Siang ini agak kaget juga dengan ramainya socmed yang berbasis di Universitas Telkom. Intinya sedang ada pergerakan menghimpunan kepedulian terhadap Presma BEM KEMA Unitel yang mendapat sanksi skor karena sejumlah ketikannya di social media. Wiww, kronologisnya, biar enak langsung saja buka akun berikut ini
Tiap orang boleh jadi punya opini tersendiri menyikapi permasalahan ini. Dan pada kenyataannya terjadi pro dan kontra atas permasalahan ini, tapi ada juga yang masih clingak-clinguk macam saya. Saat ini sumber informasi saya hanyalah social media dan adik-adik yang masih berkuliah di Unitel. Social media tentu akan cenderung memberitakan dari sudut pandang kontra terhadap skorsing, kenapa? Karena atas nama branding alias citra, sangat kecil social media kampus Unitel akan memebri penjelasan melalui social media yang isinya menjelaskan detail pemberian sanksi dari sudut pandang rektorat. Sebaliknya, bagi mahasiswa yang kontra dengan pemberian skorsing, menggemparkan dunia maya jelas jadi aksi yang "mencandukan" apalagi sesuai dengna karakter meledak-ledak khas (dominan) mahasiswa. Belakangan saya pun mulai berhati-hati mencerna informasi yang cenderung persuasif yang disebarkan melalui social media. Bukan berarti saya acuh dengan apa yang menimpa Presma BEM KEMA tersebut, justru saya berempati dengna ujian yang menimpa beliau kali ini.
Buku panduan institusi Unitel terbaru tidak saya punyai, karena itu saya tidak mengerti mekanisme pemberian sanksi kepada sivitas akademia, khususnya mahasiswa, terhadap pelanggaran atas aturan institusi. Namun, kalaupun memang ada indikasi pelanggaran, maka alangkah baiknya yang dilakukan adalah "pengadilan", bukan "penghakiman".
Tentunya akan sangat baik ketika mahasiswa "diseret" ke komisi disiplin untuk "disidang" juga memperoleh hak-hak yang layak, misalnya pembelaan secara individu, bantuan hukum (contohnya dari dosen wali, majelis wali amanat, senat fakultas dll), serta transparansi terhadap proses hukum yang berlangsung.
Pembelaan secara individu tentunya merupakan tonggak bagi si mahasiswa untuk memberi penjelasan dan kejelasan atas yang terjadi. Pembelaan ini juga menjadi pembelajaran mandiri dan percaya diri kepada si mahasiswa.
Bantuan hukum, secara pengalaman dan kematangan berpikir, tentu mahasiswa (dalam hal ini S1) relatif rentan galau untuk menghadapi sidang komisi disiplin. Salah-salah, bisa jadi menimbulkan gerakan massa/solidaritas yang "nekat". Sebagai "orang tua asuh" di dalam lingkup perguruan tinggi, maka jelas menjadi kewajiban dosen wali untuk memberi bantuan moril dan hukum kepada si mahasiswa. Bukan berarti membenarkan tindakan mahasiswa tapi sebagai "pengacara" yang menengahi pemasalahan.
Transparansi, sidang komisi disiplin tak ubahnya pelajaran di dalam kehidupan yang sebenarnya. Maka, ketika proses pengadilan tidak transparan, ya anggap saja bureng maka secara tidak langsung mengajari mahasiswa untuk memburengkan segala macam hal ketika terjun dalam bermasyarakat
Semoga menjadi pelajaran bagi kita semua :)
No Response to "Berikanlah haknya di Pengadilan"
Posting Komentar