Working title pada edisi kedelapan Star Wars tidak direvisi, masih tetap The Last Jedi. Judul di atas hanyalah simpulan pribadi atas alur cerita yang sangat mengejutkan dari lakon ini. Secara pribadi pula, asaya mengapresiasi alur cerita yang ditawarkan film ini. Saking kecenya alur cerita tersebut, justru sangat jarang yang mengomentari kualitas gambar, kecanggihan teknologi maupun urusan teknis lainnya. Hampir semua fokus membicarakan urusan alur cerita.
Film ini secara umum mengisahkan nasib kaum Rebelion yang diburu dan ditumpas oleh New Order. Eksistensi New Order benar-benar di ujung tanduk setelah satu demi satu pesawat dan tentaranya dimusnahkan secara tragis. Sedikit bocoran, di akhir film, hanya tinggal sekitar 10-20 orang saja jika tidak salah lihat. Keterbatasan energi serta peralatan tempur menjadi biang masalah yang harus diakali dengan strategi kabur dari satu lokasi ke lokasi lain. Di tengah nasib yang kian terhimpin, sosok Rey disibukkan dengan perantauannya ke tempat persembunyian Luke Skywalker. Rey bermaksud meminta Luke 'turun gunung' menghadapi agresi New order sekaligus belajar tentang Jedi. Sedikit demi sedikit bakat 'tanpa sebab' Rey sebagai 'pewaris' Jedi semakin kuat. Di saat itulah, konflik pribadi Kylo Ren dengan Luke. Terlepas dari sosok Rey yang masih jadi diri, sesungguhnya eksistensi Luke dan Kylo Ren jauh lebih signifikan.
Bukan rahasia lagi bahwa Kylo merupakan anak 'durhaka' yang menyingkirkan ayahnya sendiri, Han Solo. Bukan rahasia pula bahwa ini Kylo bergabung dengan Snoke yang berpihak pada Dark Side. Tapi di episode ke-8 inilah kita akan dihadapkan pada asal-usul pembelotannya terhadap Luke. Bahwa, sah-sah saa jika ada yang 'ber-fatwa' bahwa Luke punya kontribusi atas eksistensi mesin pembunuh. Ini pulalah yang mendorong Luke mengasingkan diri.
Dua sosok ini yang saya maksud sebagai 'jokers' pada judul di atas. Kylo menjadi sosok yang penuh kejutan lewat dua adegan yang sangat menguras imajinasi penonton. Pertama ketika dirinya ragu-ragu untuk menembak kokpit pesawat Rebelion. Padahal dirinya sudah tinggal tekan 'enter' hehee, namun wajah ibunya yang terbayang ada di kokpit tersebut mengurungkan niatnya. Memang pada akhirnya kokpit ditembak hancur oleh pasukan New Order lainnya. Tapi, setidaknya adegan ini mengindikasikan sifat belas kasihan yang masih dipunyai Kylo. Adegan kedua sangat cadas, yaitu saat dirinya mengudeta Snoke dalam sebuah momen dramatis. Awalnya dirinya diplot sebagai algojo untuk mengeksekusi Rey. Dengan penyamaran untuk membanti Rey, ternyata dirinya melakukan 'telepati' untuk mengendalikan lightsaber lain yang ada di samping badan Snoke. Ambruk tanpa bisa terselamatkan, Kylo berhasil menyingkirkan Snoke yang selalu memandang inferior dirinya. Si 'joker' ini ternyata bukan bermaksud membela Rebelion, apalagi menyelamatkannya. Justru dirinya bermaksud menata ulang pemerintah lewat kekuatan baru. Koalisi pun sempat dijajakinya dengan mengajak Rey, hanya saja ditolak olehnya, mungkin karena Rey sudah keburu teken kontrak sebagai kader di partai lain, eh.
Joker kedua adalah 'penghuni permanen' film Star Wars dari episode IV s.d.VII, yaitu Luke Skywalker yang semakin menua. Jika eksistensinya di episode VII sebatas penanda akhir episode, maka di episode ini dirinya menjadi sosok yang menggebrak lewat 'permainan' yang sangat di luar dugaan. Tentu kita tahu bahwa hampir di setiap episode ada sosok Jedi yang gugur dengan berbagai cara, salah satunya Obi Wan Kenobi yang membiarkan dirinya tertebas pedang Darth Vader, agar Luke dkk bisa kabur. Di episode VIII ini, peran tersebut diisi oleh Luke yang membiarkan para Rebelion tersisa. Dirinya bertarung satu lawan satu dengan Kylo. Sepintas pola lama bersemi kembali, namun di akhir film terungkap bahwa yang bertarung dengan Kylo bukanlah Luke yang riil. Dirinya adalah versi virtual dari Luke yang masih enggan beranjak dari planet persembunyiannya. Teknik virtualisasi ini pulalah yang mengakhiri riwayat Luke. Dirinya sirna bersamaan dengan dikuasainya ilmu Jedi oleh Rey. Ya, Rey-lah suksesor Jedi yang baru dan satu-satunya yang tersisa.
Review Star Wars VIII: "Suprising Jokers"
Review Ayat Ayat Cinta 2
Film ini identik dengan sosok Fahri, pemuda religius yang menjadi sosok teladan walau memang agak utopis di era saat ini. Penghafal Al Qur'an, menjadi akademisi terkemuka di universitas ternama Skotlandia, bergelimang harta namun dermawan, mampu berpikir bijak dalam membedakan antara Zionisme dengan pemeluk agama Yahudi, mampu loyal terhadap istri, dan lain-lain. Apa ada, ya bisa jadi. Kalau di sekitar saya sih hanya di beberapa aspek. Jangan tanya diri saya yang ah sudahlah hehee...
