Sebetulnya terminologi 'kolaborasi' sudah lama saya dengar, entah sejak usia berapa. Hanya saja, tatkala terminologi disinggung dalam sebuah sesi di MTI UI, saya mulai tersadar bahwa kolaborasi tidak mudah realitasnya. Baik di dunia bisnis maupun dalam ranah riset akademik. Kali ini saya ingin membahas terkait ranah riset akademik.
Dunia riset akademik, dalam konteks lingkungan negara Indonesia, memang masih perlu pembenahan. Sisi produktivitas, sisi substansi, hingga sisi administrasi, semuanya perlu ditata ulang. Ketiga perlu ditata ulang terkait kemampuan antar-periset dan antar-institusi bisa meningkatkan kerja sama atau kolaborasi. Harus diakui bahwa, secara umum, bukan kasus per kasus, kolaborasi antar-periset dan antar-institusi kita jauh dari kata memuaskan. Padahal, produktivitas tentu akan meningkat jika kolaborasi juga semakin intensif. Jangan tanya substansi karena secara logika pun seorag periset bidang komputer bakal lebih garang menulis implementasi ilmu komputer di bidang pertanian hingga pendidikan jika berkolaborasi dengan periset yang ebrasal dari domain tersebut. Sisi administrasi, barangkali ini yang menghambat proses kolaborasi karena kenyataannya banyak alur birokrasi yang belum 'melicinkan' kolaborasi, khususnya jika melibatkan institusi yang berbeda. Entah apa sebab detailnya.
Kolaborasi antar-periset di dalam sebuah institusi sepintas relatif mudah karena mereka berada pada satu payung yang sama. Namun kenyataannya tidak semulus itu. Masing-masing periset terkendala iklim kolaborasi yang kurang gencar. Bahkan beberapa periset yang menjadi dosen di lingkungan pendidikan malah 'disetir' produksi risetnya oleh mahasiswanya sendiri lantaran alur riset tidak berorientasi pada rencana induk program studi, melainkan inisiasi si mahasiswa. Orientasi demikian dalam jangka panjang menyebabkan penyusunan portofolio riset program riset kurang terarah. Selain itu, peran dan daya tawar si dosen relatif minor. Dalam hal ini, sudah kentara kesempatan si dosen untuk membuka kolaborasi menyusut. Harus diakui, peran seorang dekan dan kaprodi/kepala program studi sangat vital untuk membudidayakan semangat berkolaborasi di lingkungan sebuah fakultas. Jika sampai semangat kolaborasinya gersang, maka yang ada hanyalah orientasi dan ambisi pribadi. Tentu ancaman yang menyebabkan kesenjangan produktivitas di sebuah perguruan tinggi.
Masih dalam konteks perguruan tinggi, kali ini tentang gersangnya semangat berkolaborasi antar-fakultas maupun rumpun disiplin ilmu. Yang demikian banyak melanda perguruan tinggi yang sudah berbentuk institusi, apalagi yang unviersitas. Masing-masing fakultas ataupun rupun disiplin ilmu berjalan seasyiknya sendiri tanpa peduli apakah kompetensi mereka sebetulnya sudah berkembang atau tidak. Sebagai contoh, yang berakar ilmu kesehatan membicarakan teknologi digital untuk alat medis tapi hanya bisa mengoceh sebatas konsep. Pun dengan pakar komputer yang berkelakar kenapa banyak rumas sakit alat medisnya masih kurang update. Kenapa mereka tidak berkolaborasi saja. Tentu hasilnya, meminjam istilah seorang komentator bola, jegerrr. Dalam konteks ini, peran rektor dan dekan untuk membicarakan arah riset antar-disiplin ilmu mejadi kebutuhan yang fundamental.
Yang lebih sulit memang kolaborasi antar-institusi. Banyak penyebab kenapa yang seperti ini masih marak di Indonesia. Masing-masig punya idealisme yang berbeda-beda dipadu ketakutan untuk menghadapi birokrasi yang rumit. Persoalan seperti siapa yang lebih banyak mendanai, siapa yang nantinya lebih diakui sebagai pelopor, bahkan siapa yang logonya dipasang, malah jadi isu yang lebih mengemuka. Memang, isu-isu yang bersifat administrasi ini perlu dipastikan akan tidak salah paham. Namun, mengapa regulasinya yang 'harusnya' bisa menyediakan berbagai paket kerja sama dengan konsekuesi yang logis.
Hmmm, semoga ada perbaikan budaya segera.
Semangat Berkolaborasi [1]
Sabtu, April 15, 2017 by
Arfive Gandhi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Semangat Berkolaborasi [1]"
Posting Komentar