Ada dua inspirasi menulis artikel ini
Pertama, ada proyek yang sedang temen kerjakan bertajuk Early Warning System Harga Bawang se-Indonesia. Melalui sebuah portal informasi, kita dapat mengetahui harga bawang dan stok yang tersedia di berbagai daerah di Indonesia. Di dalam sistem ini, dilibatkan juga banyak surveyor di berbagai daerah di Indonesia. Apa manfaatnya? Tentu saja banyak informasi yang dapat diproduksi dan ujung-ujungnya pengambilan kebijakan yang benar-benar berdasarkan kondisi riil di lapangan. Di Brebes harga bawang (misal) Rp 20.000,00 dan di Pemalang udah Rp 30.000,00 nah apa yang bikin jomplang? Jelas indikasi penimbunan maupun hal-hal lain yang mungkin memberatkan daya beli konsumen ataupun merugikan petani dan pedagang dapat segera diketahui
Kedua kunjungan ke Majalengka dan Sumedang tempo hari dimana di Majalengka terjadi kelangkaan bahan bakar sehingga terjadi antrean merayap hingga tumpah ruah di pinggir jalan kawasan SPBU, padahal di hari yang sama di Sumedang tidak terjadi kelangkaan serupa.
Dua inspirasi tersebut membuat saya berpikir (lantaran bengong bosen tidur sepanjang perjalanan) mengapa sistem Early Warning Sistem untuk bawang tersebut diperluas ke berbagai barang ekonomi yang memerlukan informasi akurat dan aktual mengenai stok serta harganya di berbagai wilayah se-Indonesia.
Salah satunya ya tentu saja harga bahan bakar minyak.
Mengapa harga bahan bakar minyak saya beri penekanan di paragraf sebelumnya? Karena bahan bakar minyak merupakan benda yang kenaikan 100 rupiahnya saja dapat membengkakkan harga berbagai barang dan jasa di seluruh aspek kehidupan. Malam ini BBM naik maka tinggal hitung saja dalam satuan jam maka biaya makan di warteg bisa langsung melonjak tajam. Permasalahan yang ada di kasus BBM banyak sulit dikendalikan pemerintah, diantaranya:
- Kita tahu bahwa yang ditetapkan pemerintah adalah harga resmi di SPBU dan gerai-gerai yang mengikuti standar nasional, bagaimana dengan harga eceran di kios/lapak privat?
- Lanjutan dari nomor 1, yang ditentukan itu harganya, bukan stok. Urusan stok jelas perkara yang sulit. Banyak praktik penimbunan yang bermotifkan ekonomi. Nah, ketika penimbunan jamak sehingga stok melangka alias permintaan melambung tinggi namun penawaran menurun maka yang terjadi adalah penentuan harga yang "seenaknya" dari para penimbun.
- Kalau nomor 2 itu penimbunan terkait stok maka yang jadi inti dari nomor 3 adalah adanya motif penimbunan (dan juga permainan harganya). Kasus di Majalengka kemarin ternyata diikuti di berbagai daerah termasuk Tegal. Mau tidak mau kita akan menarik rekam jejak isi koran belakangan ini, ada apa ya? Oh ya, kemarin baru selesai pemilu. Boleh jadi ada permainan "titipan" para politisi pengecut yang menjadikan penimbunan BBM sebagai mainan yang menggiring masyarakat ke opini tertentu. Ini yang agak susah karena kedua belah pihak yang berival di pemilu lalu sama-sama punya potensi sebagai pelaku penimbunan. Ah entahlah urusan politik ini selalu saja menumbalkan tabungan pribadi rakyat
- Pemerintah sejauh ini masih keteteran untuk menjaga harga dan stok BBM stabil. Bagaimana dengan urusan harga dan stok barang/jasa lain yang riskan ikut melonjak tajam? Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk dampak yang terlalu domino
Lantas bagaimana sistem early warning system ini dapat dikembangkan?
Kebutuhan utama ada pada bagaimana arus informasi masuk dan ditindaklanjuti menjadi faktor penentu keberhasilan ide ini.
Arus masuk informasi masuk didapatkan dari surveyor yang disebar di berbagai daerah. Proses input melalui telepon seluler serta besaran data yang relatif kecil patut jadi pertimbangan untuk mempercepat diperolehnya data masuk. Informasi masuk ini juga akan lebih baik lagi ketika dilengkapi pemetaan yang memudahkan analisis sebab-akibat.
Selanjutnya tentang proses penindaklanjutan informasi. Diperlukan SDM yang mampu melakukan analisis atas berbagai nilai variabel yang muncul dari pemetaan tersebut. Hasil analisis tersebut kemudian diolah menjadi kebijakan taktis yang bersifat dua macam, yaitu front-end policy dan back-end policy. Front-end policy maksudnya kebijakan yang dihadapkan pada masyarakat selaku konsumen, misalnya penambahan stok. Sedangkan back-end policy merupakan kebijakan dari balik layar yang diarahkan kepada pemangku kepentingan yang berada di balik layar, misalnya investigasi terhadap arus distribusi, pendampingan terhadap pemerintah daerah.
Mengingat era saat ini adalah keterbukaan informasi tentu jadi pertanyaan apakah sistem yang diusulkan ini sebaiknya ditampilkan terbuka kepada publik ataukah cukup privasi pemerintah?
Jawabannya ada analisis risiko
Sebagai gambaran ketika informasi ini dapat diakses masyarakat, maka dampak apa saja yang mungkin terjadi? Misalnya migrasi konsumen secara massal, peretasan sistem informasi, hingga hal-hal lain yang sifatnya relatif positif maupun negatif.
No Response to "Early Warning System versi BBM"
Posting Komentar