Film ini tanpa disengaja muncul di saat yang sangat tepat dengan semakin 'populer'-nya negara Israel di Indonesia lantaran kebijakan presiden Amerika Serikat yang menetapkan Yerusalem sebagia ibu kota Israel. Entah kebetulan atau tidak, yang apsti novel aslinya dibuat jauh sebelum kasus heboh ini terjadi walau kontroversinya negara Israel sudah sedari dulu melanda Indonesia. Bagi saya pribadi, justru isu per-Israel-an jauh lebih menarik dibahas ketimbang lika-liku cintanya Fahri yang sudah macam kelok sembilan.
Pemeluk agama Yahudi tidak sama dengan gerakan Zionisme
Pesan ini tidak dimuat dalam trailer-ya, justru permintaan salah seorang perempuan Skotlandia untuk dinikahi oleh Fahri. Entah mengapa, tapi bagi saya [lagi] ini merupakan sebuah pernyataan tegas yang menjadi pesan mendidik bagi masyarakat Indonesia. Kita memang terlanjur 'memukul rata' antara keduanya. Padahal Zionisme merupakan gerakan 'ekstrimis' ambisius yang hanya sebagian dari pemeluk Yahudi. Ada pemeluk Yahudi yang ikut serta sebagai anggota ataupun pendukung Zionisme, tapi ada pula yang tidak. Terlepas dari bagaimana kacaunya politik di Timur Tengah, kita dituntut berbuat baik kepada sesama manusia walau dia penganut Yahudi. Dalam film ini dikisahkan bagaimana Fahri sangat baik terhadap seorang nenek yang jadi tetangganya walau beliau Yahudi. Bahkan Fahri membantu mengantarkannya ke sinagog dengan batas yang jelas, hanya sampai pagar. Si nenek pun 'tahu diri' dengan tidak membenci Fahri walau ada umat Yahudi terhasut untuk memusuhi Islam. Sebuah pesan moral tentang kerukunan hidup antar-agama.
Sentuhan Modern Garden by the Bay
Mangtrepnya Museum Nasional Singapura
Museum biasanya dianggap sebagai tempat yang terlalu kuno dan kurang menarik untuk dikunjungi. Museum juga kerap diasosiasikan dengan ruangan gelap dengan berbagai meja dimana berbagai barang sejarah diletakkan begitu saja. Tapi, Museum Nasional Singapura ini berbeda. Gedung berarstektur kuno memang menjadi topeng dari luar. Namun, suasana terang justru diumbar dari meja registrasi. Polesan modern menyengat saat ruang demi ruang saya kunjungi. Bicara kecanggihan, sebetulnya museum ini tidak canggih-canggih amat, lebih tepatnya efektif. Beberapa lokasi lebih banyak mengolah model pencahayaan serta animasi untukmendramatisir suasana.
Emas Kokohnya Masjid Abdul Gaffar
Dijemur Teriknya Fort Canning Park
Portrayed Arts in Changi Airport
Ada-Ada saja Rupa-Rupa di Raffles Sites
Asian Civilization Museum
Kemarin Kemalaman, Sekarang Mendung =_=
20under45, an Elegant Exhibition for Contributors
Outstanding Screenshot from SG City Gallery
Flood of Inspiration in URA
Nasionalisme yang kok Lucu
Sepak bola Indonesia kembali menyoroti pola pikir ketua PSSI. Pertama kali dalam sejarah Indonesia, seorang ketua PSSI bermaksud memagari pemain Indonesia agar tidak mengadu nasib ke negeri tetangga. Alasannya terus terang agak mengada-ada dan sebetulnya pun kurang masuk di akal. Dalam salah satu kesempatan, beliau menegaskan bahwa akan ada sanksi berupa pencoretan bagi pemain yang nekat bermain di luar negeri. Frase 'pengkhianat bangsa' pun sempat terlontar sebagai intepretasi jika ada pembangkangan atas keputusan beliau. Tentu saja ini kita sedang membicarakan kasus transfer Ilham Udin Armain dan Evan Dimas Darmono. Saya berpikir bahwa ada yang lucu dari pola pikir ini.
Jelas sebuah keputusan yang aneh ketika menyangkut pautkan nasionalisme dengan bermain di luar negeri. Bisa dibayangkan berapa banyaknya pemain Brazil dan Argentina yang tidak nasionalis jika kit amemakai pola pikir tersebut. Kenyataannya, justru banyak pemain kedua negara itu merantau ke negara lain, khususnya ke Eropa agar dilirik pelatih timnas, bermain dengan seragam timnas, ujung-ujungnya membawa harum negaranya. Bahkan tidak perlu jauh-jauh, pemain senior atau bahkan yang sudah pensiun, semisal Bambang Pamungkas, Ponaryo Astaman, Hamka Hamzah, Elie Eiboy, Ilham Jayakesumah, Victor Igbonefo, hingga Robby Darwis adalah pemain yang bermuka dua, tidak nasionalis tapi kok nasionalis juga.
Nama-nama tadi, dan tentunya masih banyak lagi, punya rekam jejak yang bagus dan punya kontribusi bagi timnas. Bahkan saya tidak pernah mendengar mereka mangkir dari panggilan timnas . Tentu saja di lua dualisme tahun 2011-2012 lalu. Bahkan di saat sebagian pemain senior dipagari 'PSSI tandingan', Bambang tetap nekat membela timnas. Nah, sekarang dua pemain yang saya sebutkan di paragraf pertama. Apakah keduanya punya rekam jejak mangkir dari timnas, setahu saya tidak. Bahkan kedua pernah menyumbangkan trofi Piala AFF U-19. Dan jika bicara subjektif, gelar itu digapai tidak pada masa jabatan ketua PSSI sekarang yang mana masih mandul trofi.
