Isra Mi'raj merupakan sebuah titik dalam hikayat Nabi Muhammad SAW yang paling sulit diterima dengan akal sehat jika tidak diimbangi dengan iman dan taqwa. Perjalanan dari Mekkah ke Jerusalem lalu dilanjutkan ke langit, jelas ekspedisi yang menjadi ujian keimanan bagi kaum Muslim saat itu. Keyakinan Abu Bakar Shiddiq, sosok yang pertama kali meyakini ekspedisi Isra Mi'raj, tentu menjadi pencapaian iman yang luar biasa. Harus diakui bahwa keimanan beliau sudah mampu menundukkan segala bentuk keraguan dari akalnya.
Perjalanan Isra' berupa perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa barangakali bisa saja dicerna dengan logika pada era saat ini. Era dimana sudah tersedia berbagai versi pesawat yang memungkinkan perpindahan manusia diantara dua titik tersebut. Namun di era Rasulullah, unta sebagai transportasi "termodern" tidak bisa menjangkau jarak keduanya dalam waktu semalam.
Perjalanan Miraj jelas lebih spektakuler karena menghubungkan lokasi berangkat Rasulullah di Jerusalem ke langit ke-7. Teknologi buatan manusia saat ini, dan boleh jadi hingga kiamat, belum ada yang mengakomodasi perjalanan tersebut. Akal kita tentu semakin sulit menerka lokasi bertemunya Nabi Muhammad dengan para Rasul terdahulu. Akan ada banyak pertanyaan di benak kita. Dimana lokasi masing-masing lapisan langit? Bukankah arwah manusia adandi alam kubur hingga kiamat? Lalu kenapa Nabi Muhamad bisa bertemu para Rasul yang sudah meninggal (kecuali Nabi Isa AS).
Akal umat terdahulu diuji dengan dua "studi kasus" ekspedisi dahsyat dimana salah satunya (Isra) bisa dimungkinkan pada saat ini, maka akal umat saat ini masih diuji dengan mungkin tidaknya perjalanan satunya lagi (Mi'raj). Dan segala kemungkinan itu merupakan batas yang timbul karena kemampuan pikir manusia. Kemungkinan yang akan sirna jika yang berkehendak itu adalah Yang Mahakuasa, Allah SWT. Dengan kata lain, sampai kapanpun, hingga kiamat, Isra Mi'raj akan menjadi ujian bagi manusia. Ujian yang menggalakkan peran iman dan taqwa untuk mengungguli akal semata.
Isra Mi'raj juga memberikan kita warisan. Bukan sekedar cerita sejarah yang menghiasi seremonial belaka. Warisan yang rutin kita tunaikan sebagai bekal paling pertama ditanyakan saat hari akhir nanti. Warisan yang menjadi kewajiban kita dalam rangka mencegah pribadi ini dari ancaman perbuatan keji dan munkar.
No Response to "Tatkala Iman (Perlu) Menundukkan Akal"
Posting Komentar