Bandung, kota yang sebetulnya berukuran kecil dari sisi geografis tapi punya dampak signifikan bagi Provinsi Jawa Barat atau bahkan Indonesia. Saking signifikannya, orang mengasosiasikan kata Bandung' dengan Kota Bandung alias cukup menyebut Kota Bandung dengan Bandung, padahal masih ada Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat. Bandung yang dikenal seantero Indonesia melalui kata-kata kunci berikut [1] Persib, [2] Ibu kota Jawa Barat, dan [3] ITB, Unpad dan kawan-kawannya. Belakangan, lebih tepatnya dalam 4-5 tahun terakhir, Bandung juga heboh lantaran dua topik berita [yang relatif positif] yaitu industri kreatif serta wali kotanya, Ridwan Kamil.
Terlepas dari kontroversinya, harus diakui bahwa kinerja Ridwan Kamil patut diapresiasi. Membandingkan prestasi beliau dengan wali kota/bupati di tempat lain rasa-rasanya agak kurang adil. Kota Bandung tidak seluas Kabupaten Bandung misalnya, Kota Bandung punya populasi penduduk yang tidak sebanding dengan Trenggalek misalnya, literasi digital Kota Bandung pun tidak setara dengan Kota Surabaya. Membandingkan kinerja beliau dengan para wali kota terdahulu pun sebetulnya agak kurang bijak lantaran tiap zaman ada tantangan yang berbeda. Kinerja berupa keberhasilan meraih predikat akuntabilitas publik ataupun torehan Adipura sebaiknya cukup menjadi indikasi positif positif bahwa Kota Bandung saat ini dalam performa yang baik. Dan performa ini pada hakikatnya bukan untuk dikomparasi dengan daerah lain atau pejabat pendahulu/penerusnya yang ujung-ujungnya untuk menjelek-jelekkan. Saya mengajak kita berpikir yang demikian. Bahkan sejatinya, performa Kota Bandung yang baik pun tidak semata 100 persen faktor wali kotanya. Ada banyak sosok yang tidak muncul dipermukaan media massa, termasuk yang tidak disebutkan perannya oleh Kang Emil di media sosialnya.
Majunya Kang Emil ke Pilkada Jawa Barat membawa efek yang menarik di kancah percaturan tahun 2018 mendatang. Kota Bandung akan dipimpin oleh wali kota baru dimana ekosistemnya bersifat ekuilibrium. Di atas kertas, Kang Emil tidak terbendung untuk menjadi wali kota Bandung kembali di periode keduanya jika dia memutuskan ikut Pilkada Kota Bandung. Jika dulu kemenangan beliau lantaran rekam jejak politik yang relatif bersih [karena tidak berlatar politik] serta basis mesin suara partai pendukung, maka modal beliau saat ini adalah portofolio pemerintahan yang lumayan kinclong serta reputasi yang relatif bersih. Jika saat beliau rekam jejak politiknya nol saja bisa menang 40 persen melawan 7 pasang kandidat, maka boleh jadi beliau bakal menghadapi 'kotak kosong'. Tapi sekali lagi, itu andai-andai jika beliau memutuskan untuk mencoba maju di Pilkada Bandung 2018.
Dengan tidak adanya beliau, menarik untuk disimak siapa-siapa yang berkiprah di ajang Pilkada Bandung 2018. Bisa dibilang, ajang nanti belum ada nama yang dipastikan mendominasi, minimal saat fase survey ke masyarakat. Alasannya sederhana, tidak ada nama mayor yang cukup aman. Bahkan sosok wakil wali kota Bandung pun rasa-rasanya tidak punya keunggulan popularitas atau pengakuan kinerja. Penyebabnya sudah jelas, beliau tidak akrab dengan media. Bahkan eksistensi beliau di media sosial wali kotanya sangat jarang, jauh kalah populer dibandingkan istri wali kotanya. Sudah ada baligo seorang artis, tapi beliau tidak punya prestasi mentereng dan populer semasa menjadi anggota legislatif, bahkan partai penggusungnya pun tengah digoyang kepemimpinannya. Popularitas beliau selaku artis agaknya tidak bisa diasumsikan bakal mengekor Pasha Ungu, Dedy Mizwar, Dedi Yusuf, Zumi Zola. Keempat nama tadi walau tidak berpengalaman di pemerintahan tapi punya aura kuat selaku pemimpin. Ada pula beberapa nama yang sangat tidak populer sehingga mulai gerilya baligo di sekujur kota. Beberapa diantaranya terlihat jelas mencoba untuk mengadopsi citra Kang Emil. Mulai dari gaul dan modern, gemar budaya Sunda, hingga intelektual.
Saat ini para wajah yang terpampang di baligo-baligo masih dalam taraf 'pedekate'. Belum ada ide yang mampu dijual. Di Indonesia, kebanyakan pemilihan umum/kepala daerah kerap mengumbar kejelakan pemerintahan sebelumnya ataupun masalah sosial yang ada. Tidak salah pola pikir ini, tapi hal ini menjadikan masyarakat tercemari pemikirannya bahwa 'negara/daerah kita bermasalah'. Padahal masih ada bahasan tentang bagaimana mengembangkan potensi yang sudah bagus.
Bandung, Antara Ekuilibrium dan Baligo Mengiba Suara
Senin, Juli 31, 2017 by
Arfive Gandhi
Posted in
Negeri
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Bandung, Antara Ekuilibrium dan Baligo Mengiba Suara"
Posting Komentar