Jika memang kekhawatirannya adalah kedua pemain mangkir, ya sudah bicara secara personal. Hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan bermain di luar negeri. Jika potensi mangkirnya dikarenakan jadwal liga di negara sebelah, ya sudah bicarakan dengan klub secara baik-baik, bukan tiba-tiba memagari pemain yang sudah tanda tangan kontrak. Macam tidak pernah belajar hukum/etika pekerjaan profesional saja.
Jika alasannya adalah kedua pemain ini menuju kompetisi yang tidak jauh berbeda dengan Indonesia, hmmm. Rasanya ini lebih lucu. Argumentasi ini sempat dilontarkan sekjen PSSI ketika disinggung mengapa pemain yang merantau ke Thailand tidak dipermasalahkan. Beliau menyebutkan kompetisi di Malaysia 11-12 dengan Indonesia. Jujur saya tidak sependapat dengan beliau. Jika dari sisi antusiasme penonton dan jumlah kontestan, memang Indonesia unggul dari Malaysia. Tapi jangan lupa bahwa, beberapa tahun lalu sudah berhasil menggebrak kompetisi regional lewat Johor Darul Takzim yang juara Piala AFC. Apa perlu saya bandingkan dengan Indonesia yang [maaf sekali maaf] mendaftaran klub ke kompetisi regional saya telat [ya walau itu bukan di masa kepengurusan sekarang].
Saya sepakat jika salah satu indikasi nasionalisme adalah mau tidaknya dipanggil untuk seleksi/laga/pelatihan timnas. Tapi jika ukurannya bermain di luar negeri, apapun kompetisinya, saya tidak sependapat. Semoga pihak-pihak terkait bisa menentukan solusi yang tepat dan wajar.
#ICIT2017 #2ndDay
Jauh sih, tapi Mengesankan
Henderson Bridge, Jejak Sepotong Malam
#ICIT2017 #1stDay
Alhamdulillah ICIT 2017
Jejak Melayu di Malay Heritage Centre
Cerah Eloknya Masjid Sultan
Suasana Klasik di Masjid Hajjah Fatimah
Campus Tour @NTU
SCSE@NTU
Esplanade, Gedung Perlambang Durian
Hitam Eksotiknya Gedung Kampus Seni ini
Riuhnya Little India yang Bertabur Warna
Stadion Kallang yang Berkalang Prestasi
Warna-Warni di MICA Building
Hijaunya Masjid Jamae
Terdampar di Museum Filateli
Sebetulnya, saya merencanakan ke museum ini pada hari ini [26/12], bukan kemarin. Belajar dari situasi di Indonesia dimana museum kerap libur ketika hari raya keagamaan, maka saya realitis kemungkinan museum ini tutup, bahkan agak pesimis siapa tahu tutupnya s.d. tahun depan. Eh ternyata museum ini buka lho. Malah saya 'memergoki museum ini saat bermaksud meyeberang jalan eh kok ada yang menarik di pinggir kanan jalan ya, hehee. Sebagai seorang filateli [amatir], siapa yang tidak tergoda untuk masuk hohoo. Dan alhamdulillah saya tidak menyesal.
Berbagai ornamen terpampang rapi di sini. Suasana khas museum yaitu tenang, bahkan agak sepi memang masih terhidang. Selama saya di sana sekitar 45 menit, hanya ada sekitar 10 orang saja, termasuk 3-4 orang dari Indonesia. Ya, anggap saja bonus bagi saya agar lebih leluasa mengeksplorasi tempat ini.
Berbagai suguhan perangko ada di sini, khususnya terkait dengan kiprah sektor pos dalam mengoneksikan pengelolaan negeri ini, mulai dari era pendudukan Inggris sampai dengan era modern sekarang. Dekorasinya pun tampak mengikuti imajinasi waktu yang ada. Jika pada galeri sejarah lebih banyak didominasi lampu gelap, maka pada galeri perangko temporer justru dekorasi rianglah yang dipampang. Seolah menegaskan bahwa hobi filateli itu tidak identik dengan 'jadul', begitulah interpretasi saya.
Ohya, ada pula dua fitur tambahan yang saya nikmati di sini. Yang pertama masih berhubungan dengan perangko, yaitu selayang pandang negeri Brunei Darussalam. Lho, apa hubungannya ya, bukankah kemarin stempel imigrasinya Singapura ya. Ternyata negara Brunei merupakan sekutu erat Singapura. Kondisi ekonomi yang relatif stabil walau wilayah kecil mejadi kesamaan saat ini. Dari sejarah pun keduanya masuk ke federasi Malaysia bersamaan dan sekarang sama-sama sudah jadi alumninya [walau yang ini tidak bersamaan]. Berbagai koleksi perangko memaparkan bagaimana sejarah Brunei serta citra sang sultan selaku orang nomor satu di sini. Yang kedua adalah galeri kecil tentang anime. Yang, anime yang terkenal di Indonesia ini punya sejarah panjang beserta filosofinya. Galeri ini memang tidak memajang semuanya, namun sudah cukup membuat kita terpantik untuk mencari tahu lebih dalam lagi.
