Era globalisasi memang sangat deras melanda dunia akademik dan dunia kerja. Tidak heran bila Bahasa Inggris menjadi kompetensi yang dianggap 'fardhu' di dua dunia tersebut. Saat saya SMP di kurun 2002 s.d. 2005, kesulitan berbahasa Inggris dianggap wajar, pun saat SMA. Malahan belum ada pelajaran Bahasa Inggris di lingkungan SD/MI. Bagi kuliah di rumpun teknologi informasi ataupun kerja di lingkungan digital/teknologi informasi, berbagai terminologi berbahasa Inggris malah lebih banyak berserakan. Saya tidak menganggap keharusan menguasai Bahasa Inggris sebagai pantangan. Tidak bisa kita beridealisme anti-bahasa asing karena ini era globalisasi. Hanya saja yang terjadi adalah literasi berbahasa mahasiswa ataupun paktisi industri yang kurang cermat dalam menggunakan masing-masing bahasa, ini masalahnya. Saya pun pernah dalam kondisi tersebut, bisa dibaca di artikel-artikel lama saya era 2009-an hingga 2012-an.
Sebagai pengajar, bagian dari ekosistem pendidikan, saya sering berada dalam situasi dilematis untuk menentukan bahasa pengantar pada bahan ajar serta penugasan. Di satu sisi, saya ingin mengajak mahasiswa belajar Bahasa Inggris, khususnya terkait kemampuan membaca dan menulis dalam Bahasa Inggris. Keduanya menjadi kompetensi yang sangat penting di era globalisasi saat ini. Toh, saat mereka berpapasan dengan skripsi pun mereka harus melahap berbagai referensi Bahasa Inggris. Singkat cerita, secara tidak langsung untuk lulus dari jenjang S1, mahasiswa wajib menguasai kemampuan berbahasa Inggris. Sebagai alumnus yang pernah/sedang menyelami dunia industri, saya merasakan sendiri bahwa kompetensi berbahasa Inggris menjadi sesuatu yang fundamental. Bagi yang terjun di dunia akademik, Bahasa Inggris menjadi keharusan kaena banyak agenda yang berkaitan dengan hal ini, misalnya penulisan makalah, penelaaha referensi untuk bahan ajar, hingga berburu beasiswa. Karena itulah, saat mengajar PSSI semester ini saya menyusun bahan ajar dalam Bahasa Inggris, pun dengan bahan evaluasi seperti UTS, UAS, dan kuis. Tapi saya mempersilakan mahasiswa menjawab dalam Bahasa Indonesia.
Untuk bahasa pengantar, tentu saya menggunakan Bahasa Indonesia, kecuali di kelas IN. Karena itulah, wajar jika mahasiswa di kelas saya sering heran kenapa saya lebih sering menggunakan jargon-jargon teknologi informasi dalam Bahasa Indonesia saat mengajar, misalnya kata 'unduh', 'tautan', 'peta jalan', 'tinjau'/'telaah', dan 'analisis kesenjangan', daripada 'download', 'link', 'roadmap', 'review', dan 'gap analysis'. Kebiasaan memprioritas Bahasa Indonesia dalam berkomunikasi didasarkan pada identitas kita sebagai Bangsa Indonesia, pemilik Bahasa Indonesia sekaligus penutur aslinya. Memang bagi sebagian orang, kesan kaku mungkin terbesit, apalagi jika komunikasi via surel/email, tapi bagi yang mengenal saya tentu tahu bagaimana saya tipe orang yang lebih senang hal-hal non-formal.
Saya berharap dengan memprioritaskan Bahasa Indonesia, kita bisa mempertahankan identitas kita. Kenyataannya saat ini, pelajaran Bahasa Indonesia menjadi momok menakutkan di Ujian Nasional. Ketika Matematika dan Bahasa Inggris ada kursus privatnya, maka tidak dengan Bahasa Indonesia, entah kenapa.
Kerap pula saya menemukan mahasiswa yang penyampaian ide dalam Bahasa Indonesia perlu diperbaiki, saya tidak bilang dia jelek. Secara lisan, dia sudah bagus dan bisa membedakan mana yang Bahasa Indonesia, mana yang Bahasa Inggris. Tapi saat menuliskan, kerap istilah asing dibaurkan tanpa memperhatikan kaidahnya, seperti memiringkan istilah tersebut, memisahkan dengan tanda hubung jika dilengkapi imbuhan dalam Bahasa Indonesia. Artinya, segmen intelektual di dunia akademik perlu membenahi literasi berbahasanya, terutama Bahasa Indonesia.
Pilih Bahasa yang Mana
Kamis, April 27, 2017 by
Arfive Gandhi
Posted in
Negeri
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Pilih Bahasa yang Mana "
Posting Komentar