Cita-cita merupakan nafas yang menghidupkan masa depan. Setinggi apapun status pendidikan kita, apabila cita-cita tidak dimiliki maka kita tidak lebih berguna dibandingkan tutup botol minuman soda dimana benda seperti itu saja bisa dimanfaatkan untuk kerajinan barang bekas. Cita-cita, entah itu yang berjangka pendek, agak panjang, atau bahkan yang direncanakan hingga pasca-ajal, menjadi kita mawas diri bahwa ikhtiar itu harus. Ketika cita-cita pun tidak punya, maka bagaimana kita bisa membuktikan keimanan kita? Bahkan Rasulullah pun mempunyai cita-cita sehingga pada akhirnya sampailah ajaran Islam pada kita.
Namun ada kalanya cita-cita yang menjadi obsesi kita justru menjadi "topik" utama ujian yang dikirimkan-Nya. Di situlah kembali Allah menyeleksi kepada siapa kita bersandar? Alih-alih teorinya kita bertawakal dan meminta pertolongan kepada Allah, kadang kita justru mempertanyakan keadilan Allah. Mempertanyakan keadilan Allah? Bukankah Allah itu Maha Adil? Berarti saat mulai ragu terhadap keadilan Allah berarti iman kita terhadap Allah sedang terancam.
Hal seringkali terlupakan adalah melihat cita-cita sebagai sebuah hal yang manis manis dan manis. Padahal cita-cita merupakan sebuah paket dengan segala konsekuensi manis dan PAHIT yang sudah "embedded feature".
Ketika hati meniatkan untuk menargetakan sebuah cita-cita maka saat itu pula diri ini bersedia menerima berbagai ujian yang berkaitan dengan cita-cita tersebut, bahkan ujian yang berlabelkan cita-cita tersebut sudah siap menyambut dalam perjalan menggapainya. Dan dengan pertanyaan lain "ikhlaskah dia dengan segala konsekuensi menuju cita-cita tersebut?".
Sebagai umpama, seorang siswa kelas X (kurikulum 2006 hehee) bernama Kurma. Kurma sangat mengidamkan jurusan IPA alias NS. Ketika IPA/NS menjadi cita-citanya, maka (seharusnya) saat itu pula dia bersedia menerima berbagai cobaan dari Allah dengan embel-embel berkaitan dengan IPA/NS. Apalagi segala ujian yang terkait IPA/NS sudah muncul jauh sebelum cita-cita itu bisa digapai, yaitu proses menuju cita-cita. Dan justru ujian yang berkaitan dengan IPA/NS merupakan tolok ukur bagi diri sendiri apakah memang dunia IPA/NS yang menjadi cita-cita sesuai dengan kapabilitasnyakah?
Umpama lainnya adalah Sawo, si mahasiswa Informatika semester 4 jebolan SMA yang sangat mendambakan jurusan Informatika sejak kelas X. Tugas ngoding frekuensinya melebihi dosis minum obat. Secara konkret, Sawo telah meraih cita-citanya, tapi ujian Allah belum berakhir. Cita-cita yang telah diraih itu harus dipertahankan dari segala ketidakenakan yang otomatis muncul ketika status mahasiswa informatika diraih.
Bahkan iri hati pun mengatasnamakan cita-cita untuk mengibuli kita. Boleh jadi pembaca (dan tentunya saya) mengalami kondisi dimana cita-cita belum diraih atau bahkan gagal diraih tapi teman kita justru memperolehnya. Tentu rasanya seperti disemprot jeruk nipis persis di pelupuk mata :) Dan kita menjadi orang paling malang sedunia, facebook menjadi tempat mengadu, bukan malah berwudhu dan bertahajud atau setidaknya berdzikir. Dan mulailah iri hati mencongkel optimisme kita terhadap skenario-Nya.
Alkisah Jagung dan Singkong berebut menarik simpati Anggrek. Jagung dengan segala prestasi menterengnya optimis bahwa dialah yang layak bersanding dengan Anggrek, malah sudah membayangkan tagline Jagang di rumah masa depannya (Jagang? ga enak banget ngebacanya nih). Ketika ditanya motif jagung mengincar Anggrek, keluarlah jawaban diplomatis bin muluk-muluk. Kesamaan visi (versi si Jagung), prestasi akademik, kemapanan finansial, dan tak lupa agama #tsahhh (sambil mengayunkan rambut ala anime-anime gitu). Ketika tahu "hanya bersaing dengan Singkong yang sepengilatan Jagung tidak punnya kelebihan apa-apa. Namun masa depan bicara takdir Illahi, bukan angan/mimpi seorang individu. Justru Anggrek memilih Singkong. Jagung pun terjatuh tanpa bisa bangkit lagi, Jagung tenggelam dalam lautan dalam tersesat tanpa tahu arah pulang, padahal besok ada bimbingan skripsi ama dosen tuh. Well, jika ada posisi Jagung boleh jadi rasa iri sudah mencapai skala cumlaude. OK, tagihlah latar belakang cita-cita itu!! Menikah sebagai ibadah ataukah sekedar bermoduskan hawa nafsu lain jenis, apalagi dengan target tertentu =_=
Wah, ternyata ujian Allah itu dari berbagai jalur, bahkan rezeki yang diperoleh teman pun menjadi ujian bagi kita. Punya cita-cita ber-S2 tapi belum kesampaian, eh temen justru ada yang dapet padahal dia ambil S2 lantaran dipaksa orang tuanya. OK, pertanyaan baru pun muncul, mau menghabiskan waktu dengan berkeluh kesah ataukah semakin bersemangat untuk tidak mau ketinggalan?
Wah, ternyata ujian Allah itu dari berbagai jalur, bahkan rezeki yang diperoleh teman pun menjadi ujian bagi kita. Punya cita-cita ber-S2 tapi belum kesampaian, eh temen justru ada yang dapet padahal dia ambil S2 lantaran dipaksa orang tuanya. OK, pertanyaan baru pun muncul, mau menghabiskan waktu dengan berkeluh kesah ataukah semakin bersemangat untuk tidak mau ketinggalan?
Cita-cita, ya cita-cita...
Apapun bentuknya itu ujian dari Allah
Pada siapakah tempat kita mengadu atas berbagai peliknya jalan untuk meraih atau bahkan mempertahannya?
Sejauh manakah kesungguhan kita meraihnya? Sebatas wacana? Ocehan? Mencoba sekali, gagal lalu cengeng dan kapok? Ataukah apa?
Pastikan cita-cita sesuai dengan jalan-Nya dan menjadi sarana mendekatkan diri kepada-Nya
No Response to "Menagih Komitmen Bercita-Cita"
Posting Komentar