Alhamdulillah kesampaian juga bisa beli buku dengan keringat sendiri (maksudnya gaji lho ya, bukan saya ngumpulin air keringet trus dituker ama buku di gra*med)
Well, seperti biasa, buku ini memang "nohok" banget ceritanya. Bisa dibilang novel yang "nohok" buat saya itu baru Trilogi 5 Menara serta Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Tatkala melahap Negeri 5 Menara (yang persis belinya pas ulang tahun di Kota Tegal), rasanya seperti sedang SMA dengan sosok di situ terbayang beberapa teman dan berbagai "kerasnya" dunia SMA yang rasanya "deja vu". Ranah 3 Warna? Waoww, novel yang saya dapatkan saat hari pertama KP di Semarang ini pun kerasa nendang banget, kenapa? Saat KP, tingkat kegalauan saya terhadap dunia kuliah sedang fluktuatif (kadang menukik hingga titik nadir, kadang melonjak). Memang ada perbedaan, si Alif Fikri beasiswa ke Kanada, lha saya? cuma bikin paper ke Yogya ama Bandung (itu aja setahun kemudian). Rasanya pailit finansial di tanah rantau, menohoknya pergulatan hati (ceileh bahasa lhee).
Dan di Rantau 1 Muara ini memaparkan kondisi setelah Alif Fikri lulus lantas meretas karir sembari mencari belahan jiwa, nah ketiganya ini (bukan cuma poin ketiga) pas pake bangete dengan saya di 2013 ini. Lulus dengan predikat standar aja, alhamdulillah setelah ditolak sana-sini akhirnya memperoleh kesempatan mengadu nasib di Jakarta, mmmm untuk yang mencari belahan jiwa saya skip dulu y.
Entah lantaran saya yang punya karakter langsung mudah terbayang visual tatkala membaca sesuatu, muncul berbagai sosok di dunia nyata persis ketika mengikuti alur cerita di sini. Di tempat kerja mendadak terbayang wajah-wajah di kru ID Kreatif, tim IT, membaca nama Aji langsung terbayang mas Aji, CEO Lare Angon, nah untuk karakter Dinara please jangan tanya ataupun japri nanyain y..please..
Untuk cover novel Rantau 1 Muara, wiwww, warnanya agak biru-biru torkuis, salah satu warna kesukaan saya, kemudian kata Rantau yang sudah akrab di telinga saya sejak 2008 justru dipadukan dengan Muara, kosakata yang sedang dalami sekitar 3 bulan ini. Tampaknya novel ini muncul di momen yang tepat ketika perlu rujukan mengenai hakikatnya muara hidup. Meskipun ini novel (setengah) fiksi, namun pesan moral di dalamnya sangat riil. Porsi penggunaan dialek Minang pun masih mudah dicerna (apa karena saya keseringan komunikasi dengan orang Minang y?) Kalau boleh jujur, novel itu cukup memuat berbagai istilah yang sebenarnya "dakwah". hal itu tercermin di beberapa petuah di akhir buku.
Kekurangan tentu ada, beberapa yang belum terungkap di sini adalah bagaimana berbakti kepada orang tua dalam kondisi LDR, bagaimana mempersiapkan sebuah pernikahan, serta profil rinci 6 personel 5 menara. Padahal penasaran ey terhadap ketiganya.
No Response to "Review Rantau 1 Muara"
Posting Komentar