior-juniornya. Makin gerah otaknya ketika sadar bahwa juniornya bayar SPP lebih gede ketimbang dirinya. Pertama dia hanya berceloteh via twitter, kemudian rasa solidaritasnya berkecamuk hingga mencari teman senasib dan menggelorakan semangat untuk menuntut keseriusan kampus dalam mengelola registrasi. Tak lupa, kecurigaan tentang SPP-nya yang lebih murah diapungkan sebagai diagnosis penyebab dia dianaktirikan dalam proses registrasi.
Sebut saja Kedondong, Kedondong hanya ke kampus untuk kuliah, itu pun presensinya tepat di batas ambang aman untuk ikut UAS. Kedondong mengumpulkan donasi dari orang lain dan membelikan sembako bagi masyarakat miskin di sekitar kampusnya. Tak jarang dia menumbalkan jam kuliahnya untuk menjadi "kakak angkat" bagi anak-anak yang kurang mampu, dia mengajarkan perkalian, baca tulis huruf latin, bahkan origami. Tapi dia tidak pernah diakui sebagai "agen resmi" dari kampusnya.
Tiap orang punya definisi mengenai cinta, termasuk saya donk hehee. Contoh tentang berbagai "aktor" di atas pun boleh jadi dianggap oleh pembaca yang satu mempunyai rasa cinta kampus, namun yang lain tidak.
Pertama tinjaulah sebuah analogi seorang anak, misalkan Nanas, yang menginginkan sebuah sepatu berwarna putih namun oleh orang tuanya justru dibelikan sepatu warna hitam. Ketika dia gagal move on #eaa, ketika dia gagal untuk mensyukuri sepatu hitam yang dipercayakan kepadanya, maka selama dia tidak mendapatkan sepatu putih, selama itu pula sepatu warna hitam menjadi benda yang tidak berguna di mata Nanas. Gawatnya bila dia menganut berbagai aliran klenik dimana ketika dia tersandung kerikil maka disalahkanlah si sepatu hitam, dipersalahkan pula orang tuanya yang memberinya sepatu putih itu, nah dari sini terciumlah aroma kufur nikmat. Ketika si guru menerangkan tentang Entalphy system #beuhh_entalphy_system_broo, si Nanas tidak konsen lantaran asyik melamunkan sepatu putih milik temannya.
Begitulah kuliah dimana ketika seorang siswa mempunyai kampus idaman tapi nyatanya dia gagal melamar sebagai mahasiswa di kampus itu, dan justru diterima di kampus lain. Tapi sisi egois berujar kampus ini letaknya di pinggir kota (bukan desa kok), internet lemot, registrasi disalip adik kelas, kosan mahal dan berbagai anugerah dari Illahi justru diabaikan. Harus segera diputuskan apakah kampus yang tidak diidamkan itu akan menjadi kampus yang dipilih ataukah hanya sebagai batu loncatan menunggu kesempatan melamar di kampus idaman pada kesempatan lain. Ketika dua hal tersebut tidak dipilih secara tegas maka keragu-raguan dalam menyikapi berbagai problematika kuliah lebih dekat dari kulit sendiri. Ada tugas ngoding sedikit stres, ada tugas bikin paper langsung meraung-raung di toilet, gagal dapet nilai A langsung ogah makan nasi sebulan #nggaya_pisan, internet lemot keluarlah berbagai nama penghuni margasatwa, ya pokoknya berbagai prasangka buruk jadi cemilan tiap detik, wah lama-lama yang terjadi bukan orang tua bayar SPP buat kuliah tapi buat bersu'udzon, kasihan sekali orang tua jadi investor yang dikadalin anaknya sendiri.
Kampus/almamatermu saat ini, apakah itu menjadi idaman sejak awal, alternatif kesekian, ataukah benar-benar di luar benak ketika masih SMA, awalilah pilihan berkuliah dengan ikhlas.
Ketika hati ikhlas, maka hati menjadi kebal terhadap segala kinclongnya almamater teman sewaktu SMA.
