Benar memang manusia hanya bisa berencana, Allah-lah yang menentukan. Kalimat itu terbukti erat di dalam ekspedisi kali ini. Awalnya, saya bermaksud mengadopsi konsep tahun lalu, bada Jum'at-an ke Kp. Rambutan bebas macet malemnya sekitar jam 12 malam sampai di Margasari, tapi weitssss nihil pisan tahun ini.
Sekarang mau berangkat, si supirnya dites kesehatan dulu
Awal perjalanan memang menggiurkan namun mulai terjadi kemelut ketika mencapai kawasan Karawang di sekitar jam 5 sore hari Jumat (25/7). Berbuka puasa di jalan dimana kecepatan bus sekitar 4 km/jam terus menghadirkan kegelisahan yang mendalam. Masih di Cikampek, tidur... masih di Cikampek, bangun masih di Cikampek.. tidur... masih di Cikampek... bangun... masih di Cikampe hingga kisaran jam 10 siang Sabtu siang (26/7) masya Allahuakbar o_O
Baterai HP dan tablet sudah kolaps, bahkan ampe ngecharge via laptop hingga habis baterainya. Benar-benar perjalanan sendirian dengan bekal sebuah buku BEPE20: PRIDE, Hp dengan secuil baterai untuk tetap bercengkrama dengan rekan-rekan di social meda, tablet dengan baterai seadanya untuk mendengarkan musik, hingga sekeresek konsumsi isi 2 botol minuman rasa (rasa yang kini menghantui #eaa) dua bungkus mie instan, dan sebuah biskuit. Isi keresek itu hanya menyisakan 1 bungkus mie instan karena sudah habis untuk buka puasa. "lah kan ente musafir, nggak usah puasa gih..." "lha, musafir apanya yang cuma diem di kursi paling belakang ngedengerin musik??" Beruntung memang masih diberi kekokohan mental untuk melanjutkan puasa hari itu.
Kisah dramatis ini mencapai klimaksnya di sore hari. Keluar dari tol Palimanan-Pejagan ternyata busnya belok kanan arah langsung Purwokerto, bukan belok kiri yang arah Brebes kota, Kota Tegal, Slawi dll. Sempat panik apalagi sempat ribut debat beberapa penumpang dengan kondektur. Bimbang, galau, dan sejenisnya mulai melanda. Hingga akhirnya sebuah keputusan berani saya ambil persis ketika bus stop depan pintu rel karena ada kereta api lewat. Bermodal optimisme dan yakin tadi melihat plang "Slawi arah kanan" maka saya beranikan diri turun di Ketanggungan. Dan padahal jujur saya tidak tahu apakah ada kendaraan arah Slawi atau tidak. Alhamdulillah seorang tukan ojek bersedia mengantarkan hingga ke Slawi. Berapa kilometer kurang tahu, namun sekitar 1 jam lebih perjalanan kami tempuh. Mungkin di angka 40km-an.
Kenapa harus ke Slawi?
1. HP mati, tidak tahu apakah ada orang di rumah dan tidak tahu pula ibu-ayah-ade yang dari Semarang pulangnya sampai mana
2. Sore itu rencananya ada bukber GaNas58, karena satu lain hal di-pending jam 8 malam, masih ada kemungkinan datang
3. Walau bisa akses jalan Klonengan-Margasari, namun di sananya macetnya parahhhh
Dengan demikian pilihan terlogis, cari kendaraan (yang akhirnya ojek) menuju Slawi, menanti kehadiran ibu-ayah-adek di Slawi sambil ikut ngumpul GaNas58.
Rencana manis (hasil revisi) ternyata harus menemui kenyataan "masih panjang" karena ibu-ayah-adek belum pulang malam itu juga, masih ada keperluan di Semarang. Dengan demikian, malam tadi saya mengungsi ke rumah Mas Arief Adityo. Nuhun pisan kang Arief sudah berkenan menampung.
Alhamdulillah pagi harinya bisa menuju Margasari, sebuah kediaman spesial di selatan Kabupaten Tegal
ini cerita (agak garing sih) tentang mudikku
apa ceritamu??
No Response to "28 jam Jakarta Timur-Slawi"
Posting Komentar