Melongok di SMU
Univesitas Manajemen Singapura, itulah terjemahan dalam bahasa Indonesia untuk kampus ini. Dengan nama asli Singapore Managemen University, kampus ini memilih kata 'school' atau 'sekolah' sebagai subset darinya, bukan 'faculty' atau 'fakultas'. Ok, itu urusan administrasi yang tentu berbeda dibandingkan dengan Indonesia. Namun yang membuat saya melongok [nggak mengolok banget lah, cuma dari sisi kepengin motret-motret] adalah arsitektur bangunannya yang kece. Kesan modern terlihat jelas menjadi citra kampus ini sebagai lembaga yang pregresif dan moderat. Walau demikian ada juga sebuah sekolah yang bangunannya tampak klasik namun dari balik kacanya terlihat sejumlah perabotan modern. Kebetulan saya melintasi kampus ini di saat hari libur salah satu agama mayoritas di sini. Wajar jika suasana agak sepi. Terus terang saya penasaran dengan bagaimana aktivitasnya di hari normal. Apakah sebersih saat tidak aktivitas, tampaknya begitu. Ohya, satu lagi. Lokasi yang di tengah kota turut mendukung asimilasi antara suasana pendidikan dengan suasana masyarakat nyata. Ini menjadi keunikan juga.
Classic Everywhere
Singapura mudah diasosiasikan sebagai negara yang modern. Jelas tidak salah lantaran teknologi dalam berbagai rupa dikembangkan di negara ini. Sudah banyak pekerjaan yang digantikan oleh aplikasi sistem elektronik, ya walau tentunya ada faktor sedari awal mereka kekurangan manusia sih hehee. Namun di balik gemerlap modernisasinya, Singapura masih menyita mata dengan berbagai wujud eksoktika arsitektur kuno. Banyak bangunan yang masih mempertahankan sajian arsitektur era lama.
Let me Explore the Lions
Alhamdulillah sampai juga walau ternyata keluarnya dari imigrasi 'terlalu cepat'. Hehee, fitur bandaranya yang bagian dalam pre-embarkasi udah bagus banget tapi agak jomplang dengan suasana di pasca-embarkasi. Jadi bingung juga mau ngapain. Okay, lanjut cek kelayakan lokasi-lokasi yang masih membingungkan sekaligus mengurus item-item pribadi. Bismillah, hari ini bakal banyak memakan energi. Jarak yang 'nanggung' [dan keterbatasan anggaran] membuat saya [kemungkinan berjalan] mempraktikan paket kebijakan ekonomi jalan kaki.
Banyak lokasi eksotik untuk disinggahi
Banyak hal menarik untuk dipelajari
Banyak manusia untuk dikenali
Mari jelajahi Pulau Singa ini
Entah apa di depan Terminal 2
Entah apa itu bangunan di depan Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta ini. Apakah ini stasiun kereta menuju Jakarta? Barangkali sih. Yang pasti, bentuknya menarik, arsitekturnya mengunfang atensi. Semoga nanti ada sentuhan artistik yang kreatif.
Ekspedisi Beraroma Jalan Kaki
Perjalanan kali ini akan sangat melelahkan. Jalan kaki menjadi alternatif paling konkret menimbang satu dan lain hal hehee. Barangkali perjalanan berkereta hanya di beberapa rute jauh saja. Ya, anggap saja kesempatan survival walau tidak ikut PAB.
Sedih istri dan anak tidak jadi ikut dengan beberapa pertimbangan. Padahal jalan-jalan paling asyik ya bertiga (wallahualam kalau nanti nambah =_=). Ya sudah, ikhlaskan saja dengan lapang dada. InsyaAllah ada skenario lain dari-Nya.
She Drew her Dreams
Kreativitas balita kerap tidak terkangkau oleh nalar orang dewasa. Tapi, percayalah kreativitas itu aset berharga yang menjadikan si balita akan tumbuh sebagai orang bermanfaat. Begitu pula Aira, balita lincah yang sudah banyak menorehkan gambar-gambar abstrak khas anak-anak yang terlalu sayang untuk dihapus. Berhubung sudah waktunya hengkang, maka saya potret kenangan berharga ini.
An afternoon View from the Outside
Foto ini diambil Jumat (22/12) lalu saat memutar jalan menghindari macet di depan kontrakan. Agak aneh rasanya melewati jalan ini sendiri. Biasanya soh bertiga dengan istri dan anak. Agak aneh juga melihat gedung-gedung asrama yang mulai meredup lampu-lampunya. Pertanda sudah banyak yang pulang ke daerah asal. Tidak aneh saya memilih judul di artikel ini. Karena saya masih melangkah pada lajur di luar ekosistem utama.
Rapid Victory
Bukan pertandingan yang diawali dengan mulus. Gebrakan demi gebrakan Real Madrid seolah mengisyaratkan bahwa bobolnya gawang Barca hanya urusan waktu. Sosok Sergio Busquet, Iniesta, bahkan Messi malah kerap turun membantu lini pertahanan. Seperti begitu, sepertinya.
Namun sebuah lesatan Paulinho yang nyaris berbuah gol justru menjadi kode keras bahwa Barca masih bisa "bernafas". Kode keras yang tanpa disadari menandai keroposnya lini pertahanan Madrid. Tanpa banyak peluang milik Barca sekaligus sedikitnya ancaman bagi Madrid justru membuat bek-bek Madrid tidak siap menanggung bencana. Gojekan Ivan Rakitic kurang ditanggapi serius sehingga umpannya kepada Sergi Roberto berbuah petaka. Ya, sosok ini hampir sepanjang babak pertama disibukkan Ronaldo di area pertahanan Barca. Entah mengapa justru dia yang menyambut umpan Rakitic dan lebih mengejutkan umpan itu dilempar jauh ke Luis Suarez yang tanpa oengawalan. Lalu, 0-1.
Kocar-kacir antara menyerang ataukah bertahan. Keraguan tersebut digancar oleh penalti Messi setelah sebelumnya kemelut terjadi di kotak terlarang Madrid. Carvajal memilih pulang sebagai tumbal setekah tangannya menghadang sundulan Paulinho. Tampaknya beliau terinspirasi aksi Suarez 7 tahun silam.