Ketika hati ikhlas, maka segala wujud problema kuliah bisa disikapi dengan dingin
Ketika hati ikhlas, maka kita akan alergi untuk menyalahkan Illahi
Kedua, pastikan apa yang diharapkan dari kampus. kesannya sih matre ya, tapi serius, harus ada motif yang jelas mengenai apa yang diharapkan dari kampus tersebut.
Jangan sampai kuliahmu hanya sekedar berangkat-pulang-berangkat-pulang-uts-uas-skripsi-lulus doank. Dari situ kita akan tahu parameter yang menjadi "kacamata" kita untuk menyayangi kampus kita. Saat kita sudah mempunyai kacamata alias frame yang jadi bahan pertimbangan kita menyayangi kampus, maka kita akan tahu seberapa tulus dan konkretnya kita menyayangi kampus. Jangan-jangan kita hanya berharap gengsi kuliah di tempat itu, artinya kita telah mengasosiakikan cinta kita hanya berkutat pada konteks gengsi. Carilah motif yang mulia dan kembalikan lagi pada hakikat ikhlas di nomor 1.
Ketiga, rasa cinta akan terefleksikan berupa sikap mau dan terus berusaha mengenal dan menjadi apa yang diinginkan oleh yang dicintainya #ceilah_bahasanya
Setahu saya, tidak ada kampus yang mempunyai visi dan misi yang tercela, semuanya mempunyai visi dan misi yang (in syaa Allah) mulia. Ketika telah timbul rasa ikhlas dalam mengambil pilihan tempat berkuliah, maka berusahalah untuk mengenal dan menjadi apa yang diinginkan oleh kampus tersebut dimana hal itu termuat dalam visi dan misi sebuah perguruan tinggi. Visi dan misi pada intinya memuat proses yang berlangsung selama pendidikan dan output yang dihasilkan dari perguruan tinggi tersebut.
Ketika rasa cinta telah bersemi maka dengan pribadi akan menjadi bagian dari kesuksesan kampus tersebut dalam menggapai visi dan misinya. Hal ini bukan berarti mengebiri potensi-potensi yang telah dipunyai. Justru dari situ, kita akan menyadari bahwa potensi apa yang dimiliki oleh diri ini itu akan bermanfaat dalam wujud apa bagi kampus ini. Perguruan tinggi pun pada dasarnya merupakan solusi atas berbagai permasalahan bangsa, maka ketika mahasiswa mampu menjadi mahasiswa yang sesuai dengan visi/misi perguruan tingginya, maka dia akan tampil sebagai solusi bagi bangsanya, bukan sekedar menuh-menuhin statistik di BPS. Banyak terjadi alumni yang gagal tampil sebagai solusi dan ketika ditelisik kesadaran akan visi/misi kampusnya minim. Lebih jauh lagi akan muncul kesadaran mengenai tindakan apa yang tepat sebagai perwujudan konkret kecintaan kita terhadap kampus/almamater.
Keempat, tentukan dengan jalan konkret apa yang akan diambil untuk menentukan peran sebagai mahasiswa yang mencintai kampusnya.
Peran mahasiswa sendiri (bagi saya) untuk kampusnya ada tiga, yaitu :
Sehingga (bagi saya) terserah dengan jalan apapun asal sesuai dengan 3 hal itu, maka apapun yang mahasiswa lakukan masih dalam koridor peran positif bagi kampusnya.
Kelima, lakukan yang spesial selama berkuliah. Pernahkah kalian jalan-jalna ke Yogyakarta, sebuah tempat yang katanya istimewa, "istimewa"-nya Yogya tentu hanya berlaku bagi yang punya kegiatan yang berkesan di Yogya. Jelas mustahil orang yang hanya numpang tidur (dan hanya nebeng tidur) bisa merasakan istimewanya Yogya. Jalan-jalan ke Malioboro, menyusuri Parangtritis, mengamati eloknya Prambanan, hingga jalan-jalan hingga lereng Gunung Merapi tentu bakal jadi pengalaman yang spesial karena di Yogya kita melakukan aktivitas yang menjadi "interaksi" kita sehingga tanpa disadari ada "koneksi" antara aktivitas tersebut, memori kita, dan tentunya perasaan/hati kita. Apalagi bila aktivitas itu tidak semua orang bisa alami.
