Nostalgia menjadi modal utama sekuel legendaris film bernama Ada Apa dengan Cinta. Sulit untuk menyangkal bahwa komoditas "nostalgia" sudah menjadi magnet tersendiri sekaligus bekal untuk menantang film garang "Civil War" dimana keduanya hanya terpaut tanggal rilis beberapa hari. Film ini mampu "menyingkirkan" antrean Civil War yang hanya diberi kesempatan bertahta beberapa hari saja. Tak pelak jadwal pemutaran malam hari pun mengalami sold out. Sulit pula menyangkal bahwa kategorisasi film ini ke dalam 13+ adalah keputusan janggal lantaran beberapa adegan yang kurang layak dipertontonkan bagi usia remaja.
Jogja, ah mengapa harus kota/daerah ini yang digunakan sebagai titik temu Rangga dan Cinta? Betapa tidak, kita tahu bahwa Jogja merupakan daerah romantis yang sangat mahsyur, sangat kental dengan budaya sintesis (paduan tradisional dan kontemporer tapi keaslian masing-masing tetap lestari), dan tentunya istimewa. Semua pernak-pernik kota ini, baik itu budaya-seni maupun sosial-humanioranya, menjadi pertaruhan apakah bisa dimbangi dengan unsur intrinsik film itu sendiri. Risiko jika nuansa Jogja terlalu mendominasi maka film AADC2 akan menjadi film dokumenter layaknya National Geographic. Risiko lain jika nuansa Jogja terlalu sedikit maka tampak bahwa keputusan yang tidak jelas mengambil lokasi Jogja. Dalam film ini, penyajian nuansa Jogja ternyata mampu ditata dengan baik. Porsi ke-Jogja-an disuguhkan dalam takaran yang pas dengan menyodorkan objek-objek yang tidak terlalu populer, namun unik dan menjadi penegas karakter indicidu Rangga maupun Cinta. Sosok penyuka seni, penikmat petualangan, penggemar kuliner, dan sejumlah karakter lain diasosiasikan dengan objek-objek wisata.
Film ini merupakan jalan pertumbuhan karakter Rangga, Cinta, dan beberapa pewaris AADC. Karakter introvert, keras kepala, lemot, mudah khawatir, emosional, dll, semua diramu dengan rapi. Praktis masing-masing tokoh masih menunjukkan watak asli yang pembiasan yang wajar sebagai hasil perjalanan sekian tahun. Karakter Rangga misalnya yang masih dingin namun lebih ekspresif dalam meluapkan emosi. Ataupun sifat sensitif pada Karmen yang tumbuh lantaran konflik masa lalu. Praktis kita tidak sepenuhnya dikurung dalam karakter statis karena jelas belasan tahun akan membawa banyak perubahan sikap.
Urusan tata kelola musik, wah duo maestro musik film Indonesia tampaknya memang identik dengan film ini, yaitu Melly Goeslaw dan Anto Hoed. Rekayasa ulang lagu Bimbang dan Suara Hati Seorang Kekasih menjadi bukti kepiawaian mereka mereproduksi ulang karya lawas. Keputusan mereka membiarkan lagu Demikian tetap "ori" sebagai opening adalah hal yang tepat. Lagu ini seolah menjadi "trik sulap" untuk mengembalikan memori penonton pada film AADC pertama. Penempatan lagu di berbagai adegan juga terasa pas dan menunjukkan jam terbang mereka.
Pelajaran utama yang saya tangkap dari film ini sebetulnya sederhana, yaitu komitmen terhadap keputusan yang sudah diambi l. Sulit membayangkan ada di posisi Cinta yang direcoki CLBK ketika keputusan tunangan sudah membuat cincin meligkar di jemarinya. Di siniesan bahwa jagalah hati menjadi sangat penting agar kpmitmen bersama yang diambil tidak lantas terseok. Kebayang ga sih jadi sosok Trian? Di sisi lain, kita melihat bagaimana kepiawaian Rangga yang sangat diplomatis dalam berstrategi. Terjebak dalam gugatan Cinta di sebuah tempat makan (yang cuma pesen air putih), eh malah sukses mengajak jalan-jalan hingga ngebolang di belantara Jogja. Taktik yang memang insidental, namun hasilnya tidak terduga. Namun Rangga malah terjebak dalam posisi "berharap lebih" walau sempat berujar bahwa pertemanan dan perdamaian atas masa lalu sudah cukup. Yang lebih "pecah" adalah bagaimana gengnya Cinta mengambil posisi. Mendukung balikan nggak, menanyakan keberlanjutan tunangan juga setengah, memang abu-abu karena mereka menempatkan diri mereka untuk tidak mengintervensi keputusan Cinta, dimana Cinta sendiri "ngambang".
Skenario garis besar film ini patut diapresiasi, kecuali beberapa hal. Pertama roadshow Rangga dan Cinta yang terlalu berbahaya untuk diikuti oleh masyarakat Indonesia yang tidak terikat status pernikahan atau persaudaraan. Ya untung saja si Rangga nggak minum miras sehingga masih bisa terkendali. Begitu pula adegan perciuman yang sangat tidak layak diikuti oleh mereka yang belum menikah. Untuk dua hal itu saya menyebutnya sebagai "yang kamu tayangkan itu jahat".
No Response to "Yang kamu Tayangkan itu Jahat"
Posting Komentar