Dosen luar biasa, itu adalah yang sudah saya jalani hampir genap dua semester ini di sebuah institusi pendidikan terkemuka. Banyak pengalaman menarik yang saya petik di sini. Baik yang sifatnya pendidikan hingga tata kelola. Kalau ditanya mengapa saya memilih institusi pendidikan ini, tampaknya ikatan histori selaku alumnus menjadi alasan utama yang menyebabkan saya sedikit banyak mengenal ekosistem dan kultur di sini. Banyaknya rekanan dosen yang sudah saya kenal saat saya masih sebagai mahasiswa S1 menjadi teman ngobrol yang nyambung. Jika ditanya, kenapa cuma status 'luar biasa', hmmm ya alasannya lebih sederhana dan logis lagi, yaitu posisi yang tersedia saat ini memang hanya sebagai DLB. Itu pun setelah percobaan sekian bulan, hohoo.
Walau cuma DLB
Saya sadar bahwa mahasiswa tidak mau tahu status dosen yang mengajar di depan kelas itu apa, apakah dosen tetap, dosen tidak tetap, dosen apapun istilah, mereka tidak mau tahu. Yang mereka inginkan hanya satu, layanan yang optimal. Layanan optimal ini memang bisa didefinisikan berbeda oleh tiap mahasiswa. Tapi, secara umum mengacu pada kemampuan mentransfer pengetahuan terkait mata kuliah, memicu keativitas dan keaktifan, hingga transparansi dalam penilaian. Saya sangat menyadari tuntutan tersebut. Karena itulah, saya berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan kemampuan terbaik saya dalam proses perkuliahan ini. Memang masih jauh dari kesempurnaan, semoga Allah memberi saya kekuatan untuk terus memperbaiki diri.
Walau cuma DLB
Saya berupaya menyuguhkan kreativitas atau bahkan inovasi. Harapannya bukan mengincar citra yang keren, melainkan ingi mengajak mahasiswa yang berpikir kreatif. Toh, tidak apa yang saya kreativitaskan tidak memengaruhi 'hitung-hitungan administrasi', malah saya lebih leluasa tanpa beban. Semoga tujuan dari ajakan berkreativitas ini bisa konkret.
Walau cuma DLB
Saya sadar bahwa pekerjaan apapun, termasuk bagi seorang dosen yang apapun statusnya, tetap dikenakan kesempatan beribadah dari profesi yang dijalankannya. Tentu dengan beberapa syarat, misalnya diniatkan sebagai ibadah, ikhlas apapun hasilnya sebagai kehendak Allah, seoptimal mungkin dalam menjalankannya, hingga membawa kebaikan dan manfaat bagi orang lain. Tentu status DLB tidak menghalangi kesempatan 'mengais' pahala atas ibadah tersebut. Pun sebagai DLB saya tidak luput dari incaran dosa jika terperangkap dalam kemunafikan karena tidak memberi teladan, mengorupsi amanat, ataupun tidak bertindak adil. Karena itulah, saya perlu berhati-hati dalam menjalankan amanat tersebut.
Walau cuma DLB
Saya juga ikut bangga atas pencapaian institusi ini sekecil apapun itu. Memang saya juga sulit membedakan apakah kebanggaan itu murni selaku individu yang pernah menjadi mahasiswa di sini ataukah individu yang sedang bekerja di sini. Yaelah, saya tidak perlu pusing memikirkan bedanya dua sisi itu. Nikmati sajalah...
Karena cuma DLB
Hmm, saya masih belum sreg tentang belum dibukanya kesempatan yang luas untuk ikut serta kegiatan riset dan pengabdian masyarakat bagi DLB. Mungkin pertimbangan legalitas dalam proses administrasi yang masih dibatasi hanya untuk dosen dengan status tertentu. Tentu saya merasa kecewa, namun saya mencoba berpikir positif bahwa barangkali fokus DLB yang hanya sebagai penguat institusi di sektor akademik, bukan di dua aspek tri dharma perguruan tinggi lainnya.
Walau cuma DLB
Kamis, April 20, 2017 by
Arfive Gandhi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Walau cuma DLB"
Posting Komentar