Ga percaya? Ini contoh lainnya nih. Salah satu alasan seorang yang hobinya mendaki gunung itu bangga dan "cinta" dengan mendaki gunung adalah karena tidak semua orang sempat, mau, dan mampu mendaki gunung. Karena itulah ketika sudah menjadi mahasiswa di suatu kampus, libatkanlah dirimu sesuai minat dan potensimu. Tentu kalian akan berpapasan dengan orang-orang inspiratif, dan pastinya berbagai kenangan yang berkesan (walau tak jarang kenangan itu didominasi kisah-kisah ngebanyol). Dan ketika itu telah didapatkan, seketika itu pula perlahan tapi pasti rasa cinta terhadap kampus akan subur. Karena itu, kebanyakan orang yang cinta almamaternya adalah yang pernah aktif di organisasi kampus ataupun meraih prestasi kompetisi.
Keenam #last_but_not_least, kampus itu pada dasarnya benda mati. Manusia-manusia yang terlibat di dalamnyalah yang menghidupkan kampus itu. OK, itu jelas. Namun pada intinya, kampus hanya sebagian dari aksesori duniawi yang tidak semua orang pernah alami. Duniawi? Ya duniawi...
Di situ akan timbul masalah ketika cinta kita terhadap kampus dibutakan oleh eksistensinya yang fana. Janganlah sampai kecintaan kita terhadap kampus menyaingi kecintaan kita terhadap Allah, Penguasa semesta yang kekal. Justru jadikan cinta terhadap kampus sebagai tambang ibadah, mulai dari keikhlasan terhadap rezeki yang diberikan kepada kita sera mengisi peran konkret kita (yang nomer 4 tadi) dengan niat ibadah. Sungguh beruntung orang yang terjaga niat tulusnya mengharap ridho Illahi ketika dia sibuk dengan berbagai agenda kampus.
Sebut saja dia Belimbing, Belimbing hafal Mars kampusnya. Laptopnya, pintu kamar kosnya, harddisk eksternalnya ditempeli stiker berlogo kampusnya. Bahkan tiap Senin, dia berkuliah sambil mengenakan almamater kampusnya. Koleksi jaket beratribut kampus pun memenuhi gantungan baju di balik pintu kamarnya, ada himpunan X, UKM Y, Forum Komunikasi Z, dan lain-lain, tapi intinya selalu terjejali nama kampusnya. Ketika teman-teman dari kampus lain membanggakan kampus mereka, dia tanpa secuil rasa ragu membusungkan dada dan bercerita detail tentang kedigdayaan kampusnya. Di phonebook-nya (yang pulsanya masih memakai subsidi orang tua hehee)pun tersimpan nomor berbagai dosen dimana hampir tiap dosen di berbagai jurusan bahkan hampir semua satpam kampus pun dia kenal.
Sebut saja dia Bougenville, Bougenville merupakan mahasiswa yang beuhhh, punya koleksi piagam kompetisi yang luar biasa. GemasTIK, Inaicta, Apicta, ImagineCup, wahh, itu semua pernah bro. Bahkan wakil rektor pun mendorongnya mengikuti seleksi mahasiswa berprestasi. Kampus yang rutin menerbitkan majalah bulanan pun menjadi lahan bagi Bougenville untuk unjuk kebolehan, tiap bulan wajahnya tersenyum manis menghiasi majalah kampus. Bahkan video profile kampusnya pun menyertakan si Bougenville, ya.. Bougenville, si pemain monopoli kompetisi atas nama kampus memang mahasiswa idaman dosen-dosennya.