Di penghujung laga, sontekan Messi yang hanya bermodalkan sepatu sebelah kanan saja kembali memantik malapetaka. Aleix Vidal tidak menyia-nyiakan peluang itu untuk mengganjilkan skor akhir 0-3. Kolektivitas dn kecepatan dalam membangun serangan menjadi pola dasar tiga gol barca. Ya, rapid victory here is.
Skor yang memang ganjil lantaran pertandingan sempat "dimiliki" Madrid dan dihelat di kandang Madrid. Laga cantik di penghujung kalender 2017 ini. Laga yang bisa jadi pamungkas dari selonjoran saya di kontrakan lama.
Serampang Kece di Jalan Soekarno Hatta Bandung
Ornamen AsianGames di Bandung
Walau #bandung bukan tuan rumah #asiangames2018 tapi semaraknya tetap harus ikutan. Kan kita #satuindonesiasatusaudara
Bisa Apa tanpa Anggaran
Era saat ini menuntut banyak pencapaian kuantitas. Banyak organisasi yang mencanangkan berbagai indikator kerja yang diukur secara numerik. Apakah bagus, ya tentu saja iya. Pada hakikatnya, organisasi memang harus berkembang, dan dibuktikan secara eksakta dan objektif melalui pencapaian kuantitas berupa indikator kerja.
Hanya saja, hmmm, naif rasanya ketika untuk mencapai indikator kerja tersebut hanya ditopang dukungan moril. Naif sekalilah jika mengabaikan peran finansial bagi organisasi untuk mencaplok satu demi satu targetnya. Bukan apa-apa, tapi lingkungan profesional menuntut ganjaran yang setimpal atas segala jerih payah produktivitas. Ketika produktivitas dihambat dengan lika-liku birokrasi perbendaharaan, tentu bakal memengaruhi semangat untuk menjayakan hasil pada indikator keberhasilan.
Memang timnas Jerman, Prancis, Brazil, dan Spanyol, punya tradisi sepak bola yang bagus. Tapi percayalah bahwa tanpa adanya anggaran, maka tradisi mereka tidak lebih dari histori. Tengoklah di Wikipedia, kapan terakhir kali timnas Uni Sovyet [kini diwarikan ke Rusia], Swedia, Hungaria, atau malah Yugoslavia [kini bubar] lolos perempat final Piala Dunia. Mengapa kisah heroik mereka di piala-piala dunia terdahulu berakhir di laman Wikipedia, salah satunya karena anggaran yang seret. Apalagi Indonesia.
Anggaran tidak berkonotasi kesempatan meraup keuntungan pribadi, bukan, sama sekali bukan. Anggaran berkaitan dengan biaya operasional yang membengkak di era saat ini. Tidak semua manusia bisa dan mau menanggung pengabdian dengan merogoh kocek pribadi. Jika pada kenyataannya sulit memasok 'pupuk', maka jangan harap 'panen' melimpah ruah.
Jakarta Hujan Pagi ini
Ya, terik menyengatnya khas Jakarta sedang disandera
Kini tanah basar adalah aroma yang jamak
Bahkan dari kamar tanpa jendela ke luar rumah sekalipun
Agak semerbak bawa kenangan perihal hujan
Hmmm, nanti dulu beranjak ke seberang relnya
Aku perlu menuntaskan salah satu agenda pagi ini
Yang sebetulnya harus kukebut tadi malam
Namun apalah daya letih yang meraja
Bahkan saat tiga per empatnya lusin ditunjuk si jarum panjang
Sayup cuaca mengincarku
Tanpa banyak beristirahat
Kereta musti segera kugayung
Dan untuk menunaikan tiga hingga lima agenda lain hari ini
Finale ManproTIK
Sesi presentasi sebagai laga pamungkas dari mata kuliah ManproTIK. Tahun lalu bersua mereka di matkul Teori dan Bahasa Automata (jangan tanya gimana ceritanya anak MTI ngajar "ilmu hitam" tersebut). Tahun ini dipertemukan untuk banyak berbincang dengan mereka yang insyaAllah calon manajer proyek TIK. Sengaja mereka saya minta presentasi dengan jas almamater. Tujuan sederhana, agar segera presentasi dengan kostum serupa di sidang Tugas Akhir hehee. Sukses y Gaes di berbagai rencana hidup kalian. *btw, rasanya kok saya masih cocok seangkatan dg mereka ya...
Ada yang Tidak Beres
Ada yang tidak beres dengan hati
Saat bergulat nyaris mati mengejar dunia
Padahal sudah tahu gerlapnya panggung sandiwara
Namun berlagak harap maklum
Ada yang tidak beres dengan kalbu
Saat menunda asupan nutrisi rohani
Saat sengaja mempercepat durasi sujud
Dan terburu-buru ibadah tanpa kualitas
Ada yang tidak beres dengan pribadi
Saat tidak mampu berpihak pada ibadah
Saat tiap menit hanya bermakna 60 detik
Namun alfa dalam menabung amal
Ada yang tidak beres dengan masa depan
Saat khawatir tidak meraih rezeki
Toh distribusi sudah Illahi bagikan
Padahal Illahi yang Maha Berkehendak kerap kita pintai iba
Tapi ada yang beres
Saat sadar tentang ketidakberesan tersebut
Dan berbulat hati bertekad murni perbaiki diri
Tahun yang Muram bagi Sriwijaya FC
2017 bukan tahun yang ingin dibahas panjang oleh tiap suporter Sriwijaya FC. Alasannya sederhana, peringkat Sriwijaya FC berkubang di papan tengah dengan statistik kemenangan, seri, dan kekalahan yang memprihatikan. Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring kerap menyuguhkan kekalahan, satu hal tabu di musim-musim sebelumnya. Yang paling memprihatinkan adalah [nyaris] nihilnya surat panggilan pemain timnas ke sekretariat klub. Sungguh tahun yang muram.
