History is about repeating past-present-future
Agaknya saya sepakat dengan ungkapan itu. Sepakat karena dalam kasus tertentu, namun tidak sepakat sepakat di kasus secara umum. Ini berkaitan dengan jenjang pendidikan yang saya lalui dari SMP s.d. S2 (SD tidak saya masukkan karena cenderung ad-hoc dan belum memilih mau kemana). Ternyata ada beberapa perulangan unik yang terjadi secara berulang-ulang saat menjalani masa-masa di masing-masing jenjang tersebut.
Pergantian pucuk pimpinan
Saat naik ke kelas 2 SLTP, amanat Kepala SLTP diestafetkan dari Pak Marpoe yang pensiun kepada Pak Soeparto. Lantas di semester 4 XI.IA, setelah hampir 8 bulan menjadi Plt., Bu Sri Rejekiningsih menjadi Kepala SMA N 1 Slawi yang definitif menggantikan almarhum Pak Suwito. Fenomena ini berulang pada saat memasuki jenjang sarjana di IT Telkom semester 3, sosok Pak Ahmad Tri Hanuranto menjadi suksesor Pak Husni Amani. Kebetulan di semester 3 tersebut, saya sedang ada di BEM, khususnya Depkominfo sehingga menerima banyak informasi yang berkaitan dengan proses pemilihan yang sangat krusial karena saat itu tuntutan IT Telkom menjadi World Class University sangat tinggi. Sosok AT Hanuranto bersaing ketat kualitas berpikirnya dengan sosok Jangkung Raharjo. Nah momen serupalah membuat saya agak heran (dan akhirnya menuliskan keunikan ini). Ya, momen serupa berupa UI tempat saya ber-S2 saat ini tengah melakukan pemilihan calon rektor dimana dari 27 bakal calon telah terpilih 7 calon rektor. Jujur saya tidak terlalu mengetahui banyak terkait profil ketujuh calon rektor tersebut. Faktor agenda perkulihan dan kerja ditambah tidak adanya akses kepo membuat saya menematkan diri sebagai penonton yang "mencoba aktif berkepo" hehee.
Nge-ekskul di Karate dan Pramuka
Untuk dua jenis agenda di luar pelajaran dan kuliah tersebut, tidak seratur persen menjadi tradisi dari SMP s.d. S2. Saat SMP, rasa penasaran membuat saya ikut Karate di samping PRamuka yang wajib. Eh, nggak tahu kenapa begitu SMA malah agak terbalik, saya sangat penasaran dengan Pramuka sehingga lebih aktif di Pramuka walau di Karate jug amasih berjingkrak-jingkrak. Memasuki jenjang kuliah di kampus teknik nan berkomputer, ternyata dua ekskul (yang berwujud UKM) tidak saya jumpai. Sempat terdengar ada Karate tapi perguruannya berbeda dan vakum. Pramuka? Nyaris tak pernah terdengar, bahkan isunya pun tiada. Ternyata di sinilah keunikan terjadi. Ajakan untuk merintis UKM Pramuka muncul di semester 3 dimana pertemuan unik di lab Fisika plus kesamaan frekuensi dengan senior waktu SMA, menjadikan sebuah komitmen pendirian Pramuka di tengah kampus yang agak metropolis. Jangankan di IT Telkom, di UGM yang sudah ada sejak sekitar 3 dekade lalu pun, eksistensi seragam Pramuka masih dipandang seperempat mata, apalagi di sini. Di penghujung 2010, sebuah poster membuat saya terbelakak dan susah tidur berhari-hari. Bukan karena memakai double tip atau ukurannya yang menyalahi kode etik permadingan, melainkan kontennya tentang ajak bergabung menggerakkan UKM Karate di IT Telkom. Jrengggg. Tidak menjadi perintisnya tak apalah, yang penting bisa kembali menemukan rumah. Eh, karena satu lain hal nyaris setahun pasiffff banget, hingga akhirnya di semester 8 s.d. 9 saya bisa benar-benar menyediakan waktu untuk kembali berkarate. Bisa dibilang ada yang spesial terkait siklus berkarate saya, yaitu lebih banyak berkarate justru di tahun terakhir, yups momen di kelas 3 SMP, kelas XII SMA serta semester 8 dan 9, menjadi momen terdominan saya terkait Karate.
Tapi, siklus ini (sejauh sekarang) terhenti lantaran di S2 saya tidak bergabung dengan UKM Pramuka UI, Kalpavriksha, serta UKM Karate. Alasannya terkait ketersediaan waktu dimana keduanya banyak mempergunakan hari kerja. Selain itu, opsi organisasi saya ternyata ada di FUKI dimana faktor kebutuhan nutrisi rohani plus ketersediaan waktu yang lebih longgar di FUKI menjadikan saya lebih memilih FUKI daripada Pramuka dan Karate. Walau demikian, saya memiliki perasaan kikuk ketika di beberapa momen berpapasan dengan anak-anak Pramuka dan Karate saat mereka beragenda dengan kostum cokelat dan putihnya.
Rehab Perpus
Nah, ini keunikan yang sangat jarang terjadi. Yups, dari era SMP s.d. S1, saya menyaksikan bahwa perpus mengalami perombakan massal, khususnya dari sisi administrasi dan infrastruktur. Saat SMP, Bu Sri Sukiyanti, guru Bahasa Indonesia, yang menjadi pengelola perpus mengajak murid-murid untuk berduyun-duyun ke perpus membenahi tata kelola di dalamnya. Eh, jaman SMA, fenomena ini berulang dimana Bu Sunarni, guru Bahasa Indonesia plus pembina KIR, menjadi pengelola perpus yang baru. Anak-anak KIR dikerahkan untuk membantu sukarela proses admnstrasi dan klasifikasinya. Bahkan lewat koneksi yang unik, anak-anak Pramuka diterjunkan ke proyek sosial ini. Sungguh agenda yang menyenangkan walau mengurasi waktu hampir sebulan. Namun sungguh saya menikmatinya. Kenangan tersebut agak tereduksi lantaran di S1 saya tidak terlibat proses pembenahan perpus sama sekali. Perpindahan perpus dari Gedung G ke LC hanya bisa saya amati dari jauh. Dan di S2 ini, fenomena tersebut tidak berlanjut. Walau demikian, perpus jadi tongkrongan wajib jika ada di Salemba dimana ada Pak Wiryo yang ramah dan mudah mengenali mahasiswa, plus suasana yang teduh.
(almost) Repetition 2002/2014
Sabtu, Oktober 25, 2014 by
ve
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "(almost) Repetition 2002/2014"
Posting Komentar