Setelah kasak-kusuk pemilihan presiden FAST bulan April lalu, kini sejumlah informasi tentang peralumnian juga mewarnai social media. Kali ini berpangkal pada UI, kampus magister saya, dengan ILUNI alias Ikatan Alumni Universitas Indonesia sebagai lembaga yang akan menghelat proses suksesi. Sejujurnya di awal keramaian bursa ketua ILUNI kali ini saya tidak terlalu antusias, hingga seorang dosen yang men-share profil-profil seluruh calon ketuanya itu menayangkan sebuah nama yang beberapa saya dengar sepak terjangnya. Beliau adalah Faldo Maldini, seorang urang awak yang mampu merantau hingga ke negeri Tony Adams (well, nggak kebayang jika beliau melanjutkan studinya ke Italia, bisa geger juga pada bingung 'ini siapanya Paolo Maldini?'). Tidak bermaksud promosi, kampanye, ataupun simpatisan, saya hanya salut ada seorang alumni yang seangkatan dengan saya (beliau kelahiran 1990, sepantaran kawan-kawan karib saya juga) berani melenggang di bursa ketua sebuah ikatan alumni. Membayangkan "spesies" pemberani semacam ini rasa-rasanya sangat "langka", baik di FAST atau bahkan IA ITB, KAGAMA UGM, maupun ikatan alumni kampus UNPAD, UNDIP, hingga ITS.
Setelah kepo profil 5 calon lainnya, saya menemukan pula sosok muda lainnya, yaitu Ivan Ahda yang berkecimpung di dunia Psikologi dengan kiprahnya sebagai mahasiswa UI angkatan 2003. Woww, mantap juga fenomena ini. Fenomena yang semarak karena mereka bakal berlaga dengan sosok mahasiswa 1990-an dalam diri Chandra M. Hamzah (FHUI 1995) dan Fahri Hamzah (FEUI 1992), serta mahasiswa 1980-an, Arief B. Hardono (FTUI 1984). Ada pula sosok yang mungkin paling belia dari sisi status mahasiswa UI, yaitu Moeldoko yang merupakan FISIP 2013, tapi status itu diperolehnya di strata S-2 plus rekam jejak beliau di negeri ini yang terhitung senior. Maka duel 2 junior vs 4 senior ini bakal berlangsung dengan menarik.
Apakah memang gap 1 hingga 2 dekade akan mempengaruhi kualitas individu para calon dalam menyuguhkan program kerja? Saya belum menelusuri bukti empiris, termasuk dalam konteks pemilihan kali ini. Tapi melihat pengalaman organisasi Ivan Ahda dan Faldo Maldini, sulit menyingkirkan kedua dari percaturan hanya karena usia lebih muda. Ya, keduanya memperlihatkan sepak terjang yang "silau" dan kontribusi mereka di "sawah" masing-masing pun sudah menjangkau lingkup antarnegara. Namun karena ini bukan kontes dengan skor dari juri yang didasarkan dari penilaian individu, melainkan sistem voting, maka faktor jaringan bakal mempengaruhi hasil pemilihan nanti. Di atas kertas para senior memang lebih unggul karena faktor popularitas dan bekal jaringan yang lebih luas. Tapi itu di atas kertas. Dan di balik kertas di seberang sana pun, para junior ini juga punya bekal menggalang dukungan dari sesama alumnus junior. OK, dengan demikian, peran tim sukses rasa-rasanya bakal lebih menentukan pada saat menjelang pemungutan suara nanti.
Terlepas dari hasil pemilihan, sulit menampik bahwa keberadaan seorang yang relatif muda di bursa ketua ILUNI merupakan torehan tersendiri. Hal yang sebetulya menjadi cerminan bahwa Indonesia sedang "demam" pemimpin muda. Jika di Jawa Timur sana Kabupaten Trenggalek dipimpin oleh sosok yang berusia 30-an tahun plus wakilnya baru 25-an, di Lampung juga gubernurnya baru tahun ini mencicipi usia kepala 4, apakah ILUNI bakal "tertular"?
Bursa Ketua ILUNI kali ini: Junior enggan cuma Menonton
Sabtu, Mei 07, 2016 by
ve
Posted in
Kuliah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Bursa Ketua ILUNI kali ini: Junior enggan cuma Menonton"
Posting Komentar