Alasan awal saya tertarik nonton film ini sederhana, yaitu topik cerita tentang toleransi beragama dan ketertinggalan pendidikan. Dua isu menarik ini eh teryata dibintangi juga oleh komedian favorit saya, yaitu Arie Kriting. Apalagi trailer-nya eh kok ada suasana Ciwidey dan juga Atambua (NTT). Wah ini bakal menarik, suguhan dua budaya yang mewarnai durasi film ini dengan sajian konflik sosial berbau SARA yang seperti apa pangkalnya? Ah pangkal jelasnya mending langsung saja tonton di bioskop. Hehee
Kalau boleh jujur, suasana penempatan Aisyah ke Atambua kental dengan identitas Indonesia Mengajar dan SM3T, walau tidak disebutkan afiliasi organisasi pendidikan Aisyah. Di sini, saya tertarik dengan adegan konflik batin antara Aisyah dengan ibunya. Well, jika biasanya bumbu konflik ibu-anak di film-film adalah perkara memilih jodoh, nah kali ini tentang pilihan karier di tanah jauh. Taktik tiap individu untuk berargumen, ngambek, hingga akhirnya saling menyerah menjadi hentakan di awal film.
Lepas dari aral untuk pamit, Aisyah harus mendapati dirinya "terdampar" di tanah tandus tanpa ada toko ataupun apa, termasuk betapa langkanya sinyal ponsel. Ya, penggambaran suasana desa di NTT ini sangat keras. Seolah mewakili kalimat "Ini NTT Bung". Ah tapi kekocakan dan "kepolosan" Petrus (Arie) memecah kekeringan suasana itu. Secara suku, Arie memang bukan berlatar NTT, melainkan Wakatobi. Namun kepiawaiannya melafalkan dialek daerah-daerah di Timur menjadi ciri khas. Barangkali jika sosok Abdur "diceburkan" di sini, wah agaknya suasana dialek timurnya makin kental (dan saya perlu menyiapkan peredam suara karena lengkingan orang satu ini). Kembali ke laptop. Aisyah yang tampak masih emosi atas pilihannya ternyata kurang "kepo" terhadap budaya dan suasana di sana. Beruntung dia punya bekal mental untuk tidak mudah gugup.
Film ini boleh dikatakan sebagai sindiran atas ketertinggalan pendidikan di Indonesia bagian Timur. Mungkin bicara Makassar, Manado, dan Jayapura, kota-kota itu masih punya daya saing plus denyut kencang di roda ekonomi dan pendidikan. Tapi untuk daerah lainnya? Pendidikan adalah barang mewah. Yang mewah sehingga gelar lulus SD menjadi hal yang sakral walau kerap dipertanyakan apa manfaatnya. Fasilitas atau peralatan pendidikan tergambar jelas bahwa sangat apa adanya. Saya pribadi berharap film ini menjadi propaganda (dalam arti positif) yang menyengat kementerian di bidang pendidikan, pembangunan desa, perekonomian, atau bahkan presiden. Terlalu naif jika kekuasaan besar sebagai lembaga eksekutif tidak dimanfaatkan untuk menghadirkan kebijakan yang berdampak masif bagi daerah tertinggal.
Salut untuk film dengan penuh nutrisi ini
Review Aisyah, Biarkan Kami Bersaudara
Selasa, Juni 07, 2016 by
ve
Posted in
Bioskop
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Review Aisyah, Biarkan Kami Bersaudara"
Posting Komentar