Lama tidak menulis tentang ekonomi kreatif. Kebetulan lagi mabok mempelajari doktrin-doktrin tentang penyebaran PKI, maksudnya Public Key Infrastructure lho ya. Kali ini saya ingin mengulas tentang favorat saya terhap subsektor yang ada, tentunya dengan melihat juga pengalaman bersentuhan dengan sukektor ini hingga intensitas mengamati perkembangannya.
Sumber gambar: RPJMN Ekonomi Kreatif
Seni Pertunjukkan
Seumur-umur ikutan pentas hanya sekali dan tidak pernah lagi, yaitu saat Raimuna Cabang V Kwarcab Tegal. Agaknya memang tidak punya bakat yang layak dilestarikan ke jenjang yang lebih serius. Ciee. Walau demikian, saya sejak semester 1 sangat menggemari pentas pertunjukkan budaya, baik itu Minang, Jawa, Bali, dll. Kebetulan memang UKM kesenian di kampus IT Telkom (sekarang Telkom University) saling berebut jadwal pentas alias sangat aktif dalam menggelar seni pertunjukan. Nice (y)
Film, Video, Fotografi
Musik
Bagi saya pelajaran seni musik sewaktu SMP cenderung horor karena kepayahan saya bernyanyi, bahkan hingga saat ini hanya hanya sebatas bisa tanpa terlalu mahir memainkan gitar dan seruling. Alat musik macam biola, piano, hingga harpa belum pernah saya kuasai. Namun urusan menggemari sajian musik, ah ini nih rutin, pake kata banget lagi. Bukan sekedar penghilang ngantuk, tapi spirit bermusik juga kerap menginspirasi saya membuat sajak dan mengamati konsep team work.
Periklanan
Bagi saya ini adalah subsektor yang menggebrak. Kenapa nggak, di sini komoditas utamanya adalah ide-ide gokil, terlepas apakah iklan tersebut berupa media cetak, elektronik, atau bahkan sekedar konsep pemasaran. Yang pasti persaingan subsektor periklanan sangat ketat, bahkan di Indoensia sendiri pun (ya maaf juga nih) iklan paling jor-joran kreativitasnya (dan frekuensi tayangnya) justru iklan rokok. Mungkin karena mereka harus melawan kenyataan bahwa bagaimana mengiklankan produk tanpa menunjukkan produknya. Subsektor ini perlu ditinjau dari berbagai sisi agar bisa sukses, bisa dibilang idealisme berpikir lepas harus dibenturkan dengan kerasnya selera masyarakat dan juga target finansial. Justru di sinilah kecenya.
Televisi dan Radio
TV nggak punya, olus nonton cuma pas tanding bola. Begitu pula radio yang terakhir entah kapan. Bisa dibilang ini adalah subsektor paling nggak saya akrabi.
Desain
Nah, yang ini merupakan hobi yang alhamdulillah bisa terus berkembang dan bermanfaat di berbagai lapak, baik sosial maupun komersial. Kebetulan memang saya ini tipikal orang visual, sehingga butuh waktu berjam-jam mencerna jurnal IEEE tapi bisa cepat menangkap maksud sebuah infografis. Hehee. Selera saya banyak berkaitan dengan desain-desain sederhana yang mengutamakan permainan warna dan geometri. Faktor selera tersebut didorong pula oleh keterbatasan RAM laptop yang tidak kuat untuk berleha-leha dengan berbagai aplikasi grafis macam AI, Corel Draw, hingga yang macem-macem namanya.
Permainan Interaktif
Penyakit saya dulu adalah gampang kecanduan game. Tapi sejak SMA, bahkan kuliah saya mengurangi frekuensi tersebut. Kebetulan karena kuliah di komputer, maka saya kerap mengalami penyempitan makna permainan interaktif yang hanya sebatas aplikasi komputer, padahal jauh lebih luas daripada itu. Saat ini subsektor permainan interaktif tidak banyak saya gali, mungkin karena udah saatnya serius, jangan suka mempermainkan hati #eh #ciee #apaandah
Teknologi Informasi
Lulusan sarjana teknik informatika (dengan IPK pas-pasan), lalu melanjutkan petualangan di dunia kerja selama tiga tahun lebih sebagai programmer, analis SI/TI, dan menyempatkan diri mengenyam bangku magister teknologi informasi. Tidak perlu banyak argumen bahwa saya tumbuh di lingkungan subsektor ini. Sulit untuk menampik bahwa saya gemar mengobservasi ekonomi kreatif yang berbasiskan TI. Tantangan besar untuk subsektor ini adalah memahami TI sebagai kemasan, ataukah TI sebagai inti bisnis yang utama. Keduanya berbeda namun memiliki kesamaan, yaitu mampu mendongkrak nilai ekonomi yang merupakan dasar dari ekonomi kreatif itu sendiri.
