seringkali kita mendapati komentar orang mengenai organisasi kita, diantara komentar tersebut yang kadang agak kurang enak didengar dan selalu terus ingin dibantah adalah sebuah opini "organisasi loe eksklusif". Eksklusif, ya entah parameter apa yang mereka gunakan untuk mebnggelari organisasi kita eksklusif.
Organisasi lahir/dibentuk dari sebuah identitas, entah itu formal ataupun non-formal. IDentitas ini bagi organisasi formal tentunya dimuat dalam sebuah produk hukum, entah itu undang-undang, anggaran dasar, anggaran rumah tangga, maupun produk hukum lainnya. Kesamaan identitas ini pun didudkung adanya kesamaan secara psikologis tentang identitas mereka. Bagi organisasi non-formal yang tidak punya produk hukum, secara batin mereka merrasa punya suatu kebersamaan. FC Barcelona, tentunya punya sebuah identitas yang sama. Bahkan gank anak remaja yang (sebut saja) AGSKS (Anak Gahol Super Kece Sukabirus) pun walau tidak ada AD ART, mereka telah menetapkan sebuah lingkaran yang membedakan mereka dengan orang di luar lingkaran tersebut.
Identitas merupakan sebuah keunikan yang pada awalnya telah dijadikan sebuah patokan untuk mengeksklusifkan diri dari mereka yang tidak memenuhi identitas ini. Apapun bentuk organisasinya, selama dia mempunyai identitas maka organisasi tersebut bersifat eksklusif. Titik.
Ah nggak kok, organisasi saya nggak eksklusif kok, kita siap kerja sama dengan siapapun.
Antiteori ini sering kita dengar, namun ada perbedaan definisi yang menjadi panutan. Lha terus bener nggak berarti klaim tersebut?
Dengan adanya identitas, maka organisasi akan bersifat eksklusif. Namun belum tentu dengan interaksinya.
Interaksi suatu organisasi bersifat sosial dimana dia pastinya akan berinteraksi dengan individu maupun organisasi lain di luar "lingkaran"-nya. Interaksi tersebut dapat berupa kerja sama, saling mendiamkan, atau bahkan saling menyerang. Dengan demikian, ketika orang mengklaim organisasinya tidak eksklusif, maka ketidakeksklusifannya terletak pada interaksinya dan pada kenyataannya, interaksi organisasi dengan entitas di luarnya pasti bersifat inklusif (lawan dari eksklusif).
Yang jadi permasalahan adalah bagaimana pengelolaan interaksi dengan entitas di luar organisasi agar sikap inklusifnya ini membawa dampak positif. KEeksklusivitas suatu organisasi berumber dari identitasnya, maka identitasnya inilah yang jadi parameter bagaimana organisasi tersebut "memilih cara berinteraksi" dengan organisasi/individu lain, apakah dengna hubungan yang baik atau buruk ataukah acuh tak acuh. Ketika hubungan yang terjalin baik, maka orang akan mengecapnya organisasi yang tidak eksklusif, walaupun sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa eksklusivitasnya sudah mutlak.
Ada lagi sebuah antiteori berupa "organisasi kita sifatnya terbuka ko". Memang pendapat ini tidak salah karena memang banyak komunitas yang memilih wujud keanggotaan yang super sukarela, intinya gini "kalau situ mau gabung silahkan, akalu udah nggak mau di sini nggak kita susahin ko". Well, sikap itu pun sebenarnya cerminan dari eksklusif dengan pembahasaan yang lebih "jinak". Ketika identitas yang jadi alasan kebersamaan dikedepankan maka orang di luar organisasi dapat bergabung, dan ketika identitas tersebut dirasa tidak lagi sama ataupun tidak membuat nyaman maka dia keluar. Intinya teuteup eksklusif kan?
Kesimpulannya, daripada memikirkan "eksklusif ga sih organisasi gue", mending sibukkan organisasimu dengan kegiatan yang bermanfaat bagi orang lain
1 Response to "Eksklusif vs Inklusif ??"
Mantap lur lanjutkan
Posting Komentar