Tidak seperti musim-musim sebelumnya memang, Sriwijaya FC justru melakukan perombakan krusial di sektor kursi pelatih beberapa bulan sebelum pekan pertama dilalui. Entah apa alasan apa yang melandasi dilengserkannya Widodo C. Putro. Padahal, dia mampu menahkodai Sriwijaya FC dengan hasil lumayan, yaitu 4 besar di ISC 2016. Striker Beto Goncalvez pun moncer sebagai top scorer. Jika ukurannya konsistensi, memang Widodo punya 'dosa' besar berupa sirnanya sejumlah kemenangan lantaran kebobolan di menit akhir pada ISC 2016, tapi dengan masa lalu selaku striker, hal itu masih bisa dimaklumi dan diperbaiki. Toh, Widodo sendiri di kemudian hari menjadi sosok yang bertanggung jawab membawa Bali United menyamai poin Bhayangkara FC yang juara. Jika saja tidak ada kasus pemain ilegal, maka Widodo sukses menggondol medali juara. Plus striker Bali United bernama Comvalius tampil sebagai top skorer mengangkangi rekor Peri Sandria. Singkat kata torehan Bali United saat membuat Sriwijaya FC patut menyesal melengserkan Widodo. Toh suksesor Widodo, yaitu Osvaldo Lessa tidak bertahan hingga akhir musim lantaran hasil yang minor.
Jika Tijad Belain tidak mencetak gol di akhir pertandingan, maka pesta empat gol Persib Bandung sangat menyakitkan. Gol Belain memang tidak lebih dari pelipur lara, tapi setidaknya menandai upaya menjaga harga diri selaku tuan rumah. Ya, entah berapa kali suporter Sriwijaya FC pulang dengan wajah murung lantaran kalah di kandang. Padahal, kandang Sriwijaya FC sempat menyandang status angker di beberapa musim lalu. Mencuri satu poin sudah keterlaluan, tapi musim ini tiga poin seolah diobral.
Generasi Ferry Rotinsulu, Ponaryo Astaman, Firman Utina, Muhammad Ridwan, Supardi, hingga Mahyadi Panggabean sudah melewati masa bakti untuk timnas beberapa tahun lalu. Namun entah mengapa naasnya Sriwijaya kehilangan sosok yang meneruskan bakti mereka untuk timnas. Kenyataannya, Sriwijaya FC kerap tercecer saat sedikit kontribusinya bagi timnas. Jika sebelumnya ada Fachrudin Aryanto dan Ahmad Jufriyanto, maka musim ini Sriwijaya [nyaris] tidak pernah menyetor nama untuk Luis Milla. Memang ada nama Teja Paku Alam serta Ichsan Kurniawan, tapi keduanya dianggap punya andil atas prestasi minor Sriwijaya FC, wajar jika keduanya tidak dilirik Luis Milla.
Bagaimana musim depan, hmmm
Review Geostorm
Film ini saya tonton justru bulan lalu, tapi baru sempat saya tuliskan review-nya saat ini. Bercerita tentang upaya manusia melawan alam yang ternyata dimanipulasi oleh manusia lainnya, film ini mematok segmen scientific-fiction sebagai genre-nya. Balutan teknologi masa depan memang tidak kental, tapi sebagai gantinya alur cerita yang kece menjadi penawar dan asetnya. Bagi yang gemar film dengan akhir cerita tidak terduga, maka ini film yang saya rekomendasikan.
Timur Tengah makin Gerah
Gejolak politik global belakangan malah semakin runyam. Justru di tengah konflik Semenanjung Korea, kisah lucu tapi memantik konflik malah terjadi dari Gedung Putih. Presiden Amerika Serikat menyatakan rencananya [entah baru wacana layaknya pemerintahan di salah satu negara Asia Tenggara yang di kemudian hari ternyata nggak jadi ataukah sudah berupa hal legal ] untuk memindahkan ibu kota Israel ke Yerussalem yang selama ini menjadi ibu kota de facto dan de jure Palestina.
Kejutan memang karena dalam kurun waktu satu tahun ini belum ada konflik 'di atas rata-rata' yang menjadi alasan kuat pemindahan tersebut. Justru Amerika Serikat lebih berkutat dengan potensi pecahnya perang rudal dengan Korea Utara. Nyatanya, Amerika Serikat malah membuka potensi perang dunia ketiga di jazirah Arab. Jika ternyata benar perang dunia ketiga dimulai lantaran konflik ini, sudah bisa ditebak bahwa eksistensi Amerika Serikat di peta dunia adalah taruhannya dan itu tidak sebanding jika Amerika Serikat fokus ada krisis Semenanjung Korea misalnya.
Indonesia sendiri, melalui pernyataan resmi Presiden Joko Widodo, telah menegaskan sikap kontranya dengna berbagai pertimbangan. Faktor sosial, histori, serta politik memang tidak ada yang mencondongkan republik ini untuk pro terhadap pemindahan tersebut. Jika konflik makin meruncing, bukan tidak mungkin imigrasi Indonesia akan 'kebobolan' terkait arus emigrasi WNI untuk ikut terjun ke wilayah konflik di Arab.
Hal yang lumrah sebuah negara memindahkan ibu kotanya. Malaysia, Myanmar, Brazil, Republik Tiongkok, bahkan Indonesia sendiri pernah dalam kondisi seperti itu. Jika Malaysia, Myanmar, dan Brazil terdorong kondisi pembangunan, maka Republik Tiongkok [bukan Republik Rakyat Tiongkok] dan Indonesia sedang dirundung prahara keamanan. Tapi status kelima negara itu adalah 'memindahkan sendiri', bukan 'dipindahkan oleh negara lain'. Hal yang sangat lucu melihat sejarah sebuah negara yang ibu kotanya pindah atas keputusan negara lain. Tentu dipertanyakan kedaulatan pemerintahannya. Walau kasus pemindahan ibu kota Israel oleh Amerika Serikat ini tidak menunjukkan bahwa Israel ada di bawah Amerika Serikat. Justru hal ini adalah bentuk nyata Amerika sebagai negara boneka dari Israel.