Arsitektur
Saya sangat mengagumi bangunan-bangunan indah, khususnya yang berstatus masjid dan rumah adat. Namun kekaguman ini belum menyeret saya untuk terjun langsung sebagai pengamat dari sisi bisnisnya, apalagi pelakunya. Soal arsitek yang menjadi idola pun saya tidak ada karena memang tidak terlalu banyak tahu bangunan ini siapa arsiteknya, bangunan itu siapa arsiteknya, mungkin hanya tahu sosok Ridwan Kamil lewat Museum Aceh dan Masjid Agung Parahyangan, di luar itu? Hehee, saya malah hingga kini belum tahu siapa arsitek Masjid Agung Slawi, siapa arsitek Gedung Fasilkom, bahkan siapa arsitek Learning Center-nya Telkom University.
Penelitian dan Pengembangan
Subsektor paling unik karena mengakomodasi dan juga terhubung ke seluruh subsektor lainnya. Bisa dibilang ini adalah landasan dari subsektor lain untuk "laku" di masyarakat. Karena senang mengamati proses kreatif, khususnya mengenai pemahaman potensi pasar dan ide-ide gokil, maka saya sangat tertarik dengan subsektor ini.
Penerbitan
Dulu memang penggemar komik, tapi seiring keseriusan belajar (dan tuntutan berkurangnya uang saku), maka saya makin undur diri dari dunia komik. Saat awal kerja saya pernah beberapa kali terlibat dalam kompetisi komik tingkat Indonesia. Secara tidak langsung saya kembali tertarik untuk belajar mengenai bagaimana proses kreatif di dalamnya yang perlu mengombinasikan berbagai ketrampilan. Lebih pusing lagi juga mengupas bagaimana cara memainkan model bisnisnya, terutama terkait income.
Seni Rupa
Yang terbayang kita pertama kali mendengar kata "seni rupa" adalah Bapak Kapsin Arifin, nama guru seni rupa sewaktu SMP. Hehee. Saat itu nilai saya amburadul karena memang tangannya lebih terasah berkarate daripada tampil sabar dan cantik membuat hasta karya. Dari sisi proyek pun saya berlum pernah bersinggungan langsung dengan subsektor jenis ini.
Kuliner
#srupuuut #usapiler Ini katanya subsektor paling surgawi karena ya itu, paling enak. Hahaa, di luar faktor tersebut, memang patut diakui bahwa ini adalah subsektor paling dominan dari berbagai sisi versus subsektor lainnya, baik di sisi penyerapan dunia kerja, perputaran uangnya, dll. Dulu waktu ibu saya berlangganan koran No*va, saya kerap mengumpulkan pernik-pernik sedap sekejapnya karena tergiur dengan foto-foto makanannya. Tapi hingga saat ini karir saya di subsektor kuliner tidak lebih dari tiga agenda: pemasak mie paling enak (versi saya), asisten istri saya bila beliau memasak, dan tentunya pengamat. Belum pernah saya terlibat langsung dalam proyek subsektor kuliner.
Mode
Apa yang saya mengerti dari subsektor ini jika kolektif baju saya di rumah 95% terdiri atas batik (dengan bentuk kemeja), jersey sepak bola, dan baju koko (baju punya saya lho ya, bukan baju punya mas koko). Barangkali istri saya lebih "cumlaude" untuk urusan subsektor ini mengingat kiprah dia mengelola sebuah wirausaha jilbab. Nah gue? Hanya butiran rin*so.
Kerajinan
Kerajinan merupakan subsektor ekonomi kreatif yang konkret produknya tapi abstrak nilai ekonominya. Jujur saja, di luar faktor bahan baku dan ongkos produksi SDM, saya tidak pernah mengerti kenapa ada produk kerajinan bisa bernilai jutaan rupiah. Orang mengatakan itu ada nilai inovasinya lah, itu ada nilai hak ciptanya lah, iya iya saya tahu ada faktor itu, tapi belum pernah mengerti mengapa nilai ekonomi sekian rupiah. Namun kebiasaan saya yang terkait subsektor kerajinan ini adalah gemar mengoleksi aksesori, khususnya gantungan kunci dari berbagai kebudayaan di Indonesia.
Nah, dari seluruh subsektor ekonomi kreatif tersebut, kalau dibuat peringkat maka saya bisa mengambil big-5. Urutan dari yang paling menjadi passion saya adalah teknologi informasi, desain, penelitian dan pengembangan, periklanan, dan musik. Sekarang bagaimana dengan kamu? Iyaa..kamu..