Sebut saja Manggis, Manggis sedang seubeul dengan registrasi di kampusnya. Mata kuliah pilihan yang sudah diidam-idamkannya sejak tahun pertama telah habis kuotanya. Belum reda rasa kecewanya, dia baru sadar bahwa registrasi untuk angkatannya itu jatuh di hari terakhir, artinya besar kemungkinan kuota habis itu karena telah disabet oleh junior-juniornya. Makin gerah otaknya ketika sadar bahwa juniornya bayar SPP lebih gede ketimbang dirinya. Pertama dia hanya berceloteh via twitter, kemudian rasa solidaritasnya berkecamuk hingga mencari teman senasib dan menggelorakan semangat untuk menuntut keseriusan kampus dalam mengelola registrasi. Tak lupa, kecurigaan tentang SPP-nya yang lebih murah diapungkan sebagai diagnosis penyebab dia dianaktirikan dalam proses registrasi.
Sebut saja Kedondong, Kedondong hanya ke kampus untuk kuliah, itu pun presensinya tepat di batas ambang aman untuk ikut UAS. Kedondong mengumpulkan donasi dari orang lain dan membelikan sembako bagi masyarakat miskin di sekitar kampusnya. Tak jarang dia menumbalkan jam kuliahnya untuk menjadi "kakak angkat" bagi anak-anak yang kurang mampu, dia mengajarkan perkalian, baca tulis huruf latin, bahkan origami. Tapi dia tidak pernah diakui sebagai "agen resmi" dari kampusnya.
Tiap orang punya definisi mengenai cinta, termasuk saya donk hehee. Contoh tentang berbagai "aktor" di atas pun boleh jadi dianggap oleh pembaca yang satu mempunyai rasa cinta kampus, namun yang lain tidak.
Bagi saya sendiri cinta kampus merupakan perasaan yang sadar dan ikhlas yang diwujudkan berupa tindakan nyata untuk menjadi bagian dari kesuksesan dalam membangun kampus.Lantas kenapa harus ada "cinta" terhadap kampus?
Pertama tinjaulah sebuah analogi seorang anak, misalkan Nanas, yang menginginkan sebuah sepatu berwarna putih namun oleh orang tuanya justru dibelikan sepatu warna hitam. Ketika dia gagal move on #eaa, ketika dia gagal untuk mensyukuri sepatu hitam yang dipercayakan kepadanya, maka selama dia tidak mendapatkan sepatu putih, selama itu pula sepatu warna hitam menjadi benda yang tidak berguna di mata Nanas. Gawatnya bila dia menganut berbagai aliran klenik dimana ketika dia tersandung kerikil maka disalahkanlah si sepatu hitam, dipersalahkan pula orang tuanya yang memberinya sepatu putih itu, nah dari sini terciumlah aroma kufur nikmat. Ketika si guru menerangkan tentang Entalphy system #beuhh_entalphy_system_broo, si Nanas tidak konsen lantaran asyik melamunkan sepatu putih milik temannya.
Begitulah kuliah dimana ketika seorang siswa mempunyai kampus idaman tapi nyatanya dia gagal melamar sebagai mahasiswa di kampus itu, dan justru diterima di kampus lain. Tapi sisi egois berujar kampus ini letaknya di pinggir kota (bukan desa kok), internet lemot, registrasi disalip adik kelas, kosan mahal dan berbagai anugerah dari Illahi justru diabaikan. Harus segera diputuskan apakah kampus yang tidak diidamkan itu akan menjadi kampus yang dipilih ataukah hanya sebagai batu loncatan menunggu kesempatan melamar di kampus idaman pada kesempatan lain. Ketika dua hal tersebut tidak dipilih secara tegas maka keragu-raguan dalam menyikapi berbagai problematika kuliah lebih dekat dari kulit sendiri. Ada tugas ngoding sedikit stres, ada tugas bikin paper langsung meraung-raung di toilet, gagal dapet nilai A langsung ogah makan nasi sebulan #nggaya_pisan, internet lemot keluarlah berbagai nama penghuni margasatwa, ya pokoknya berbagai prasangka buruk jadi cemilan tiap detik, wah lama-lama yang terjadi bukan orang tua bayar SPP buat kuliah tapi buat bersu'udzon, kasihan sekali orang tua jadi investor yang dikadalin anaknya sendiri.
