Akhirmya penantian sejak awal tahun ini selesai terkait movie Rurouni Kenshin *tabur bunga dr genteng*
Bermodalkan bangun pagi *parah ye bangun pagi bukannya upacara malah nonton bioskop. Awalnya hendak bareng kawan terbaik saya, Mas Arief tapi ternyata berhalangan beliau. Nah, surprise banget di saat antre karena bertemu ama Mba Kimi, eks Junior Editor Indonesia Kreatif wkwkwk.
Fokus sekarang ke film tersebut yang sekuel ini diberi tagline The Legend Ends. Sungguh banyak nilai-nilai implisit di film ketiga ini. Terutama berkaitan dengan akulturasi budaya dan kekuasaan.
Film dibuka dengan kesibukan Shinta alias Kenshin cilik menggali kubur, tapi bukan untuk orang tuanya, melainkan para perampok yang telah dihabisi nyawanya oleh sosok yang menjadi guru Kenshin. Shinta beranggapan bahwa ketika orang sudah mati maka dia sama dengan jenazah orang lain, tak perlu memedulikan apa yang telah diperbuat saat hidup. Bisa dibilang karakter agak lugu inilah menjadi akar pergolakan batinnya seumur hidup.
Nggak banyak yang akan dikupas di sini, toh ini bukan resume kuliah :p jadi sikok sikok sajo...
Inti utama cerita di sekuel ini dan menjadi pembeda dibandingkan dengan versi anime adalah dijadikannya Kenshin sebagai tumbal untuk memancing pergerakan Shishio. Langkah gila yang sungguh ditentang habis-habisan oleh Saito Hajime. Memang Saito adalah seorang loyalis terhadap negara (tapi dia tidak pernah memihak ke pemerintahan atau rezim tertentu) dan dia juga rivalKenshin karena berbeda visi plus hilang nyawa untuk membela negara adalah hal yang wajar, namun sebagai sesama samurai, fia merasa tidak layak Kenshin diperlakukan seperti itu. Kenshin sendiri muncul ke permukaan setelah menghabiskan berhari-hari untuk "kuliah fast track" hiten mitsurugi. Dipandu oleh sang guru yang luar biasa kecenya, Kenshin menemukan hakikat diri dalam bertarung.
Hal yang cukup menggelitik terkaitan perbedaan dengan versi anime adalah durasi berantemnya pasukan Jupongatana yang sangat ringkas. Dari 10 prajurit Jupongatana, hanya 3 yang diberi kesempatan jempalitan paling banyak, yaitu Chou (tapi di sekuel 2), Sojiro Seta, dan Anji.sosok Kamatiri, Fuji, hingga Iwanbo tidak ditampakkan spesialisasinya. Tidak ada serangan udara khas si manusia kelelawar ataupun sabit raksasa ala Kamatiri. Yang paling mengecewakan tentu saling tatap dan saling tebas yang tidak lebih dari 5 detik antara Saito dengan Usui. Sosok Usui yang bertangan dingin dan berkemampuan radar suara 99% sirna. Saito tanpa susah payah menamatkan riwayatnya di 5 detik itu. Padahal Usui merupakan prajurit terkuat nomor 2 di Jupongatana. Nomor 1 Sojiro dan Usui tak bisa menandinginya karena emosi tak bisa dilacak oleh Usui.
Kebrutalan sebagai film action masih bisa dijumpai di sini. Negosiasi "bodoh" Menteri Ito dengan Shishio justru membuka aib bahwa atas nama politik, Ito akan membuat berita yang mengutamakan nama baik pemerintahan. Tawaran untuk melimpahkan semua dosa Shishio pada Kenshin justru diterimanya.
Walau demikian, ternyata Ito punya rencana "licik" berupa mempelajari kekuatan dan kelemahan kapal perang Shishio. Sungguh kalau boleh jujur, tokoh antagonis utama di sekuel ini justru bukan Shishio menurut saya, melainkan Ito yang sangat oportunis dan pragmatis.
Kenshin yang baru selesai "kuliah" langsung dibekuk polisi, langsung dilibatkan dalam "drama" eksekusi. Ketika dia didudukan ke posisi terdakwa, saya sudah punya feeling bahwa si algojonya itu Saito dan ternyata benar. Dalam hitungan detik, dipimpin Saito, seluruh polisi langsung bergerak membalikkan keadaan. Baku pukul, eh baku tebas, menjadi sajian di pinggir pantai dimana Kenshin (plus Sanosuke) langsung dikirim ke kapal perang Shishio. Di sinilah lakon duel antara Kenshin and the backbone versus Shishio and Jupongatana menjadi sajian penutup yang manis. Laga Kenshin versus Sojiro dikonversi dari perang batin menjadi perang taktik, tebasan Kenshin ke kaki Sojiro menjadi kunci kemenangan. Dan pada akhirnya saga "keroyokan" Shishio melawan Kenshin, Saito, Sanosuke, plus Aoshi mengakhiri detik-detik pemberontakan Shishio.
Ngomong-ngomong, secara pribadi saya menilai pemeran Shishio yang lupa namanya ini patut disematkan gelar sebagai best performances. Tidak lebay dan tentunya mampu berekspresi di tengah keterbatasan visual. Sosok Shishio yang dibalut perban sekujur tubuh menjadikan pemerannya hanya punya kesempatan mengeksplorasi diri pada sisi sorot mata, intonasi, dan koerografi berantem. Dan dia sukses berat. Begitu pula sosok Saito yang lebih eksploratif tanpa menanggalkan watak introvert dan pragmatisnya, walau kesan tengilnya hilang.
Best moment? Tentu saja saat teriakan Misao dan si mas-mas yang siapa sih itu namanya yang dari tim mata-mata Kyoto kepada Kenshin. Kenshin yang telah menumbangkan Aoshi dan hendak menolong Jiiya justru dimint aagar fokus melanjutkan perjalanannya. Sungguh itu nyentuh banget.
Well, udahlah ya "bocorannya". Akhir kata "kereeeen"
Review Rurouni Kenshin 3
Sabtu, Oktober 25, 2014 by
ve
Posted in
Bioskop
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Review Rurouni Kenshin 3"
Posting Komentar