Hmmm
Sebuah Gerbang, Sebuah Tantangan, Sebuah Kesempatan, dan ...
Alhamdulillah, ada gerbang terbuka yang memercikkan asa untuk tumbuh. Saya tidak berpikir bahwa kesempatan ini patut untuk dirayakan. Ya alasannya simpel, tingkat kengeriannya jauh dibandingkan tingkat kemenyenangkannya. Fokus saja untuk memberikan yang terbaik, itu yang bercokol di benak saya.
Saat ini, saya mencoba untuk menata segala agenda saya agar sesuai dengan tantangan terbaru ini. Walau terbaru, justru statusnya adalah prioritas yang bakal menguras akal dan waktu saya. Harapan saja, semua ini diganjar dengan nilai ibadah. Bismillah
Alhamdulillah, Berlikunya Jalan untuk Foto ini
Baru ingat kalau belum unggah foto ini di blog. Mengingat fungsi blog ini sebagai pengingat di masa mendatang nanti, ya unggah deh walau telat hehee.
Selamat Persebaya, PSMS, dan PSIS
Jalan panjang di Liga 2 menuju Liga 1 akhirnya 'rampung'. Tiga tim 'klasik' alumni kompetisi Perserikatan tampil sebagai pemilik tiket yang legal. Jika tidak ada bencana nasional, seperti dualisme kompetisi maupun jual-beli lisensi, tiga klub ini bakal menjalani 34 pekan 'berdarah-darah' tahun depan. Merekalah pengganti Semen Padang, Persiba Balikpapan, dan Persegres Gresik United.
Jalan panjang, ya memang perjuangan ketiga klub ini sangat berliku. Mulai dari 'panjat pinang' yang melibatkan 30-an klub di babak penyisihan. Semua klub saling 'baku hantam' untuk dua jenis target, yaitu promosi ke Liga 1 versus bertahan di Liga 2. Khusus target yang kedua, ini pernah saya bahas di artikel lain, intinya 50 persen lebih peserta Liga 2 tahun ini bakal digusur ke Liga 3 tahun depan. Jadi, pencapaian Persebaya, PSMS, dan PSIS sudah sangat di atas target pada umumnya.
Pasca babak penyisihan, mereka beserta 13 klub lainnya menempuh babak 16-besar yang dibagi dalam 4 grup. Separuh dari mereka selanjutnya menjalani babak perempat final berupa dua grup dengan peserta masing-masing 4 klub. Akhirnya juara dan peringkat 2 tiap grup inilah yang kemudian mengarungi semifinal. Dari sisi administrasi, memang babak final antara PSMS vs Persebaya adalah klimaks dari segala pertanding. Tapi dengan tujuan dasar persaingan berupa memperebutkan tiket ke Liga 1, maka laga perebutan tempat ketiga antara PSIS vs Martapura FC adalah laga pamungkas yang paling menyita tangis. Oh ya, tiga klub ini punya kesamaan yang barangkali jarang untuk dibicarakan selain status sebagai alumni Perserikatan.
Alumni Indonesia Super League
Ketiga klub ini sempat merasakan manis getirnya kasta tertinggi dalam era Indonesia Super League. Malahan PSMS dan PSIS adalah kontestan edisi pertama yang digulirkan tahun 2008 lalu. Sayang keduanya langsung 'diwisuda' lantaran berkutat di papan bawah. Jika PSIS didegradasi langsung, maka PSMS sempat mengais asa pada babak 'play off'. Kebetulan di babak itu lawan mereka adalah Persebaya, saya kebetulan salah seorang penonton laga dramatis itu lantaran lokasinya di Stadion Siliwangi, Bandung. Ya, Persebaya menjadi 'peserta didik' Indonesia Super League pada edisi kedua, sayang, semusim berikutnya mereka 'diwisuda' lewat kontroversi yang panjang. Kebetulan Martapura FC.
Kontroversi yang Dahsyat
PSMS dan Persebaya punya kesamaan khusus berupa korban dualisme klub. Bencana dualisme kompetisi di tahun 2011 melahirkan dua versi tiap klub tersebut, plus juga Persija dan Arema. Menariknya, klub salinan yang tersisa tinggal satu dan itu yang justru juara Liga 1, yaitu Bhayangkara FC. Agar lebih sadis, jangan lupa satus Persebaya selaku juara Liga 2. Artinya ada dua klub yang pernah/kembali menyandang nama Persebaya dan juara dua kompetisi tertinggi di Indonesia. PSIS bagaimana ya, hmmm. Gara-gara mereka, dan juga PSS Sleman, acara Mata Najwa mendadak membicarakan sepak bola. Insiden sepak bola gajah menyeret nama PSIS selaku aktor di lapangan, lebih tepatnya tumbal. Sayang tidak ada lanjutan pengusutan siapa dalang/sutradara aslinya.