Ketika hati ikhlas, maka hati menjadi kebal terhadap segala kinclongnya almamater teman sewaktu SMA.
Ketika hati ikhlas, maka segala wujud problema kuliah bisa disikapi dengan dingin
Ketika hati ikhlas, maka kita akan alergi untuk menyalahkan Illahi
Kedua, pastikan apa yang diharapkan dari kampus. kesannya sih matre ya, tapi serius, harus ada motif yang jelas mengenai apa yang diharapkan dari kampus tersebut.
Jangan sampai kuliahmu hanya sekedar berangkat-pulang-berangkat-pulang-uts-uas-skripsi-lulus doank. Dari situ kita akan tahu parameter yang menjadi "kacamata" kita untuk menyayangi kampus kita. Saat kita sudah mempunyai kacamata alias frame yang jadi bahan pertimbangan kita menyayangi kampus, maka kita akan tahu seberapa tulus dan konkretnya kita menyayangi kampus. Jangan-jangan kita hanya berharap gengsi kuliah di tempat itu, artinya kita telah mengasosiakikan cinta kita hanya berkutat pada konteks gengsi. Carilah motif yang mulia dan kembalikan lagi pada hakikat ikhlas di nomor 1.
Ketiga, rasa cinta akan terefleksikan berupa sikap mau dan terus berusaha mengenal dan menjadi apa yang diinginkan oleh yang dicintainya #ceilah_bahasanya
Setahu saya, tidak ada kampus yang mempunyai visi dan misi yang tercela, semuanya mempunyai visi dan misi yang (in syaa Allah) mulia. Ketika telah timbul rasa ikhlas dalam mengambil pilihan tempat berkuliah, maka berusahalah untuk mengenal dan menjadi apa yang diinginkan oleh kampus tersebut dimana hal itu termuat dalam visi dan misi sebuah perguruan tinggi. Visi dan misi pada intinya memuat proses yang berlangsung selama pendidikan dan output yang dihasilkan dari perguruan tinggi tersebut.
Ketika rasa cinta telah bersemi maka dengan pribadi akan menjadi bagian dari kesuksesan kampus tersebut dalam menggapai visi dan misinya. Hal ini bukan berarti mengebiri potensi-potensi yang telah dipunyai. Justru dari situ, kita akan menyadari bahwa potensi apa yang dimiliki oleh diri ini itu akan bermanfaat dalam wujud apa bagi kampus ini. Perguruan tinggi pun pada dasarnya merupakan solusi atas berbagai permasalahan bangsa, maka ketika mahasiswa mampu menjadi mahasiswa yang sesuai dengan visi/misi perguruan tingginya, maka dia akan tampil sebagai solusi bagi bangsanya, bukan sekedar menuh-menuhin statistik di BPS. Banyak terjadi alumni yang gagal tampil sebagai solusi dan ketika ditelisik kesadaran akan visi/misi kampusnya minim. Lebih jauh lagi akan muncul kesadaran mengenai tindakan apa yang tepat sebagai perwujudan konkret kecintaan kita terhadap kampus/almamater.
Keempat, tentukan dengan jalan konkret apa yang akan diambil untuk menentukan peran sebagai mahasiswa yang mencintai kampusnya.
Peran mahasiswa sendiri (bagi saya) untuk kampusnya ada tiga, yaitu :
- Peserta didik secara akademik
- Kontributor dalam perguruan tinggi
- Penjaga nama baik almamater
Sehingga (bagi saya) terserah dengan jalan apapun asal sesuai dengan 3 hal itu, maka apapun yang mahasiswa lakukan masih dalam koridor peran positif bagi kampusnya.
