Film bernutrisi tinggi ini disajikan dengan arus cerita yang sederhana. Bagi yang keukeuh dengan idealisme tingkat prfeksionis tinggi, film ini mungkin kurang memuaskan selera. Tapi bagi yang berharap kisah sederhana penuh makna, maka film ini patut ditonton bersama-sama. Ya, film ini sangat garing jika hanya ditonton sendirian karena ada nilai-nilai kerja sama berkeluarga dan bersahabat yang bakal lebih nendang. Maka ajaklah keluarga ataupun sohib-sohib kalian.
Satu hal yang menarik sejak memperoleh informasi tentang film ini adalah judulnya, yaitu Surga Menanti. Kenapa yang melakukan penantian malah surga ya? Bukankah ini cerita seseorang yang ingin menggapai surga dan memperjuangkan surga bagi kedua orang tuanya, tapi kenapa malah surga yang menjadi subjek di judulnya? Tentu bukan tanpa alasan atas pilihan judul ini. Singkat cerita film ini menggambarkan tentang amalan yang justru membuat kita dirindukan surga, sesuatu pada awalya kita kejar.
Kisah seorang anak muda yang berupaya mengejar cita-cita di luar mainstream, yaitu menghafal Al Qur'an. Upaya tersebut ternyata bertepatan dengan akhir hayat kedua orang tuanya dalam tempo waktu yang tidak lama. Sepintas kesehatan si ibu yang kritis bakal menandai kisahnya menjadi seorang piatu, namun siapa yang menyangka justru sang ayah yang pergi mendadak lantaran sebuah kecelakaan. Di sini kita disodorkan pesan bahwa maut tidak identik dengan tingkat kesehatan. Pesan sederhana yang sangat menghentak. Sebelum pergi, si ayah ini sudah menghadapi kesehatan sang istri yang benar-benar memprihatinkan. Namun tanpa sedikit pun keluhan, dia merawat istrinya, cocwiiitt, dengan berbagai prasangka baik akan kehendak Illahi. Di bagian ini terus terang saya merinding karena tak terbayangkan musibah yang meyangkut nyawa antara hidup atau mati malah bisa disikapi dengan cara yang terlalu bijak bagi sebagian awam.
Di balik penyelenggaraan layar kaca yang mengesankan ada dua hal yang menurut sayang banget agak terlewat. Pertama teknis tokoh utama menjadi seorang hafiz yang tampak lurus-lurus saja seolah tapa hambata kecuali sakit yang mendera ibunya sehingga harus keluar dari madrasahnya ke sebuah taklim masjid. Hal ini mengundang pertanyaan bagaimana bisa menjadi seorang hafiz di lingkungan yang mungkin tidak seideal di film tersebut, misalnya seorang anak jalanan yang sambil bekerja. Mungkin ada pertimbangan lain. Kemudian jenjang kuliah yang dilaluinya di Provinsi Aceh yang kebetulan bertemu dengan beberapa teman masa kecilnya. Hal ini agak janggal karena bakal memancing pertanyaan mengapa tahu-tahu ada di Aceh? Apakah si tokoh utama mencari kampus dengan suasana Islam yang kental? Kemunculan di Aceh ini memerlukan penghubung yang sayangnya kurang klop dengan alur cerita sebelumnya. Jika boleh usul, saya lebih tertarik membayangkan bagaimana si tokoh utama ini mengamalkan Al Qur'an sebagaimana pesan si ayah tatkala si tokoh utama menyelesaikan hafalan 30 juz-nya.
No Response to "Review: Surga Menanti"
Posting Komentar