After more than 3 years
Paper-Ideas Session om Digital Business
Last Session in SI-41-IN
yang Terbaik versi-Nya saja
Aku sadar maharintangan yang akan menjadi karibku di sepanjang masa ke depan
Lolos bukan hal yang patut dirayakan
Sujud dan syukuri seperlunya
Lantas benahi cara berjalan
Ah, aku tak mau berlebihan dalam berangan-angan
Khawatirku ialah terjebak pada ketakaburan
Padahal sungguh tiada yang layak disombongkan
Sudahlah, aku lebih nyaman dalam heningnya perjalanan ini
Naif bila aku tak berharap hasil positif
Namun dengan segala keterbatasanku
Aku berharap yang terbaik versi-Nya
Sebagai peranku ikhtiar lalu tawakal
Selamat Bhayangkara FC
Saya baru sadar bahwa saya belum mengucapkan selamat di blog ini khusus untuk Bhayangkara FC. Bukan karena saya tidak senang atas pencapaian mereka ataupun lantaran saya dipersulit proses pengajuan SIM C oleh pihak pemilik klubnya. Semata lantaran kesibukan yang sedang yoi-yoinya.
Saya memang tidak terlalu memperhatikan kiprah klub ini dengna seksama. Berapa kali saya menonton laga mereka di televisi masih bisa dihitung dengan dua tangan, bahkan rasanya saya lebih sering menonton Persipura, PSM Makassar dan Bali United, jangan bandingkan dengan frekuensi saya menonton Sriwijaya FC. Tapi dalam kesempatan yang secuil itu, saya mengakui bahwa mereka punya kualitas menjadi juara di kompetisi Liga 1. Saya melihat soliditas permainan tim yang sama tangguhnya dengan Persipura, PSM, dan juga Bali United. Bahkan ketiga tim tersebut sempat dijungkalkan oleh Bhayangkara FC. Hanya saja tiga faktor yang membuat orang mengabaikan prestasi Bhayangkara FC di lapangan. Pertama adalah induk organisasi, yaitu Kepolisian RI yang citranya masih perlu diperbaiki. Kedua adalah asal usul klub yang sangat susah dijelaskan dalam satu paragraf singkat.
Tidak seperti Sriwijaya FC, Mitra Kukar, Madura United, Borneo FC, ataupun Bali United yang proses akuisisinya dari Persijatim Solo FC, Niac Mitra, Pelita Bandung Raya, Perseba Bangkalan Super, ataupun Putra Samarinda berjalan relatif mulus. Proses kemunculan Bhayangkara FC merupakan 'warisan' dari mahakonflik 2011-2013. Membelotnya Persebaya Surabaya ke Liga Primer Indonesia, menyebabkan Persikubar Kutai Barat digaet dan dipermak menjadi Persebaya dalam tanda kutip. Pengadilan lantas mengganjar mereka untuk menanggalkan nama Persebaya hingga segala liku akhirnya berakhir saat Kepolisian RI mengakuisi klub ini. Jelas tidak ada tujuan yang tergambar cerah saat itu. Barangkali jika Persebaya tidak kabur ke LPI, andai Persikubar tidak berganti wajah, misalnya Persebaya tanda kutip tidak lolos ke Indonesia Super League, kalau saja Kepolisian RI tidak mengklaim klub ini, segala faktor-faktor merupakan kompilasi berlaganya Bhayangkara di Liga 1. Jelas sejarah unik yang membuat 30-an klub Liga 2 meradang lantaran mereka berdarah-darah memperebutkan tiket ke kasta tertinggi Liga 1. Tapi kedua faktor tadi tidak ada apa-apanya dibandingkan faktor ketiga, yaitu kemenangan Bhayangkara FC di meja hijau atas Mitra Kukar. Lho kenapa memang//
Mitra Kukar menjadi korban kebingungan dokumen yang tidak lengkap dalam menginformasikan siapa saja yang lantas bermain. Alhasil skor imbang 1-1 di lapangan pun direvisi menjadi kemenangan 3-0 Bhayangkara FC. Keputusan abu-abu yang menjadikan perolehan poin Bhayangkara FC mengimbangi Bali United. Imbang di sini pun nir-makna bagi Bali United lantaran klausul di Liga 1 yang menentukan peringkat klub yang poinnya sama berdasarkan rekam jejak laga antar-klub di musim tersebut. Apes memang bagi Bali yang dua kali dikangkangi Bhayangkara FC. Apesnya tuh di sini lantaran Bali United sempat didapuk juara liga pasca-kemenangan dramatis atas PSM yang menyebabkan PSM dan Bhayangkara FC tidak mungkin menyamai poin Bali United. Tapi lagi-lagi keputusan kontroversi ini merecoki drama yang luar biasa. Kompetisi yang paling ketat sepanjang saya menikmati Liga Indonesia era 2000 [saat PSM juara] harus dipamungkasi dengan ketidakakuratan administrasi. Yang paling konyol ketidakakuratan ini melibatkan nama seorang marquee player. Ironi, status marque player yang diharapkan menjadi pembeda kualitas kompetisi malah menjadi penentu diberikannya poin khusus. Dampak nyatanya sangat jelas, orang-orang meragukan kualitas Bhayangkara FC.
Padahal, skuad mereka punya kualitas yang jujur saja memang di atas klub-klub tradisional seperti Persib Bandung, Persija, Arema, dan Sriwijaya, keempat klub ini lebih heboh di bursa transfer. Bertolak belakang dengan Bhayangkara FC yang hanya punya nama beken dalam diri Otavio Dutra, Evan Dimas Darmono, dan lalu Ilja Spasojevic. Tapi Evan Dimas banyak cuti untuk timnas, sementara itu Spaso baru muncul di putaran kedua. Kalau bukan skuad yang solid, lantas apa yang membuat mereka bisa mengangkangi lawan-lawannya.
Selamat Bhayangkara FC, walau saya menjagokan Bali United tapi saya mengakui prestasi kalian musim ini
Selamat Bhayangkara FC, walau sejarahmu rumit tapi saya mengakui bahwa ini adalah tamparan bagi klub-klub yang terlalu mengandalkan nama besar di masa lalu
Selamat Bhayangkara FC, saya menantikan kontribusimu untuk persepakbolaan Indonesia berikutnya