Ingin jadi aktivis himpunan? Boleh. Hendak jadi aktivis kerohanian? Sangat dianjurkan. Tertarik jadi periset? Bagus itu. Obsesi jadi entrepreneur kenapa tidak?Berlomba-lombalah dalam produktivitas membangun kampus sesuai perannya, namun jangan lupa umur kuliah itu dibatasi, artinya siapkanlah generasi yang lebih baik untuk membangun kampus, itu juga merupakan wujud konkret kecintaan terhadap kampus.
Kelima, lakukan yang spesial selama berkuliah. Pernahkah kalian jalan-jalna ke Yogyakarta, sebuah tempat yang katanya istimewa, "istimewa"-nya Yogya tentu hanya berlaku bagi yang punya kegiatan yang berkesan di Yogya. Jelas mustahil orang yang hanya numpang tidur (dan hanya nebeng tidur) bisa merasakan istimewanya Yogya. Jalan-jalan ke Malioboro, menyusuri Parangtritis, mengamati eloknya Prambanan, hingga jalan-jalan hingga lereng Gunung Merapi tentu bakal jadi pengalaman yang spesial karena di Yogya kita melakukan aktivitas yang menjadi "interaksi" kita sehingga tanpa disadari ada "koneksi" antara aktivitas tersebut, memori kita, dan tentunya perasaan/hati kita. Apalagi bila aktivitas itu tidak semua orang bisa alami.
Ga percaya? Ini contoh lainnya nih. Salah satu alasan seorang yang hobinya mendaki gunung itu bangga dan "cinta" dengan mendaki gunung adalah karena tidak semua orang sempat, mau, dan mampu mendaki gunung. Karena itulah ketika sudah menjadi mahasiswa di suatu kampus, libatkanlah dirimu sesuai minat dan potensimu. Tentu kalian akan berpapasan dengan orang-orang inspiratif, dan pastinya berbagai kenangan yang berkesan (walau tak jarang kenangan itu didominasi kisah-kisah ngebanyol). Dan ketika itu telah didapatkan, seketika itu pula perlahan tapi pasti rasa cinta terhadap kampus akan subur. Karena itu, kebanyakan orang yang cinta almamaternya adalah yang pernah aktif di organisasi kampus ataupun meraih prestasi kompetisi.
Keenam #last_but_not_least, kampus itu pada dasarnya benda mati. Manusia-manusia yang terlibat di dalamnyalah yang menghidupkan kampus itu. OK, itu jelas. Namun pada intinya, kampus hanya sebagian dari aksesori duniawi yang tidak semua orang pernah alami. Duniawi? Ya duniawi...
Di situ akan timbul masalah ketika cinta kita terhadap kampus dibutakan oleh eksistensinya yang fana. Janganlah sampai kecintaan kita terhadap kampus menyaingi kecintaan kita terhadap Allah, Penguasa semesta yang kekal. Justru jadikan cinta terhadap kampus sebagai tambang ibadah, mulai dari keikhlasan terhadap rezeki yang diberikan kepada kita sera mengisi peran konkret kita (yang nomer 4 tadi) dengan niat ibadah. Sungguh beruntung orang yang terjaga niat tulusnya mengharap ridho Illahi ketika dia sibuk dengan berbagai agenda kampus.
Cinta terhadap kampus tidak bisa dipaksakan, bahkan segala instruksi melantunkan mars dan hymne, menggambar logo kampus, menghafal daftar pejabat kampus maupun trik-trik lainnya tidak menjamin kecintaan terhadap kampus. Butuh proses panjang, maka menjadi suatu kebutuhan untuk mengupayakan rasa cinta terhadap kampus pada agenda/event kaderisasi di suatu kampus. Tidak perlu berbagai perpeloncoan, karena belum ada studi yang valid mengenai korelasi tingkat "kekerasan" ospek dengan kecintaan terhadap kampus. Tanamkanlah cinta terhadap kampus itu dengan cara yang manusiawi? Seperti apakah cara itu? :)
No Response to "Cinta Kampus"
Posting Komentar